Mohon tunggu...
Nadya Natalia
Nadya Natalia Mohon Tunggu... -

Menulis menghidupkan kenangan yang pernah ada, dan membiarkan otak terus bekerja.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Cerpen | "Before You Go"

4 Juni 2018   11:29 Diperbarui: 4 Juni 2018   12:13 827
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Bel istirahat sudah hampir berbunyi.

Pemuda itu melangkahkan kakinya dengan cepat menaiki tangga menuju lantai satu gedung SMA Pelita. Ruang kelasnya terletak di lantai tiga, jadi ia harus cepat agar tidak terlambat masuk kelas.

Bagi para siswa kelas sebelas, terlambat masuk ruang kelas adalah hal yang biasa. Namun itu jelas tidak berlaku baginya.

Koridor yang dilaluinya sebelum menuju tangga untuk naik lebih ramai dari biasanya. Ada sekumpulan  siswa berseragam olahraga yang jumlahnya kira-kira mencapai dua kelas tengah berkerumun di dekat situ. Dari kaus olahraga yang dipakai, sudah jelas mereka semua adalah adik-adik kelasnya.  Tidak ada satupun guru olahraga di situ, itulah sebabnya mereka tampak bebas.

Tidak---ada sesuatu yang lain. Mayoritas berkerumun di sekitar pohon akasia raksasa tertua di sekolah ini. Dan mereka semua mendongakkan kepala.

Ia menghentikan langkah kakinya sejenak untuk membalikkan badan. Tanpa sadar kepalanya ikut mendongak mengikuti arah sumber perhatian  para siswa kelas sepuluh itu.

Seorang gadis yang rambutnya dikuncir belakang tengah berjongkok di salah satu dahan pohon yang cukup tinggi. Dia tampak diam di tempat untuk waktu yang cukup lama, kemudian berdiri dengan gerakan perlahan sambil berpegangan pada batang pohon di sampingnya. Apa yang sedang dia lakukan?

Sesaat kemudian, barulah ia mendapat jawaban. Gadis itu tengah berusaha mengambil bola voli yang tersangkut di antara ranting dan dedaunan puncak pohon itu.

Tanpa sadar kakinya justru melangkah mendekat---seakan tidak ingin melewatkan momen apapun. Kelasnya bisa menunggu, tapi peristiwa semacam ini tidak dapat terulang kembali. Napasnya ikut tertahan bersama yang lain, berharap perjuangan menaiki pohon itu tidak sia-sia.

Tangannya semakin naik, perlahan hingga menyentuh bola itu.

"Dapat!"

Terdengar sorakan di sekitar situ menanggapi seruan girangnya. Ia tidak bisa menebak bagaimana ekspresi gadis itu---hanya punggungnya yang tampak dari sudutnya memandang.

Beberapa teman laki-laki sudah bersiap di seberangnya---bersiap menangkap tubuhnya yang akan turun. Inilah yang paling mendebarkan.

Dia melempar bola voli itu terlebih dahulu, sebelum kembali berpegangan pada batang pohon. Melihat postur tubuhnya yang kecil, ia jadi paham kenapa gadis itulah yang terpilih untuk menaiki pohon. Dalam keadaan setengah berdiri, pemuda itu melihat sepasang tungkai kurusnya yang agak gemetar. Kakinya---

Semuanya terasa begitu cepat. Tiba-tiba saja terdengar seruan panik murid-murid perempuan. Gadis pemanjat pohon itu kehilangan keseimbangannya dan jatuh justru dengan punggung yang menghadap ke permukaan tanah.

Kedua tangannya terulur begitu saja, dan dengan selamat gadis itu akhirnya mendarat. Tepat di hadapan matanya.

Sepasang mata yang terlihat ketakutan itu bertatapan dengannya untuk yang pertama kalinya.

Y

"Lebih baik kita cukup jadi temen aja."

Josh mengangkat alis. "Kenapa, Fel? Apa aku ada salah sama kamu?"

Gadis dihadapannya menggeleng. "Selama hampir setahun ini, kamu udah terlalu baik. Tapi maaf, aku nggak bisa bohong lagi. Aku nggak bisa benar-benar suka sama kamu."

Kedua tangannya digenggam dengan erat. Felise bisa merasakan kedalaman tatapan Josh yang terarah tepat ke arahnya. "Apa selama kita pacaran, kamu nggak bisa benar-benar melupakan dia?"

Felise hanya terdiam mendengarnya. Lidahnya terlalu kelu untuk menjawab. Ia juga tidak ingin menyakiti Josh dengan kata-katanya sendiri.

"Aku.." Josh menatapnya lembut. Rasa sayangnya yang begitu besar ternyata mampu mengalahkan kekecewaan dan luka di hatinya. "Masih, dan akan terus sayang sama kamu. Aku anggap aku nggak pernah tahu soal kamu dan cowok itu."

"Nggak Jos," gadis itu menukas cepat. "Ini kedengeran klise banget, tapi kamu memang terlalu baik buat aku." Rasanya begitu banyak hal yang menyesakkan hatinya---ia sendiri tidak tahu dari mana harus memulai.

"Kamu sangat baik, dan aku suka kamu sebagai orang yang benar-benar bisa ngertiin aku. Awalnya aku pikir perasaanku bisa berubah setelah kita pacaran, itulah kenapa aku akhirnya aku nerima kamu. Tapi ternyata perkiraanku salah---perasaan bukan sesuatu yang bisa diperkirakan pakai logika."

Pemuda itu menatapnya sendu. "Apakah aku sebegitu jauh kalah dibandingkan dia?"

Felise menggigit bibir. "Kalo aja tiga tahun aku kenal kamu duluan, dia nggak berarti apa-apa buatku sekarang. Ini bukan karena aku nggak suka kamu atau apa---aku cuma nggak mau buang-buang waktu dan tenaga untuk hubungan yang salah."

Kedua matanya terpejam begitu saja. Ingin rasanya ia menyerukan betapa bodohnya pemuda itu telah menyia-nyiakan satu tahun dalam hidupnya yang berharga hanya untuk menunggu dirinya.

"Aku akan menunggu sampai kamu bisa benar-benar lepas dari Anthony."

Felise hanya bisa mendesah dalam hatinya. Seandainya ia mampu melakukannya..

***

Anthony Sebastian.

Entah sudah berapa kali ia menyebut nama itu dalam pikirannya, sudah tak terhitung berapa kali nama itu menimbulkan debaran aneh di dalam hatinya.

Felise sudah menyukainya sejak duduk di bangku kelas delapan---tiga tahun lamanya perasaan itu singgah dan enggan pergi dari hidupnya.

Bermula dari sebuah peristiwa tiga tahun lalu yang mengubah segalanya. Saat itu Anthony sedang berada di masa terakhirnya memakai seragam putih-biru. Ia sudah bisa mengenali perasaan cinta yang tumbuh dalam hatinya pertama kali kedua matanya bertatapan dengan sepasang mata penuh kharisma itu. Namun di semester itu tidak banyak kesempatan yang didapatnya untuk berjumpa dengan Anthony di tengah kesibukan persiapan ujian nasional.

Bahkan sampai menginjak SMA pun, Felise masih belum mampu lepas dari bayang-bayang Anthony. Ia tahu Anthony sang bintang sekolah yang sangat populer di mata perempuan tidak mungkin mengingat kenangan sepintas lalu akan dirinya dua tahun lalu. Ia sempat ingin menyerah, apalagi Josh teman sekelasnya terus mengejarnya meskipun tahu hatinya masih tertutup rapat.

Setelah setahun berlalu, ia merasa sudah tidak sanggup melanjutkan kepura-puraannya terhadap Josh. Pemuda itu sangat dibutuhkannya sebagai sahabat baik yang selalu menyediakan telinga baginya menumpahkan unek-unek, namun status kekasih yang mereka sandang terasa membebaninya.

Ini tahun terakhir pelajar angkatan Anthony menyandang status pelajar SMA. Sebelum kesempatannya benar-benar hilang, paling tidak pemuda itu harus tahu perasaannya.

***

Cokelat berbentuk hati itu terlihat begitu simpel, tidak ada ornamen khusus yang menghiasinya. Dengan hadiah simpel ini, Felise berharap Anthony mampu melihat ketulusannya tanpa embel-embel apapun. Lagipula ia takut tulisan di atas cokelat seperti "I love you" maupun ukiran nama pemuda itu akan menimbulkan kesan berlebihan. Memangnya siapa dia sampai berani-berani membuat tulisan itu untuk Anthony?

"Udah siap?"

Felise memandang Erika dengan tatapan ragu. Mendadak rasa pesimisnya menyeruak begitu saja. "Kayaknya percuma deh, Ka. Aduh, kamu mau cokelatnya nggak?"

"Entar dikira kita lesbian lagi," Erika mencibir geli. "Pede ajalah Fel. Beberapa bulan lagi Anthony udah nggak bakal di sekolah ini lagi, jadi paling nggak dia harus tahu betapa kamu suka sama dia setengah mati. Crush selama tiga tahun itu patut diacungi jempol, loh."

Ia tidak ikut tertawa bersama Erika. Bisa-bisanya dia membuat lelucon di saat hatinya sudah ketar-ketir seperti hampir menginjak ranjau. Debaran jantung yang kencang, ekspresi wajah yang tegang dan kaku, ditambah telapak tangan yang berkeringat dingin---lengkaplah sudah penyiksaan batin baginya.

Kedua matanya terpejam. Namun bagaimanapun juga, ia harus melakukannya sekarang. Atau kesempatan itu tidak akan datang kembali di waktu yang akan datang. Ia ingin membiarkan pemuda itu mengetahui perasaan yang sudah lama dipendamnya. Bahwa beberapa detik bertatapan mata dengannya sudah menghadirkan spark yang berbeda. Bahwa beberapa menit mengobrol dengannya sudah membuat perutnya terasa tidak keruan.

Setelah menarik napas dalam-dalam, Felise melangkahkan kakinya perlahan. Erika tersenyum menyemangatinya dari belakang.

Taman sekolah terlihat berwarna oleh aneka bunga yang menghiasinya---tidak terkecuali hari ini. Nuansa merah muda terasa lebih kental di hari valentine. Di situlah biasanya Anthony singgah setelah pulang sekolah untuk sekedar mengabadikan potret indah lewat bidikan lensa kameranya.

Dengan kotak berisi cokelat yang dipegangnya di belakang punggung, Felise berjalan ragu memasuki taman itu. Seperti dugaannya, Anthony ada di situ. Ketika langkah kakinya semakin mendekati pemuda itu, baru disadarinya ada sesosok lain yang tengah menghadap Anthony---seorang gadis berambut panjang.

"Bentar  ya, aku beli minum dulu," gadis itu tersenyum lebar, lalu Anthony mengangguk lembut sambil melepas genggaman tangan keduanya perlahan.

Felise membalikkan badannya---degup jantungnya bertambah kencang tanpa terkendali. Rasanya ia bodoh sekali hari ini. kenapa ia sebodoh itu hingga tidak tahu bahwa Anthony sudah punya pacar?

"Felise?"

Anthony sudah berdiri di dekatnya. Raut wajahnya ramah dan bersahabat. "Kamu belum pulang?"

Ia hanya menggigit bibir. Sudah terlanjur, lebih baik ia mengatakannya sekarang daripada menyesal selamanya. Jadi yang dilakukannya adalah menyodorkan kotak itu dengan cepat ke hadapan pemuda itu.

"Happy Valentine. Aku suka kamu."

Rasanya ia ingin menghilang dari situ sekarang juga. Di sisi lain, hatinya begitu lega karena akhirnya ia berhasil mengalahkan rasa takutnya dan membiarkan Anthony tahu segalanya.

Felise hendak berlari meninggalkan tempat itu ketika tangan Anthony mencekal lengannya.

"Akhirnya hari ini datang juga." Tatapan matanya tepat mengarah pada Felise.

"So do I."

Kakinya hampir saja oleng. Apa? Apa kata Anthony tadi? Kenapa telinganya mendadak mengalami gangguan begini?

"Ketika aku melihat sosok anak kecil yang ketakutan sehabis jatuh dari pohon, tanpa sadar aku sudah menyukainya. Aku berharap punya kesempatan untuk mengenalnya lebih jauh. Tapi saat itu aku sudah hampir meninggalkan sekolah, jadi kupikir aku bisa segera melupakan perasaanku ketika di SMA."

Felise menahan napas mendengarnya.

"Saat aku bertemu dia dua tahun kemudian, ternyata anak perempuan itu sudah berubah menjadi seorang gadis cantik. Aku pikir itulah saat yang tepat. Tapi dia sudah terlanjur punya pacar sehingga aku lagi-lagi nggak punya kesempatan.

Di tahun terakhir ini, aku merasa punya pacar akan membantuku melupakannya. Tapi di saat seperti ini dia justru datang dan mengatakan semuanya. Strategi yang sangat manjur karena sekarang aku merasa aku kembali menyukainya."

Lidahnya terlalu kelu untuk berbicara. Ketika Anthony memeluknya dengan penuh kehangatan, rasanya ia rela jika jantungnya berhenti saat itu juga. Ia menyunggingkan senyuman sambil mengusap kedua matanya yang basah.

Anthony juga menyukainya.

***

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun