Mohon tunggu...
Nadia Azkal Uyun
Nadia Azkal Uyun Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa Universitas Trunojoyo Madura prodi PBSI asal Pamekasan

Penggiat literasi masa kini

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Rangkaian Benang Biru

29 November 2021   00:35 Diperbarui: 29 November 2021   00:54 243
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

_Banyak yang lebih tinggi mimpinya namun tidak dapat mewujudkan, sekedar benang biru saja yang tidak mampu dirangkai menjadi seperti apa, harapan. Warna biru diibaratkan harapan kita mestinya kita rangkai. Ada kisah, harapan dibalik layar seorang gadis baik hati yang rela mengorbankan pendidikan_

Hai, namaku Gladis Ayura. Gadis berkecukupan yang mematahkan hati orang tua karena hal yang kulakukan salah dimatanya, tak ada yang harus aku jadikan intro dalam kisahku, kalian pasti mengerti Apa dan mengapa kisah ini ku tulis, cukup sekedar untuk tau, memahami dan termotivasi_GladisAyura

"Gladis.... mau kemana kamu?". Tanya ibuku dari dapur.

"Emm..... mau sekolah, Ibu". Pura-pura aku membawa tas dengan berisi kantong beras yang dimadura dinamakan 'Blengseh'. Sejujurnya aku tidak ingin peegi sekolah, ini hanya rangkaian jalan menuju tujuan yang akan aku lakukan, dosa sebenarnya telah membohongi Ibu sendiri, tapi aku tidak berniat buruk ataupun salah, aku harus mengorbankan segala impian demi meuwujudkan impian lain yang mungkin itu lebih dibutuhkan. Aku berjalan menyusuri jalanan legam tak beraspal mendaki tanjakan menuju apa yang ingin ku lakukan, jelas bukan sekolah.

"Selamat pagi, pak. Bapak datang duluan ternyata". Sapaku pada Bapak paruh baya

"Gladis, kamu mau mengemasi cabe-cabe ini dengan tasmu? Ah yang benar saja kamu nak". Tanya dia keheranan. Bapak itu tidak tau dalam tas ku berisi kantong yang sudah ku persiapkan.

"Tidak, Bapak. Ini didalamnya ada kantong, aku tadi hanya mengalihkan kecurigaan Ibu". Kataku dengan lirih pada Bapak itu, oh iya. Bapak itu namanya Pak Wahid.

"Sudah nak, ayo petik semua cabenya".

"Baik, Bapak".

Tidak ada yang tahu mengenai aku yang jarang sekolah dan memilih membantu Bapak Wahid memanen cabe dilahannya, jika banyak cabe yang aku kumpulkan maka banyak pula uang yang aku peroleh dari Bapak Wahid ini, dia baik, mengerti keadaanku, messkipun dia sering melarangku untuk melakukan ini namun dengan penjelasan yang aku ceritakan padanya, mungkin Bapak itu tersentuh hatinya dan membiarkanku.

Setengah hari sudah aku meembantu Bapak Wahid, saatny aku pulang agar Ibu tidak curiga.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun