Mohon tunggu...
Nadiviansyah Putra
Nadiviansyah Putra Mohon Tunggu... Politisi - Mahasiswa

Mahasiswa yang saat ini sedang belajar untuk berpolitik agar Indonesia bisa menjadi negara maju

Selanjutnya

Tutup

Politik

Hari Kesaktian Pancasila dan Nasib Pemberantasan Korupsi

3 Oktober 2021   11:30 Diperbarui: 3 Oktober 2021   12:39 349
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Gambar pita merah menghiasi gedung KPK menandakan duka atas pemberantasan korupsi. Sumber: kompas.tv

Hari kesaktian Pancasila yang setidaknya diperingati pada tanggal 1 Oktober untuk mengenang para jasa-jasa pahlawan revolusi yang terbunuh pada peristiwa 30 September sudah menjadi agenda rutin tahunan. Akan tetapi, peringatan ini berbeda dengan tahun-tahun sebelumnya. Selain tentu karena masih didalam situasi pandemic C-19 yang masih merebak di Indonesia meskipun sudah berkurang kasusnya, peringatan ini juga diwarnai dengan pemecatan massal pegawai KPK yang berjumlah 56 orang setelah tidak lulus TWK.

Beberapa pegawai-pegawai ternama seperti Novel Baswedan, Yudi Purnomo, Giri Suprapdiono, dkk merupakan pegawai-pegawai yang dinyatakan tidak lulus TWK pada bulan Mei 2021 silam. Pemberhentian pegawai-pegawai ini memang diwarnai kisruh yang berkepanjangan dan salah satunya adalah dugaan pelanggaran HAM.

Terdapat beberapa pelanggaran HAM yang dapat ditemukan dalam tes WK ini seperti hak perempuan, privasi, kebebasan beragama, keadilan & kepastian hukum, keterbukaan informasi publik & kebebasan berpendapat. Seperti diketahui, soal-soal yang berada di dalam TWK KPK sedikit berbeda dibandingkan dengan tes wawasan kebangsaan pada umumnya. Bahkan ada salah satu pegawai wanita yang dipecat juga mengungkap fakta bahwa terjadi pelecehan seksual dalam bentuk verbal dalam TWK.

Sejumlah elemen publik mendesak agar Presiden Joko Widodo ikut turun tangan dalam kisruh ini. Sebelumnya, Jokowi menegaskan bahwa TWK bukanlah menjadi dasar dari pemberhentian massal pegawai KPK. "Hasil Tes WK tidak bisa dijadikan dasar untuk memecat pegawai-pegawai KPK yang tidak lolos tes. Jika masih ada kekurangan, masih ada peluang untuk memperbaiki dengan memberikan pendidikan tentang wawasan kebangsaan" ucap Jokowi.

Apa sikap KPK terhadap masalah ini? KPK terus saja memecat 56 pegawai ini dari 75 pegawai yang tidak lolos ini karena dianggap bernilai merah dan sudah tidak bisa dibina lagi. Dari 56 ini, ada setidaknya 24 pegawai lainnya yang masih bisa dibina & dari 24 itu, hanya 18 yang bersedia mengikuti pembinaan dan lolos menjadi ASN. Namun, pada 30 September, yang ikut diberhentikan bertambah satu sehingga menjadi 57 pegawai.

Pada awalnya, mantan wali kota Solo ini bersikap menentang terhadap TWK yang berujung PHK massal 57 pegawai ini, namun kemudian Jokowi dinilai lepas tangan masalah TWK. "Jangan apa-apa ditarik ke presiden. Ini adalah sopan-santun ketatanegaraan. Saya harus hormati proses hukum yang sedang berjalan," katanya.

Namun, sikap ini tentu saja berbeda dari apa yang dilihat dan diambil oleh Kapolri Listyo Sigit. Listyo menginginkan 57 pegawai ini direkrut menjadi ASN di Polri. Tujuannya tidak lain adalah untuk memberantas korupsi yang ditangani oleh Polri atau di dalam tubuh Polri. Meskipun diragukan karena tidak lulus TWK, namun Polri bersikukuh bahwa mereka mempunyai integritas dalam memebrantas korupsi. "Melihat bahwa rekam jejak dari temen-teman pegawai KPK ini, itu mempunyai visi yang sama yaitu untuk pemberantasan korupsi," ujar Kepala Divisi Humas Mabes Polri Irjen Polisi Argo Yuwono.

Meskipun begitu, pegawai-pegawai ini seperti Novel dkk memang tidak pernah melakukan pelanggaran etik dan hukum selama berada di dalam KPK. Meskipun tidak pernah melakukan pelanggaran hukum, Novel sendiri memang sering mengalami intimidasi seperti kriminalisasi dalam kasus SBW di Bengkulu, penabrakan yang disengaja selama berkali-kali bahkan yang tidak akan terlupakan adalah penyiraman air keras terhadap matanya.

Dalam sejarah, beberapa kali KPK & lembaga penegak hukum lainnya seperti Polri & Kejaksaan memang pernah berseteru. Perseteruan inilah yang akhirnya muncul dengan istilah Cicak vs Buaya yang pertama kali dilontarkan oleh Susno Duadji, mantan Kabareskrim Polri yang akhirnya menjadi terpidana kasus pencucian uang pada tahun 2010 silam.

Cicak vs Buaya ini muncul ketika ketua KPK pada saat itu, Antasari Azhar menjadi tersangka kasus pembunuhan terhadap komisaris PT. RNI, Nasrudin Zulkarnanen. Banyak yang menduga kasus ini direkayasa untuk melindungi besan presiden SBY, Aulia Pohan yang pada saat itu menjadi tersangka kasus penggelapan BLBI dan jaksa Urip Tri Gunawan yang saat itu juga menjadi terdakwa kasus BLBI.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun