Mohon tunggu...
Nadhira Putri Febrianti
Nadhira Putri Febrianti Mohon Tunggu... Mahasiswa - A college student

Soon to be a part time illustrator

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Alam & Tekno

"Lupa akan Etika", Komunikasi dalam Dunia Maya

30 Maret 2021   10:29 Diperbarui: 30 Maret 2021   10:34 1297
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Gadget tidak hanya sebatas alat komunikasi, tetapi juga menjadi sumber informasi dan mencari relasi baru. (Sumber: unsplash.com/Firmbee.com)

Kemajuan teknologi telah membawa kita sampai ke titik dimana kita tidak perlu lagi untuk repot-repot membeli surat beserta prangko-nya dan menuliskan pesan kita disana lalu berlari ke kantor pos supaya pesan kita semakin cepat sampai tujuan, bukan? Kita cukup mengecek gadget canggih yang hampir setiap hari selalu bersama kita. 

Begitu melekatnya hingga muncul istilah-istilah yang disebabkan oleh kecanduan gadget seperti phubbing, smombie, dan FOMO (Fear of Missing Out). Ditambah dengan adanya pandemi yang sedang berlangsung membuat intensitas penggunaan gadget meningkat tajam. Hal ini disebabkan adanya transisi dari aktivitas kita sehari-hari seperti bekerja, sekolah, seminar dan sebagainya yang kemudian beralih menjadi kegiatan virtual.

Lalu dengan terjadinya peralihan ke dunia virtual membuat rasa kesepian pun semakin merebak. Hari demi hari kita berusaha untuk mencari hal yang dapat mendistraksi atau mereda rasa kesepian kita. 

Dengan kemajuan teknologi tadi, aplikasi pesan dan sahabat pena banyak bermunculan. Dari sini kita bisa berkomunikasi dengan berbagai orang di seluruh dunia dengan berbagai latar belakang yang berbeda pula. 

Selama kita dan orang tersebut memiliki koneksi internet dan berada pada aplikasi sosial yang sama, maka kegiatan komunikasi sangat mungkin untuk terjadi. Istilah untuk orang yang aktif terlibat dalam komunitas virtual atau internet biasa disebut dengan netizen, yaitu lakuran dari citizen of the net.

Berbicara mengenai netizen, baru-baru ini heboh sebuah laporan dari Digital Civility Index (DCI) yang menyatakan bahwa tingkat kesopanan netizen Indonesia menempati urutan terbawah se-Asia Tenggara. 

Riset yang dirilis oleh Microsoft ini menunjukkan bahwa tingkat kesopanan netizen Indonesia meningkat menjadi ke angka 76, yang mana semakin tinggi angkanya maka semakin buruk tingkat kesopanannya. 

Indonesia berada di urutan ke-29 dari 32 negara yang disurvei. Kemudian netizen Indonesia yang tidak terima akan hasil laporan tersebut mulai membanjiri kolom komentar akun instagram Microsoft dengan berbagai respon. kolom komentar didominasi oleh netizen yang tidak terima akan hasil laporan tersebut, meskipun ada pula yang membenarkan dengan memberikan komentar mengenai pengalaman mereka berselancar di dunia maya.

Dari sini kita bisa melihat bahwa pentingnya untuk memiliki etika di mana pun kita berada. Baik secara virtual maupun tatap muka langsung. Hal ini diperlukan guna menciptakan komunikasi budaya yang baik antara sesama warga Indonesia maupun warga dari negara lain. Lantas, apa itu komunikasi budaya dan kenapa hal ini berkaitan dengan perilaku kita di dunia maya? 

Komunikasi antar budaya menurut Pearson dkk (2009:170) adalah suatu proses pertukaran informasi antara orang-orang yang memiliki latar belakang budaya yang berbeda. Kita tahu bahwa internet memiliki jutaan pengguna yang memiliki latar budaya masing-masing. 

Tetapi kita sering lupa akan hal tersebut dan berakhir melakukan tindakan yang merugikan kepada pengguna internet lainnya yang disebabkan karena perbedaan budaya dengan mengeluarkan hate speech/ujaran kebencian. 

Hal ini sudah menjadi ‘budaya’ tersendiri didalam dunia maya. Bahkan sudah ada penelitian mengenai jumlah kebencian dibeberapa platform digital terkenal. Internet dengan segala kebebasan di dalamnya yang sangat menggiurkan, serta beban pekerjaan di dunia nyata, membuat dunia maya menjadi pelarian yang tepat bagi netizen.

Pengguna internet dan anonimitas-nya yang sering disalahgunakan sebagai tameng dalam menyebarkan perilaku negatif (Sumber: unsplash.com/engine akyurt)
Pengguna internet dan anonimitas-nya yang sering disalahgunakan sebagai tameng dalam menyebarkan perilaku negatif (Sumber: unsplash.com/engine akyurt)

Ada berbagai sebab kenapa hal ini bisa terjadi. Seperti dua faktor tadi yang mendasari terjadinya pengikisan etika komunikasi antar budaya di internet. Faktor lainnya adalah rasa ingin merasakan kebebasan berekspresi yang mungkin tidak didapat di dunia nyata. Kemudian rasa iri akan suatu objek juga menjadi pencetus ujaran kebencian ini. Kebencian adalah salah satu tanda dari kurangnya etika dan norma di masyarakat. Merasa memiliki kendali penuh atas pernyataan apapun yang dilontarkan tanpa memperhatikan konsekuensinya pada pengguna internet lain.

Balik ke budaya, apakah kita dapat menghancurkan circle ini? Panggung bebas dengan segala resiko didalamnya membuatnya bagaikan pisau bermata dua. Pengguna internet di Indonesia yang membludak tetapi tidak disertai dengan literasi yang memadai membuat mereka mengalami kemerosotan etika yang lumayan tajam. Seperti riset yang dirilis oleh Microsoft tadi, bukannya berbenah diri dengan memperhatikan tutur kata setiap berselancar di internet, netizen Indonesia justru sibuk menyerang akun Microsoft di berbagai platform digital. Yang mana menurut saya hal ini sangat lucu. Secara tidak sadar netizen Indonesia telah membuktikan hasil dari laporan riset tadi. Bahwa netizen Indonesia adalah netizen yang ‘barbar’. Warga Indonesia pasti tidak asing dengan kata ini.

Istilah ini biasa digunakan untuk mengungkapkan betapa ‘berbahaya’-nya apabila ada yang berani berurusan atau membuat masalah dengan netizen Indonesia. Padahal jika ditinjau, barbar sendiri memiliki artian negatif. Orang barbar adalah manusia yang dianggap biadab atau primitif. Tetapi hal ini justru menjadi kebanggaan tersendiri bagi netizen Indonesia. Mereka tidak sadar bahwa ke-barbar-an mereka justru membuatnya semakin dihindari di dunia maya. Saya sendiri sudah merasakan hal tersebut.

Saya senang berseluncur di internet untuk mencari teman baru dari negara lain. Disalah satu platform digital, seorang pengguna internet dari negara lain bertanya kepada saya dari negara mana saya berasal. Tentu saya jawab dengan Indonesia, tetapi tak lama setelah saya menjawab pertanyaan tersebut, saya tidak bisa lagi mengirimkan pesan kepada pengguna tersebut. Menandakan bahwa dia telah memutus koneksi dengan kita. Saya sangat bingung saat itu. “Apa yang salah dari negara saya?”, “Apakah saya mengatakan sesuatu yang salah?”. Lalu setelah mendengar berita tentang riset tadi, saya jadi paham kenapa hal itu terjadi pada saya. Memang tidak bisa dipungkiri bahwa sesama warga Indonesia pun perlakuan negatif cukup sering saya jumpai. Ujaran kebencian sudah menjadi makanan sehari-hari, ditambah dengan kebanggaan akan sifat ‘barbar’ tersebut menambah rasa overproud kita pada pemikiran yang seharusnya perlu dirubah.

Sekali lagi, kita tidak sendirian. Kita harus memahami dan mencari kesepakatan bersama apabila ingin berkomunikasi dengan orang dari budaya yang berbeda. Biasakan untuk menempatkan perspektif kita pada orang tersebut.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Alam & Tekno Selengkapnya
Lihat Ilmu Alam & Tekno Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun