Mohon tunggu...
Fidel Dapati Giawa
Fidel Dapati Giawa Mohon Tunggu... Pengacara - Advokat

Nulis dangkadang, tergantung mood

Selanjutnya

Tutup

Politik

Hak Pilih TNI, Ngawur...

27 Juni 2010   17:02 Diperbarui: 26 Juni 2015   15:15 271
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Indonesia sebagai negara memang sudah kacau. Kenapa kacau? Karena Tentara Nasional Indonesia (TNI) disamakan dengan partai politik. Juga kacau karena Polri disamakan dengan partai politik. Lebih kacau lagi karena institusi disamakan dengan status kewargaan.

Akhir-akhir ini mencuat lagi isu soal hak pilih TNI-Polri. Pro-kontra antara mendukung dan tidak mendukung penggunaan hak pilih TNI-Polri pada pemilu 2014 nanti. Sungguh aneh, kenapa orang-orang berpikir soal perlu tidaknya hak pilih (dipilih dan memilih) bagi TNI-Polri. Sudahlah jelas bahwa TNI dan Polri sebagai institusi yang menjadi alat negara tidaklah punya hak pilih. Karena yang punya panggung dalam soal hak pilih adalah partai politik. Partai politik adalah wadah penyalur aspirasi politik para warga negara.

Demikian pula halnya dengan Korps Adhyaksa alias Kejaksaan, tentunya tidak punya hak pilih. Demikian pula halnya dengan Departemen Kehakiman yang membawahi para hakim, tidaklah punya hak pilih. Demikian pula dengan Departemen Pendidikan Nasional yang membawahi sekolah dan para guru tidaklah punya hak pilih. Bahkan, sekolah sebagai sebuah institusipun tidak punya hak pilih. Akan tetapi orang-orang yang berada atau bernaung di institusi tersebut tentulah punya hak pilih secara kewargaan, asal memenuhi syarat-syarat yang ditentukan oleh UU.

Hak pilih adalah hak kewargaan. Bukan hak institusi. Tapi kenapa untuk TNI dan Polri seakan-akan hak pilih berada pada institusi? Ini bukan saja soal trauma terhadap peran masa lalu tentara dalam politik. Menurut saya hal ini terjadi karena ada sesat pikir dalam memahami soal politik. Atau mungkin juga bentuk keangkuhan warga kedua institusi itu. Seakan-akan hanya institusi merekalah yang menjadi alat negara sehingga harus dijaga netralitasnya. Padahal banyak institusi lain yang juga adalah institusi negara yang memang netral dalam urusan pilih memilih ini. Misalnya, Korps Adhyaksa pun harusnya netral. Begitupun sekolah-sekolah. Begitupun Pemda sebagai institusi haruslah netral. Institusi negara dan birokrasi pada hakekatnya adalah netral dalam urusan politik.

Apakah para politisi kita dan tentara kita berpikir bahwa penyaluran hak pilih warga tentara haruslah berdasarkan komando. Harus berdasarkan perintah. Inilah kesesatan. Tentara itu hanya bekerja di bawah komando dalam urusan perang. Apakah itu dalam perkara latihan, penempatan personel, maupun perintah tugas. Hak pilih bukanlah bagian dari tugas perang sehingga tidak perlu harus ada komando di dalamnya.

Polisi pun ikut-ikutan tentara pula dalam soal hak pilih ini. Padahal polisi tidak menganut komando dalam tugasnya. Walau masih banyak polisi memberikan pengantar dalam berbagai pelaksanaan tugasnya bahwa ia melakukan sesuatu karena perintah pimpinan, sesungguhnya polisi bekerja atas perintah undang-undang. Memeriksa, menahan, menggeledah, menyita sesuatu barang, serta tindakan polisionil lainnya adalah atas perintah undang-undang.

Tugas dan fungsi institusi negara ini campur aduk semua. Para pakar kita pun tak ada yang mengoreksi. Mungkin karena ada kepentingan dalam pro-kontra itu.

Coba kita bayangkan, jika masing-masing institusi menolak hak pilih dengan alasan bahwa mereka adalah alat negara. Seandainya Mahkamah Agung menginstruksikan para hakim untuk tidak menggunakan hak pilihnya karena mereka lebih memilih menjalankan tugas negara dari pada menjadi partisan. Jika saja Sekjen Depdiknas menginstruksikan seluruh jajarannya untuk tidak menggunkaan hak pilihnya karena tidak mau terjadi perpecahan dalam tubuhnya. Coba kita bayangkan pula seandainya Jaksa Agung menginstruksikan para Jaksa untuk tidak menggunakan hak pilihnya. Maka yang terjadi adalah koalisi aparat negara dengan sekelompok golput yang selama ini dilarang.

Nah, soal Golput yang menolak hak pilih. Mereka adalah sekelompok masyarakat kewargaan (civil Society) yang lebih punya hak bebas untuk bersikap tidak menggunakan hak pilih, lalu kenapa mereka sering kali dikritik atau bahkan dianggap sebagai insinuasi terhadap agenda politik nasional? Kenapa TNI-Polri tidak dianggap melakukan insinuasi, atau bahkan pembodohan?

Penolakan penggunaan hak pilih oleh TNI adalah kebodohan sekaligus pembodohan. Kebodohan karena memang institusi tidak punya hak pilih. Pembodohan karena berimplikasi membutakan warga negara yang ada dalam wadah TNI terhadap realitas politik. Lebih membodohi lagi kalau dengan alasan netralitas tersebut institusi TNI dan Polri melakukan politik dagang sapi dengan para pemain politik, entah itu kandidat presiden/wakil presiden, entah itu dengan partai politik. Kalau yang terakhir ini yang terjadi, berarti sesungguhnya TNI dan Polri mencoba menempatkan diri sebagai kekuatan politik di atas kekuatan politik lainnya. Keangkuhan sekaligus kemunafikan.

Wahai para politisi, pakar dan pimpinan TNI yang terhormat, akhirilah polemik tentang hak pilih itu. TNI dan Polri mau pake atau tidak, lebih baik diam saja. Jangan koar-koar. Yang perlu diatur dan ditempatkan dengan serius adalah hak pilih warga negara.***

Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun