Mohon tunggu...
Nadia Audiary
Nadia Audiary Mohon Tunggu... Mahasiswa - Blog pribadi

Proses belajar

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Tindak Kejahatan dan Bahaya dari Cyberbullying pada Anak Usia Sekolah Dilihat Berdasarkan Teori Psikososial Erik Erikson

14 April 2021   14:13 Diperbarui: 14 April 2021   19:02 981
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilmu Sosbud dan Agama. Sumber ilustrasi: PEXELS

Tindak Kejahatan dan Bahaya dari Cyberbullying pada Anak Usia Sekolah Dilihat Berdasarkan Teori Psikososial Erik Erikson

FITK UIN Walisongo Semarang

Nadia Audiary 

1903016023

PAI 4A

A. Pendahuluan

Setiap orangtua pasti ingin membahagiakan anaknya. Baik dengan cara bekerja keras mencari uang, memberikan fasilitas nomor satu, atau dengan pemenuhan kebutuhan lainnya. Hal ini semata-mata karena orangtua ingin melihat anaknya tumbuh dengan maksimal. Kasih sayang orangtua kepada anaknya akan sangat terlihat dari pola asuh orangtua kepada anak. Pemberian kasih sayang ini haruslah dengan kadar yang pas dan tidak berlebihan ataupun kurang.

Bukan hal yang asing saat ini jika kita menemukan anak-anak usia sekolah yang sudah mempunyai gadget sendiri. Ternyata perilaku pemenuhan kebutuhan anak yang satu ini meningkatkan kasus kejahatan pada anak-anak walau pada jarak jauh. Jika dahulu kasus bullying hanya dilakukan face to face di tempat, maka di masa pandemi ini kasus bullying dapat terus terjadi namun dalam sistem yang berbeda, yakni melalui media komunikasi. Kasus inilah yang kemudian dinamakan dengan cyberbullying.

B. Pembahasan

Cyberbullying adalah persamaan dari tradisional bullying. Bedanya, cyberbullying ini cenderung dilakukan secara daring (dalam jaringan). Ternyata, cyberbullying ini ikut meningkat sembari meningkatnya virus Covid-19. Cyberbullying ini terjadi karena akses internet yang sudah terlalu bebas dan tidak terbatas. Anak-anak usia sekolah saja sudah diberi kebebasan untuk mengakses sosial media dengan akun pribadinya.

Cyberbullying menggunakan internet untuk menyakiti orang lain dengan sengaja dan berulang. Dengan kata lain, anak-anak menggunakan internet untuk melecehkan dan mempermalukan orang lain dengan skala yang sering dan dengan penuh kesadaran. Saat ini, anak-anak pun sudah mulai menggunakan aplikasi komunikasi dan sosial media secara pribadi, salah satunya dengan WhatsApp, Facebook, Instagram, dan Twitter.

Cyberbullying yang terjadi di Indonesia sendiri diklasifikasikan menjadi 7 (tujuh) jenis, sebagai berikut. (Willard dalam Novan Ardy Wiyani, 2012). Flaming, yakni tindakan jahat berupa pengiriman pesan yang meliputi luapan emosi yang membara dan sangat frontal. Bentuk umumnya seperti provokasi, menghina, mengejek, yang menyinggung perasaan orang lain. Harassment, yakni tindakan mem-spam chat yang bertujuan mengganggu target. Biasanya pelaku harassment memiliki keinginan supaya target merasakan kecemasan. Selain itu, harassment juga berisi rayuan hasutan kebencian.

Denigration, yakni tindakan tidak pantas yang sangat disengaja dengan mengumbar keburukan aib sang target melalui sosial media. Tujuannya adalah untuk pencemaran nama baik seseorang di jejaring sosial. Cyberstalking, yaitu tindakan mengintai, memata-matai dengan mengganggu kenyamanan dan berusaha membuat jelek nama seseorang. Dampak cyberstalking ini antara lain korbannya menjadi takut dan depresi.

Impersonation, yakni tindakan duplikat atau meniru seseorang dengan tujuan aksi jahatnya tertutup dengan kedok orang lain. Hal ini contohnya seperti pembuatan akun fake di sosial media. Outing and trickery, outing yakni tindakan menyebarkan informasi pribadi seseorang yang disebarkan melalui jejaring sosial yang menyebabkan perasaan malu dan stress. Trickery adalah tipu muslihat yang dilakukan untuk membujuk seseorang memberikan data pribadinya ke pelaku cyberbullying. Biasanya orang yang melakukan outing terlebih dahulu melakukan trickery. Exclusion, yakni tindakan meng-kick dengan sengaja seseorang dari grup chat atau grup online lainnya dan bersama-sama mengucilkan orang tersebut.

Dengan kemudahan komunikasi saat ini, cyberbullying pun jauh lebih mudah dilakukan. Misalnya anak-anak sekolah dasar yang mengirim pesan kejam, stiker tidak senonoh atau foto-foto tidak pantas (foto aib) yang disebar luaskan melalui grup WhatsApp sekolah mereka hanya dengan satu kali klik. Bahkan saat mereka sekolah dari rumah pun, mereka tetap dapat melekukan kejahatan cyberbullying ini.

Contoh lainnya adalah ada salah satu anak sebutlah si A yang memberi umpatan kasar melalui pesan singkat dan cenderung melecehkan anak lain sebutlah si B, lalu ada teman-teman si A yang melanjutkan dan menambahi olok-olokan pada si B. Dari contoh kasus ini dapat kita ketahui bahwa cyberbullying dapat dilakukan dengan kekuatan individu maupun dengan kekuatan kelompok.

Akan tetapi, tidak selalu dan selamanya anak-anak di dunia digital melakukan cyberbullying. Terkadang anak-anak hanya sekedar bertengkar, atau mungkin mereka hanya melakukan lelucon saat mengirim pesan tersebut. Tetapi ada cara untuk mengetahui apakah hal yang dilakukan itu termasuk cyberbullying atau bukan. Caranya adalah dengan melihat pola pesan anak, jika pesannya dikirim secara teratur dan penuh kesengajaan maka dapat disimpulkan bahwa ini adalah kasus cyberbullying.

KPAI telah mencatat bahwa dalam kurun waktu sembilan tahun, 2011-2019 ada 2.473 pengaduan untuk kasus bullying baik di sekolah maupun di media sosial, dan sampai saat ini kasus tersebut terus naik range-nya. (Jasra Putra, 2020).

Jika kita mengomentari kasus cyberbullying di atas ini berdasarkan teori psikososial Erik Erikson, maka kasus ini terjadi pada anak usia sekolah yang berusia kisaran 6-12 tahun. Pada usia ini konflik yang dialami anak berupa industry vs inferiority. Industry berarti ketekunan, atau ketaatan anak kepada sesuatu yang membangun dalam kata lain industry adalah kemampuan berkarya anak. Sedangkan inferiority berarti rasa rendah diri yang dimiliki oleh seorang anak.

Anak usia sekolah dasar ini mulai sadar bahwa dirinya mempunyai suatu keunikan dan kemampuan untuk membentuk dirinya berbeda dari anak lain. Anak usia sekolah dasar biasanya sudah mulai mengelompokkan dirinya pada salah satu kelompok sosial dan mulai mengurangi ketergantungan kepada keluarga. Hubungan anak usia sekolah dasar dengan lingkungan luar rumah memberikan dampak yang luar biasa besar bagi perkembangan psikososialnya. (Rima Trianingsih, 2016).

Pada usia ini anak memiliki keinginan untuk memenuhi tugas-tugasnya dan mulai berkarya sesuai keinginan dan kemampuan. Anak akan mencoba mencari perhatian melalui penghargaan atas karya yang telah ia lakukan. Karena sudah mulai terlepas dari ketergantungan keluarga, anak cenderung lebih suka bermain bersama teman daripada di rumah. Tanggung jawabnya pun mulai terlihat, misal dengan belajar kelompok bersama teman. Jika anak sukses dalam mengerjakan tugasnya anak akan merasa puas. Sedangkan jika anak merasa ia tidak mampu maka akan muncul rasa rendah diri pada dirinya. (Sunaryo, 2004).

Jika kita tinjau ulang, dari kasus cyberbullying ini tentunya memberi dampak yang teramat besar untuk menumbuhkan rasa inferiority pada diri sang anak. Jelas terlihat mental anak terserang karena bullying yang dilakukan oleh teman sendiri. Anak yang harusnya belajar lepas dari ketergantungan keluarga jadi malas berkumpul dengan teman dan lingkungan sosialnya karena merasa akan dikucilkan dan dihindari.

Terlebih di masa pandemi ini dimana semua orang dianjurkan untuk di rumah saja, maka tingkat stress yang dialami oleh korban cyberbullying akan jauh lebih parah dan jauh lebih beresiko. Anak yang menjadi korban pastinya tertekan karena kekhawatiran akan keselamatan diri dan kecemasan karena merasa tersakiti oleh perlakuan teman sendiri.

Tidaklah mungkin anak dapat bergaul dengan lingkungan sosialnya dengan bebas jika lingkungannya telah mengolok-olok dan mempermalukan dirinya dengan sengaja di dunia maya. Jika anak bersosial pun anak pasti merasa rendah diri dan merasa bahwa dirinya rendah, dirinya berbeda, dirinya tidak mampu melakukan seperti apa yang teman-temannya lakukan.

Perasaan dikucilkan ini nantinya akan merambat kepada tindakan menarik diri dari lingkungan. Tentunya dengan berbagai alasan seperti, malu, takut, insecure, dan lain sebagainya. Anak pasti memikirkan kemungkinan-kemungkinan terburuk jika ia bergabung dengan lingkungannya karena ia adalah korban cyberbullying. Bukan hal yang tidak mungkin anak malah justru ingin mundur dari sekolah dan semakin menjauhi orang sekitar. Di usia sekolah yang seharusnya anak belajar untuk berkarya dan menunjukkan kemampuannya untuk diapresiasi massa, anak justru mendapat serangan psikologi yang menghantam dari dunia maya.

Selain hal-hal di atas, ada juga efek jangka panjang dari cyberbullying, yakni stress. Stress bisa menyerang siapa saja tidak terkecuali anak usia sekolah. Seperti yang kita tahu kepribadian seseorang sangat berbeda antara satu sama lain. Ada yang ekstrovert dan ada pula yang introvert. Bagi anak yang ekstrovert masih memungkingkan anak ini bercerita kepada orang terdekatnya mengenai apa yang sedang ia rasakan saat ini. Anak ini mungkin saja bercerita jika ia telah mengalami bully oleh temannya. Namun, pada anak yang cenderung introvert maka akan sangat sulit terdeteksi apa yang sedang dialami olehnya saat ini. Hal ini nantinya akan memicu dampak lain seperti depresi, cemas yang berlebihan, dan bahkan gangguan post traumatic stress disorder (PTSD). Efek PTSD ini akan menurunkan imun seseorang.

Tanpa kita sadari dampak yang lebih besar dari cyberbullying ini adalah kecenderungan untuk bunuh diri. Tentu hal ini sangat mengkhawatirkan bagi semua kalangan. Percobaan bunuh diri yang dilakukan oleh korban cyberbullying jumlahnya hampir dua kali lebih banyak daripada korban bullying tradisonal (bully bukan dalam jaringan). (Flourensia Sapty Rahayu, 2012).

Kemudian dalam pandangan Islam sendiri cyberbullying adalah kejahatan yang dilarang. Hal ini bahkan telah dijelaskan dalam Al-Qur'an surah al-Hujurat (49): 11, bahwa mengintimidasi dan mengolok-olok orang lain adalah perbuatan yang dilarang. Hal itu lah yang dikaitkan dengan kasus cyberbullying ini.

Meski telah marak terjadi, Undang-Undang di Indonesia sendiri belum memiliki hukum yang khusus mengenai hal ini. Dalam Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2016 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik juga tidak terdapat unsur yang jelas mengenai cyberbullying. Namun, jika kita lihat dari definisi cyberbullying, pelakunya dapat dijerat dengan pasal 29 Undang-Undang ITE. Pasal ini mempunyai sanksi pidana penjara paling lama 4 (empat) tahun atau denda dengan nominal paling banyak Rp 750.000.000,00 (tujuh ratus lima puluh juta rupiah). (Maulida Nur Muhlishotin, 2017).

Dilihat dari dampak dan keterkaitannya dengan hal-hal lain, peran orang dewasa seperti orangtua anak dan guru sangatlah diperlukan untuk menangani kasus cyberbullying ini. Orangtua sebagai pengasuh utama anak harus lebih waspada dan lebih memperhatikan pola perilaku anak. Orangtua yang perhatian bukan berarti orangtua yang mengekang anak, atau orangtua yang sayang adalah yang memberi kebebasan seutuhnya pada anak. Namun akan lebih tepat jika orangtua harus tetap memantau dan memberi arahan pada anak akan hal-hal apa saja yang baik dan hal-hal apa saja yang tidak baik. Mengontrol penggunaan jejaring internet pada anak juga merupakan tanggung jawab orangtua.

Kemudian, peran seorang guru juga sangat diperlukan. Jika anak didiknya adalah seorang korban atau pelaku dari kasus cyberbullying maka guru harus bisa membimbing, membangunkan kembali mental anak dan kepercayaan dirinya. Hal ini dapat dilakukan dengan cara bimbingan di sekolah melalui pendekatan individual maupun kelompok, dan penanaman nilai serta etika dalam bersosial media. Nilai-nilai yang dapat diimplementasikan antara lain, belajar mengenai saring sebelum sharing, perbanyak literasi media tentang cyberbullying, mengedukasi tentang dampak dan bahaya cyberbullying, menanamkan prinsip tanggung jawab atas semua tindakan yang dilakukan anak, dan masih banyak lagi yang lainnya. Jika semua pihak saling dukung-mendukung pastilah akan menurunkan angka kasus cyberbullying di Indonesia.

C. Kesimpulan

Cyberbullying bukanlah suatu masalah yang sepele. Dari tindakan dan dampak yang telah dipaparkan, kejahatan ini adalah suatu perbuatan yang sangat berbahaya. Tidak hanya membahayakan psikis, namun juga melanggar hukum, dan dapat memberi efek jangka panjang. Nilai yang ditekankan pada pembahasan ini adalah inferiority pada anak, yang mana ini akan mengganggu masa perkembangan anak. Jika masa-masa tumbuh kembang anak sudah terganggu maka hal ini dapat menyebabkan gangguan tumbuh kembang pada tahap atau masa selanjutnya.

Maka dari itu, semua pihak yang terkait dari kasus ini harus saling mendukung dalam hal kebaikan dan pengurangan kasus cyberbullying di Indonesia. Sebagai orang yang lebih dewasa kita seharusnya lebih memperhatikan dan lebih peka akan kejadian sekitar yang mana saat ini tindak kejahatannya semakin beragam. Sebagai anak juga harus patuh jika sudah diberi pengertian tentang bagaimana seharusnya kita bertindak di dunia maya dan mengetahui batasan-batasannya.

Kejahatan cyberbullying ini telah dilarang di dalam Islam dan Negara. Walaupun hukum yang mengatur belum tertera jelas, namun dalam hal moral dan etika cyberbullying adalah suatu pelanggaran. Jadi, berhati-hatilah dalam bertindak dan berlaku, karena semua itu ada pertanggung jawabannya.


D. Daftar Pustaka

Buku:

Sunaryo. 2004. Psikologi untuk Keperawatan. Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran EGC.

Wiyani, Novan Ardy. 2012. Save Our Children From School Bullying. (Yogyakarta: Ar-Ruzz Media).

Jurnal:

Mukhlishotin, Maulida Nur. 2017. Cyberbullying Perspektif Hukum Pidana Islam dalam Jurnal al-Jinayah: Jurnal Hukum Pidana Islam, Volume 3, No. 2 Edisi Desember.

Rahayu, Flourensia Sapty. 2012. Cyberbullying sebagai Dampak Negatif Penggunaan Teknologi Informasi dalam Journal of Information System, Volume 8, No. 1, Edisi April. Universitas Atma Jaya, Yogyakarta.

Trianingsih, Rima. 2016. Pengantar Praktik Mendidik Anak Usia Sekolah Dasar dalam Jurnal Al-Ibtida, Volume 3, No. 2 Edisi Oktober. IAIN Syekh Nurjati, Cirebon.

Artikel:

Putra, Jasra. 2020. Sejumlah Kasus Bullying Sudah Warnai Catatan Masalah Anak di Awal 2020, Begini Kata Komisioner KPAI, dalam  KPAI di akses pada 08 April 2021.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun