Di era transformasi digital yang semakin pesat, peran Rekayasa Perangkat Lunak (RPL) tidak lagi hanya terbatas pada pembangunan sistem informasi atau pengembangan aplikasi bisnis. RPL telah menjadi tulang punggung dari berbagai sektor, mulai dari layanan kesehatan, pendidikan, transportasi, hingga sektor pemerintahan. Namun, dengan perkembangan teknologi yang sangat cepat, muncul tantangan baru yang memaksa kita untuk meninjau ulang paradigma lama dalam praktik RPL. Apakah pendekatan kita selama ini masih relevan? Apakah proses-proses dalam RPL telah cukup adaptif terhadap dinamika teknologi dan kebutuhan pengguna?
Secara historis, RPL lahir untuk menjawab permasalahan kompleks dalam pengembangan perangkat lunak, terutama agar pembangunan sistem dilakukan secara terstruktur, terdokumentasi, dan dapat dipelihara dalam jangka panjang. Pendekatan klasik seperti Waterfall Model menjadi fondasi awal, lalu berkembang ke arah Iterative, Spiral, hingga Agile yang kini menjadi primadona. Namun, perubahan paradigma bukan hanya soal metode. Lebih jauh, perubahan ini menuntut kita untuk melihat ulang dimensi sosial, etika, dan keberlanjutan dari rekayasa perangkat lunak itu sendiri.
Salah satu isu fundamental dalam praktik RPL masa kini adalah keterputusan antara pengembang dengan pengguna. Di tengah semangat Agile yang menekankan kolaborasi dan iterasi, sering kali ditemukan bahwa pengguna akhir tetap tidak benar-benar terlibat secara aktif dalam proses pembangunan. Akibatnya, banyak produk perangkat lunak yang tidak menjawab kebutuhan riil di lapangan. Hal ini diperparah oleh praktik copy-paste requirement, dokumentasi yang asal jadi, serta minimnya validasi di tahap awal. Di sinilah pentingnya menerapkan prinsip human-centered design dalam proses RPL --- yaitu dengan menempatkan pengalaman dan kebutuhan pengguna sebagai fokus utama pengembangan, bukan semata-mata spesifikasi teknis.Â
Lebih lanjut, tantangan etika dalam RPL juga makin mengemuka. Kita menyaksikan bagaimana teknologi deepfake, manipulasi data pengguna, dan sistem rekomendasi yang bias menjadi ancaman nyata. Dalam konteks ini, seorang software engineer bukan sekadar pembuat kode, melainkan juga pemegang tanggung jawab etis terhadap produk yang dihasilkan. Maka, pendidikan RPL seharusnya tidak hanya berorientasi pada aspek teknis seperti pemrograman, struktur data, atau desain antarmuka, tapi juga mengintegrasikan kurikulum etika teknologi dan dampak sosial. RPL harus dilandasi dengan semangat ethical by design, yakni memastikan bahwa produk yang dibangun tidak merugikan pengguna baik secara langsung maupun tidak langsung.
Transformasi digital juga memunculkan kebutuhan akan ketahanan dan skalabilitas sistem. Arsitektur monolitik tradisional kini mulai ditinggalkan dan digantikan oleh pendekatan microservices, serverless, dan cloud-native development. Ini menuntut keterampilan baru dari para insinyur perangkat lunak: kemampuan untuk membangun sistem yang tangguh, responsif, dan dapat berkembang seiring waktu. Dalam konteks ini, RPL harus berevolusi menjadi praktik yang tidak hanya membangun, tetapi juga mampu memelihara dan mengembangkan sistem dalam lingkungan yang kompleks dan selalu berubah.
Selain itu, keberlanjutan (sustainability) dalam rekayasa perangkat lunak juga mulai menjadi perhatian. Kita jarang membicarakan berapa banyak energi yang dikonsumsi oleh proses komputasi yang kita bangun. Padahal, infrastruktur digital berkontribusi signifikan terhadap jejak karbon global. Oleh karena itu, kini mulai berkembang konsep green software engineering --- yaitu pengembangan perangkat lunak dengan mempertimbangkan efisiensi energi dan minimnya dampak lingkungan. Praktik ini bisa dimulai dari hal-hal sederhana seperti optimalisasi algoritma, manajemen sumber daya, hingga pemilihan arsitektur sistem yang lebih hemat energi.
Lantas, ke mana arah RPL ke depan?
Jawabannya bukan pada satu metode atau teknologi tertentu, melainkan pada kemampuan adaptasi dan refleksi berkelanjutan. RPL bukan sekadar metode, melainkan pendekatan menyeluruh yang mencakup aspek teknis, manusiawi, etis, dan lingkungan. Di sinilah peran penting para akademisi, praktisi, dan pengambil kebijakan untuk saling berkolaborasi dan membentuk ekosistem pengembangan perangkat lunak yang sehat, inklusif, dan berkelanjutan.
Sebagai penutup, kita perlu menyadari bahwa perangkat lunak bukanlah sekadar baris-baris kode, melainkan representasi dari nilai, keputusan, dan visi masa depan. Maka, mari kita jadikan RPL bukan hanya sebagai alat produksi digital, tapi sebagai jalan menuju masyarakat yang lebih adil, adaptif, dan berdaya melalui teknologi yang manusiawi.
Referensi
Simm, W. A., Samreen, F., Bassett, R., Ferrario, M. A., Blair, G., Whittle, J., & Young, P. J. (2018). SE in ES: Opportunities for Software Engineering and Cloud Computing in Environmental Science. In Proceedings of the 2018 International Conference on Software Engineering: Software Engineering in Society (ICSE-SEIS '18) (pp. 61--70). ACM. https://doi.org/10.1145/3183428.3183430
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI