Mohon tunggu...
nabilareynarahmadhani
nabilareynarahmadhani Mohon Tunggu... Universitas Maulana Malik Ibrahim Malang

Mahasiswi yang antusias dalam pemrograman dan teknologi

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Alam & Tekno

Misi Sistem yang Adaptif: Menjawab Tantangan Rekayasa System-of-Systems(SoS) di Era Kompleksitas

21 Mei 2025   01:01 Diperbarui: 21 Mei 2025   01:01 39
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
(Sumber: Freepik/pressfoto)

Di tengah derasnya arus perubahan global, rekayasa sistem tak lagi cukup bila hanya berfokus pada optimalisasi sebuah sistem tunggal. Kini, tantangan terbesar justru muncul ketika berbagai sistem---yang awalnya dirancang independen, beroperasi secara otonom, dan dikelola oleh entitas berbeda---harus berkolaborasi dalam kerangka besar yang disebut System of Systems (SoS). Dari sini lahirlah satu disiplin yang mulai menjadi pilar dalam rekayasa kompleks modern: Mission Engineering (ME).

Artikel dari Ali K. Raz dkk., "I" menyajikan bukan hanya pendekatan teknis, tetapi juga gagasan yang layak direnungkan dalam konteks nasional dan strategis. Mereka mengajukan kerangka konseptual dan matematis untuk menghadapi tantangan integrasi dan reconfigurability dalam SoS---suatu kebutuhan yang makin nyata di era misi dinamis dan ancaman non-linear seperti bencana alam, perang hibrida, hingga logistik global yang semakin tak pasti.

Mengapa Mission Engineering Penting?

Secara prinsip, ME membawa paradigma baru: bukan sistem sebagai pusat perhatian, melainkan misi sebagai system of interest. Artinya, segala arsitektur, teknologi, dan sumber daya yang ada diarahkan dan dievaluasi dari kemampuannya untuk mewujudkan satu atau beberapa misi yang berubah-ubah.

Kekuatan ME terletak pada fleksibilitasnya. Dunia nyata menuntut arsitektur yang bisa berevolusi secara dinamis, bukan kaku dalam satu konfigurasi. Sistem yang "optimal" dalam satu skenario, bisa jadi mandul ketika konteks berubah. Maka, solusi ME bukan mencari satu konfigurasi terbaik, melainkan sekumpulan konfigurasi "cukup baik" yang adaptif, handal, dan siap dirotasi secara cerdas.

Dari Ontologi ke Algoritma

Kelebihan mendasar dari pendekatan yang ditawarkan dalam artikel ini adalah bahwa ia tidak berhenti pada teori. Dengan cermat, penulis membangun fondasi ontologis---bahasa domain yang konsisten secara semantik---yang memungkinkan pemodelan kompleks dapat dimengerti baik oleh manusia maupun mesin.

Lebih dari itu, mereka merumuskan Mission Engineering Design Space (MEDS) secara matematis dengan kombinasi logika temporal (Allen's Interval Algebra) dan prinsip set-based design. Ini memungkinkan konfigurasi SoS tidak hanya dipetakan, tetapi juga dievaluasi secara sistematis berdasarkan waktu, urutan tugas, keterbatasan sistem, dan berbagai metrik performa seperti waktu tanggap, probabilitas keberhasilan, serta utilisasi aset.

Dengan mission chains, mission paths, mission nets, dan mission webs, penulis merancang hirarki dan struktur yang mampu menangani ledakan kombinatorik dalam pemilihan sistem dan distribusi tugas. Ini bukan sekadar pemodelan statis, melainkan pendekatan evolusioner untuk skenario yang berubah-ubah.

Konteks RPL dan Implikasi Pendidikan

Sebagai seorang akademisi dan praktisi di bidang Rekayasa Perangkat Lunak (RPL), saya melihat bahwa pendekatan ME ini membawa implikasi penting bagi pendidikan teknik, khususnya dalam mendidik calon engineer yang tak hanya bisa mengoding, tetapi mampu berpikir sistemik lintas disiplin.

Pembelajaran RPL harus berkembang dari sekadar pembentukan software product menuju kontribusi dalam mission-oriented systems. Mahasiswa perlu diajak memahami bagaimana perangkat lunak, sensor, jaringan, dan analitik data berperan dalam menggerakkan misi yang kompleks---dari pertahanan siber, sistem transportasi pintar, hingga manajemen bencana berbasis AI.

Model yang ditawarkan oleh Raz dkk. juga membuka peluang besar untuk implementasi dalam capstone project yang bersifat multidisiplin: kolaborasi antara mahasiswa RPL, teknik elektro, industri, dan kebijakan publik. Di sinilah ME menjadi platform edukasi yang sekaligus mendekatkan akademia dengan kebutuhan nyata.

Tantangan ke Depan

Namun, perlu dicatat, tantangan ME bukan kecil. Pengembangan ontologi lintas domain menuntut kerja sama antar pakar, dan kemampuan reasoning berbasis logika temporal masih perlu infrastruktur digital yang matang. Belum lagi persoalan interoperabilitas sistem lama, keterbatasan akses data, hingga kendala kebijakan antar institusi.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Alam & Tekno Selengkapnya
Lihat Ilmu Alam & Tekno Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun