Hari ini seperti hari-hari sebelumnya, kulalui tetap dengan penuh semangat.
Aku tak boleh menyerah dengan nasib yang aku terima dihina, dicaci maki, walau oleh orang yang kupanggil bibi yang melakukannya, itu makanan hari-hariku sejak kami jatuh miskin.
Aku bekerja di cafe milik bibiku, adik dari bapakku.
Sepulang dari sekolah hingga pukul 11 malam baru selesai rutinitasku, mengupas bawang, mencuci piring, melayani pengunjung, tiada lelah kurasakan.
Dua puluh ribu rupiah perhari kuterima, upah yang diberikan bibi, sejak kelas 4 SD aku sudah bekerja, membiayai sekolahku sendiri dengan hasil kerjaku.
16 tahun yang lalu, aku adalah putri kecil dari seorang pengusaha kaya raya, kami tiga bersaudara, aku anak tertua.
Limpahan kasih sayang dan perhatian dari kedua orang tuaku membuat kebahagiaanku semakin lengkap, segala keinginanku selalu dituruti oleh bapak.
Hingga kejadian yang membuat bapak mabuk-mabukan tiap malam selalu terulang dan akhirnya membuat satu persatu harta yang kami miliki habis terjual sampai tak tersisa sedikitpun, termasuk bangkrutnya perusahaan yang bapak miliki.
Malam itu ibu membawa teman lamanya seorang pria ke rumah dan aku yang masih sangat kecil, lima tahun usiaku waktu itu, masih belum mengerti apa yang terjadi pada kedua orang tuaku.
Bapak pulang dan melihat ibu lagi berduan di kamar bersama teman lelakinya, bapak murka, tanpa memikirkan kami anak-anaknya yang kala itu masih sangat kecil, ibu meninggalkan kami bersama teman lelakinya.
Sejak saat itu, aku beserta kedua adikku yang masing-masing berusia 3 tahun dan 1 tahun, diasuh oleh seorang baby sisters.
Bapak yang masih mencintai ibu, tertekan dengan kejadian malam itu, hingga perusahaan yang dimiliki tidak diperdulikannya lagi.
Bapak melarang aku sekolah, tapi aku tidak memperdulikan kata-kata bapak.
Upah hasil aku bekerja di cafe kutabung untuk membiayai sekolahku.
Dengan berjalan kaki dari rumah ke sekolah yang jaraknya sekitar 5 km, aku jalani dengan semangat, berharap kesuksesan nantinya kan datang menjemputku.