Nida menghembuskan nafas berat. Kembali menoleh kepada Aldy yang tengah duduk di sampingnya.
"Dy, keduanya memang untuk masa depanmu. Keduanya sama membuka peluang untuk masa depanmu yang cerah. Tapi bisakah kau mengikuti keinginanku terlebih dahulu? Bukankah kau juga menginginkannya?."
"Ini tidak mudah untuk diputuskan Nida!" Aldy menoleh dan pandangan mereka bertemu. Melihat mata wanita itu hampir berkaca-kaca.
"Aku tahu, aku sangat tahu bahwa beasiswa itu tak akan ada lagi, tapi..." menggantung kalimatnya karena kali ini air mata Nida benar-benar jatuh.
"Maaf" ucap Nida lirih. Menyeka air matanya sendiri dan berusaha untuk tersenyum.
"Kurasa sudah cukup untuk menjelaskannya padamu. Aku tak menuntutmu untuk mewujudkan keinginanmu. Sekarang, keputusannya ada padamu Aldy. Aku tidak berhak untuk memaksamu mengikuti keinginanku." kembali menghembuskan nafas berat dan terus berusaha untuk tetap tersenyum di hadapan Aldy.
Nida ingin Aldy sekolah lagi. Masuk Universitas ternama. Bukankah itu keinginan Aldy juga? Bukankah Aldy sempat menulis keinginan itu diatas sebuah kertas putih dulu. Dulu sekali, saat mereka masuk kelas 3 SMA. Dan kenapa sekarang Aldy terlihat kebingungan memilih kemana ia akan melanjutkan hidup? Menjadi Pengajar? Menjadi Guru? Ya ide bagus. Tapi bukankah pekerjaan itu akan sangat mungkin dialami setelah lulus sarjana?.
***