Mohon tunggu...
Sosbud Pilihan

Krisis Terbesar di Indonesia

26 Mei 2015   09:23 Diperbarui: 17 Juni 2015   06:35 89
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

Indonesiaku adalah negara hebat dengan sumber daya manusia dan alam yang luar biasa. Keduanya sama-sama beragam dan dengan segala kelebihan serta kekurangan yang ada, keduanya adalah hal yang menjadi hakikat bangsa Indonesia. Demi menjaga keberlanjutan dari kedua komponen negara ini, manusia dititipi amanah untuk mengatur segala dinamika yang ada pada sebuah negara sehingga pergerakan tersebut terarah dan tetap berada pada jalur yang benar, jalur yang dapat mengoptimalkan potensi tiap sektor, demi mencapai kemajuan bangsa.

Ujung tombak kemajuan suatu bangsa terletak pada kualitas generasi muda yang telah ada dan tengah dipersiapkan dari segi semangat, antusiasme, dan inovasi, serta terletak pada kualitas generasi lanjut dari segi pengalaman dan pembelajaran. Maka, layaknya sebuah negara, Indonesia pun butuh seorang penengah yang dapat membawa bangsanya kepada sebuah arah yang dapat menjadi jembatan cita-cita seluruh generasi, Indonesia butuh seorang penunjuk arah, pemandu, pemimpin, Indonesia butuh seorang presiden.

Dimulai sejak SMA, masa yang dilalui seorang individu adalah masa mencari jati diri dan upaya pencarian jati diri tersebut kerap kali dilakukan dengan membuka mata, telinga, dan pikirannya terhadap lingkungan sekitar. Mengapa perlu mencari jati diri? Tentu karena dengan mengetahui who are we dan where do we belong, seseorang akhirnya dapat mengetahui posisinya dalam dinamika sosial untuk mendapat “identitas”. Mereka yang mengenali dirinya dengan mengenali lingkungan sekitarnya, pada akhirnya akan kembali kepada lingkungan sekitarnya dan berusaha untuk berkontribusi karena sesungguhnya sebaik-baiknya manusia adalah mereka yang bermanfaat bagi orang lain.

Karena kepekaannya terhadap lingkungan sekitar, persoalan-persoalan negara yang marak dibahas di media seperti kasus korupsi, bencana alam, hutang piutang, kenaikan kebutuhan pokok rakyat, dll marak pula dibahas di sekolah. Siswa sudah dituntut untuk berpikir kritis dan analitis baik dalam ranah kegiatan belajar mengajar ataupun perbincangan ringan sehari-hari. Namun, persoalan negara yang paling menimbulkan dampak negatif pada pola pikir lingkungan saya sebagai pelajar SMA adalah soal krisis pemimpin di negara Indonesia.

Tahun 2014 silam terlewati dengan Pemilu yang hanya memiliki 2 pasangan calon presiden dan wakil presiden yang benar-benar sukses membagi Indonesia menjadi 2 kubu besar dan kuat, sampai pada akhirnya dinetralisir dengan dilantiknya salah satu pasangan sebagai presiden dan wakil presiden yang baru. Serta munculnya sosok-sosok pemimpin baru yang menonjol, diantaranya adalah Joko Widodo (Mantan Gubernur DKI Jakarta) yang dikenal akan aksi-aksi nyata dan sigapnya, Basuki Tjahaja (Gubernur DKI Jakarta) yang dikenal akan ketegasannya, Ridwan Kamil (Walikota Bandung) yang dikenal akan kekreatifannya, dan Risma (Walikota Surabaya) yang dikenal akan keberaniannya. Namun hanya dalam waktu beberapa bulan pandangan tersebut berubah, ada yang menjadi lebih baik ada yang menjadi buruk.

Saat mendengar pemberitaan positif mengenai para pemimpin tersebut, muncul sebuah semangat dalam diri saya. Semangat untuk ikut berkontribusi membantu mereka, walau hanya dalam batasan “ikut mendukung” baik melalui tugas-tugas sekolah/organisasi yang ditujukan guna mendukung program kerja pemimpin tersebut atau hanya dengan sekadar men-tweet atau share berita baik dari Indonesia terkait kinerja mereka. Semangat yang membuat seseorang merasa bahwa Indonesia memiliki harapan yang besar ke depannya dan dengan diperlihatkannya kinerja pemerintah yang baik, muncul sebuah kepercayaan dari saya pribadi sebagai generasi muda. Sesungguhnya dengan terbangkitkannya semangat generasi muda tersebut, teruncingkanlah pula ujung tombak kemajuan bangsa.

Namun, porsi berita positif kini terakalahkan dengan porsi berita negatif terkait kepemimpinan tersebut. Cacian, kritikan, dan segala tanggapan negatif datang silih berganti dalam berbagai cara mulai dari pemberitaan di media masa, informasi dan opini dari media sosial, bahkan aksi-aksi demonstratif yang dilakukan berbagai oknum. Hal ini berhasil menyurutkan semangat saya sebagai generasi muda dalam memandang bangsa ini. Menimbulkan pemikiran-pemikiran negatif yang pada akhirnya berpotensi untuk mengubah semangat tersebut menjadi sebuah keapatisan atau sikap tak acuh karena merasa beban yang ditanggung bangsa ini terlalu besar, berat, dan kompleks sehingga hanya akan membebani mereka yang berusaha untuk ikut berandil ataupun muncul pola pikiri “saya tidak mampu” sedangkan seharusnya generasi muda mengambil pembelajaran dari kepemimpinan para pendahulunya untuk diterapkan pada masanya nanti, terlepas kemampuannya kini.

Pola pikir apatis terhadap negara sudah mulai menjadi wabah yang menyebar di kalangan generasi muda. Keputusasaan, kehilangan kepercayaan, dan kekecewaan menjadi hal-hal mendasar yang melandasi sikap ini. Sekalinya terlibat, hal yang dijatuhkan hanyalah kritik semata. Pengecapan buruk terhadap kinerja pemerintah kini dapat dilakukan semudah membalikkan telapak tangan. Tidakkah pernah terlintas sebuah pemikiran yang menyatakan bahwa karena tidak ada pemerintah yang ingin menjerumuskan rakyatnya kepada kesengsaraan maka segala tindakan yang diambil pasti memiliki alasannya tersendiri? Tidakkah pernah terlintas bahwa pengecapan ini diberikan terlalu dini? Ridwan Kamil dalam Mata Najwa pernah menyatakan bahwa kekurangan utama dari masyarakat adalah ketidaksabarannya. Dan tidakkah pernah terlintas bahwa walau bagaimanapun mereka pulalah yang menjadi pilihan bangsa? Kritik memang bisa menjadi motivasi untuk membangun, namun akan tetap bermakna kosong jika tidak diimbangi oleh sebuah solusi.

Pada akhirnya, muncul sebuah konklusi bahwa karena negara kita menganut asas welfare, kunci utama keberhasilan seorang pemimpin di Indonesia adalah kepiawaiannya dalam mengambil hati rakyat. Terambilnya hati rakyat akan berujung pada rakyat yang mencintainya. Dicintai rakyat sama dengan didukungnya program kerja yang direncanakannya. Program kerja pemerintah banyak yang dicap tidak berhasil dikarenakan efeknya baru akan timbul setelah diterapkan secara berkelanjutan/berkepanjangan sedangkan rakyat menuntut hasil instan. Dengan didukungnya program kerja pemimpin tersebut, terbukalah kesempatan bagi program tersebut untuk unjuk gigi manfaatnya karena respect warga sudah timbul dan akan memunculkan antisipasi yang tinggi. Dengan begini, tingginya index of happiness suatu kawasan dapat tergapai dari awal suatu masa dan diharapkan dapat terjaga sampai seterusnya, bahkan meningkat.

Mengambil hati rakyat dapat dilakukan dengan berbagai cara, kunci utamanya adalah menjaga komunikasi. Rakyat senang dilibatkan dan diminta untuk berkontribusi. Hal ini terbukti di Bandung lewat munculnya ribuan relawan untuk peringatan KAA dari kalangan remaja sampai orang dewasa, Gerakan Pungut Sampah yang diindahkan oleh berbagai organisasi/aktivis lingkungan, dan kesediaan para pemulung untuk bekerja sama dengan pemerintah kota Bandung untuk menjadi relawan dalam mewujudkan Bandung yang lebih bersih. Era globalisasi membuat pun jarak, waktu, dan kesempatan tidak lagi menjadi sebuah halangan. Jarak pemerintah dan rakyat menjadi sebatas genggaman tangan.

Sistem sehebat apapun tidak akan pernah berhasil tanpa adanya dukungan dari rakyat yang memercayainya. Hal ini sudah disadari oleh para pendahulu bangsa saat pertama mendirikan negara ini dengan memunculkan asas dari rakyat, oleh rakyat, dan untuk rakyat. Maka melalui post kali ini saya ingin mengajak para generasi muda untuk membuka mata, telinga, dan pikirannya untuk memperbaiki pola pikir terhadap negara yang selama ini ada menjadi kearah yang positif dan solutif serta mengambil pembelajaran mengenai kunci pemajuan bangsa yang selaras dengan rakyat.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun