Mohon tunggu...
Fidel Dapati Giawa
Fidel Dapati Giawa Mohon Tunggu... Pengacara - Advokat

Nulis dangkadang, tergantung mood

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Apakah Nafsu Makan Ikan Orang Indonesia Mengkhawatirkan?

14 Juli 2011   04:09 Diperbarui: 26 Juni 2015   03:41 372
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

Apakah nafsu makan ikan orang Indonesia sudah mengkhawatirkan? Pertanyaan ini muncul karena cerita dan berita sebagai berikut:

Kemaren 13 juli 2011 sekitar 500 orang ibu hamil mendengar ceramah Menteri Kelautan dan Perikanan, Fadel Muhamad. Entah dari mana para ibu hamil itu dikumpulkan. Apakah mereka adalah para pelopor sosialisasi program Gemarikan yang dicanangkan Kementerian Kelautan dan Perikanan, ataukah para ibu yang masih ragu makan ikan karena ditabukan oleh agama atau budaya mereka. Atau mereka hanya sekedar pelengkap seremonial pidato Menteri dalam peluncuran perangko seri Gemarikan yang dicanangkan Pak Menteri. Mereka mungkin sekedar pemantas.

Pidato Pak Menteri sendiri tidak menjelaskan apa hambatan bagi kegemaran makan ikan para ibu hamil atau orang Indonesia pada umumnya sehingga diperlukan sebuah program sosialisasi yang menelan biaya sampai sepuluh milyar rupiah. Dalam pidato, Menteri Kelautan dan Perikanan lebih banyak memaparkan rendahnya tingkat konsumsi ikan per kapita manusia Indonesia dibanding dengan negara lain seperti Malaysia dan Singapura. Katanya, manusia Indonesia hanya mengkonsumsi 30,47 kg ikan per kapit per tahun, sedangkan orang Malaysia mencapai 55,4 kg/kapita/tahun sedangkan orang Singapur masih mengalahkan orang Indonesia dengan tingkat konsumsi ikan37,9 kg/kapita/tahun.

"Salah satu penyebab rendahnya tingkat konsumsi ikan adalah terkait dengan masalah mitos dan budaya. Seperti, mengkonsumsi ikan dapat menyebabkan anak cacingan dan apabila ibu hamil mengkonsumsi ikan menyebabkan air susu amis dan lain sebagainya," demikian pernyataan Menteri Fadel (bukan Fidel) yang saya kutip dari situs Kementerian Kelautan dan Perikanan. Namun menteri tidak menguraikan berapa persen dari orang Indonesia yang meyakini mitos ini. Jadi, sangat meragukan apakah pernyataan Menteri ini sekedar kesimpulan sambil lalu sekedar menggenapi alasan dalam pidatonya, atau Pak Menteri sedang mengenang masa kecil ketika keadaan kita masih kekurangan sandang dan pangan yang sering dimanipulasi dengan pesan-pesan yang diselimuti cerita mitos dari orang tua kita?

Dengan seksama Pak Menteri pun menguraikan betapa tinggi gizi yang terkandung dalam daging ikan. Mulai dari tingkat protein serta kandungan omega dalam daging ikan yang konon bisa meningkatkan kecerdasan anak Indonesia. Namun tidak disinggung apakah bahan makanan lain yang digemari orang Indonesia memperburuk tingkat kecerdasarn anak-anak Indonesai. Pun -- menyangkut nilai gizi -- Pak Menteri yang dikenal berprestasi membangun Gorontalo itu tidak membandingkan tingkat konsumsi ikan orang Indonesia terhadap konsumsi bahan makanan lain seperti tempe, tahu atau daging. Singkat cerita, tak terlihat kemendesakan dan alasan yang solid dicanangkannya program Gemarikan tersebut.

Karena tak menemukan alasan maka saya pun coba minta bantu mbah google menemukan -- barangkali ada data/informasi -- masalah dalam pola makan ikan orang Indonesia. Tak saya temukan. Saya malah menemukan banyak berita bahwa berbagai pemerintah daerah sedang giat-giatnya melakukan sosialisasi makan ikan sejak beberapa tahun lalu. Karena tak menemukan alasan kemendesakan program itu maka saya berkesimpulan: program pemborosan.

Saya berpikir, seandainya saja anggaran untuk sosialisasi itu bisa dialokasikan untuk mensubsidi nelayan menghadapi harga BBM untuk melaut; seandainya saja anggaran sosialisasi itu bisa digunakan untuk kredit ringan bagi nelayan, atau untuk membangun dermaga serta fasilitas lainnya bagi nelayan; seandainya anggaran sosialisasi itu digunakan untuk membereskan masalah ijon yang selama ini banyak mencekik para nelayan; seandainya saja anggaran sosialisasi itu dipake untuk meningkatkan perangkat teknologi untuk memantau dan mencegah para nelayan asing yang mencuri ikan di perairan kita. Seandainya .... seandainya... dst... tentu hasil tangkap para nelayan bisa ditingkatkan dan dengan sendirinya konsumsi ikan bisa meningkat.

Sepanjang pengetahuan saya (sebagaimana Pak Menteri menggunakan asumsi subjektifnya), saya tak pernah menemukan sebuah budaya atau bahkan individu yang berpantang makan ikan. Ada beberapa orang yang alergi, termasuk keponakan saya yang alergi makan ikan, tetapi dalam kadar tertentu bisa makan ikan. Orang lain yang pernah saya temukan tidak makan ikan adalah seorang yang sedang melakukan tapa mutih (berpantang makan selain nasi dan air putih untuk jangka waktu tertentu) karena menginginkan salah satu jabatan bergengsi di pusat pemerintahan Republik Indonesia ini (nah lho.....). Tapi saya pikir perilaku beberapa orang ini tak membuat kita khawatir akan animo orang Indonesia untuk makan ikan. Yang jadi masalah sebenarnya adalah apakah supply telah mencukupi dan keterjangkauan harga oleh konsumen ikan. Bukankah tahu dan tempe lebih murah dari ikan dan harganya relatif terjangkau?

Saya tidak akan berargumen lebih panjang lagi. Lebih baik saya lemparkan sebuah asumsi spekulatif saya tekait penggunaan anggaran sosialisasi ini. Saya berasumsi bahwa penggunaan anggaran untuk berbagai program seperti sosialisasi ini lebih mudah dipertanggungjawabkan (sekalipun disalahgunakan) dari pada proyek fisik maupun pengadaan. Untuk program seperti ssosialisasi, cukup dengan bukti kelengkapan administrasi, misalnya daftar hadir dan dokumentasi kegiatan sosialisasi. Tidak ada bukti fisik yang perlu dinilai oleh konsultan maupun pengawas maupun auditor. Akhirnya, program seperti sosialisasi makan ikan ini tidak hanya pemborosan (kalaupun dilaksanakan dengan sungguh) melainkan lebih memudahkan terjadinya penyalahgunaan anggaran. Begitukah???

Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun