Mohon tunggu...
Nabila Nuramalina
Nabila Nuramalina Mohon Tunggu... Freelancer - Mahasiswi Psikologi

Freelancer Event Organizer, Full-time Learner

Selanjutnya

Tutup

Kurma

Tentang Ketidakmampuan Manusia

28 April 2021   08:50 Diperbarui: 28 April 2021   08:59 553
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Kisah Untuk Ramadan. Sumber ilustrasi: PAXELS

Sebuah perubahan besar terjadi di antara masyarakat sebab adanya pandemi Covid-19. Mulai dari kebiasaan dalam bersosialisasi, sistem kerja kantoran, sampai ganti coping stress ke hal yang lebih bisa dilakukan di rumah saja. Saya banyak menemukan cerita di LinkedIn tentang bagaimana para freshgraduate, yang tahun ini sudah tidak lagi bisa dibilang "fresh", belum juga mendapatkan pekerjaan. Tidak muluk-muluk soal freshgraduate, yang sudah berpengalaman kerjapun kena imbas jadi harus ikut ngantri lagi melamar sana-sini, balik lagi jadi jobseeker bersama teman-teman yang belum pernah nyemplung sama sekali di dunia kerja.

 Tapi di sisi lain, pasti kita punya satu dua kenalan yang sepertinya rejekinya tidak terhalang rintangan apapun. Sedang pandemi seperti ini juga -yang katanya susah dapat kerja- dia justru sudah tiga kali ganti tempat kerja dalam kurun waktu satu tahun. Saya bilang dia beruntung karena dia bukannya pindah kerja karna kontraknya habis, justru pindah kerja sebelum kontraknya habis. Saya tahu dari mana ada orang seberuntung ini?  Karena hal itu terjadi oleh kakak kandung saya sendiri. Alasan pindah yang klasik, mulai dari soal perusahaan mana yang lebih besar hingga ke gaji dan peluang naik gaji yang lebih tinggi. Baca sampai sini, kita yang masih mengemban status jobseeker mungkin merasa geger sendiri. "Kok ya ada orang serakah begitu?" Pun saya pernah berpikiran seperti itu terhadap kakak saya sendiri. Tapi keluarga saya memang sedang butuh uang, atas alasan lain apapun yang mungkin tersembunyi, dia sudah ikut jadi tulang punggung keluarga sejak Ayah saya tidak lagi menafkahi keluarga.

"Tidak bisa jadi alasan! Harusnya dia bisa merasa cukup dong sudah diterima kerja di situasi sulit begini!" Iya, saya tahu, saya juga pernah marah begitu ke beliau. Saya juga sudah kirim banyak sekali lamaran kerja untuk magang sejak Desember tahun 2020 dan hingga tulisan ini dibuatpun baru dua perusahaan yang melanjutkan ke tahap wawancara dan belum ada satu perusahaan yang menerima saya. Jadi saya tahu bagaimana emosinya jika tahu ada orang yang sudah tiga kali pindah tempat kerja. Kalau tahu kurun waktu di tiap tempat kerjanya mungkin kalian akan lebih emosi lagi, jadi untuk bagian itu saya bebaskan dalam imajinasi kalian saja ya, hehe.

Hal ini cukup membuat saya mengevaluasi diri. Memberi puluhan pertanyaan atas "Kenapa saya belum juga dapat magang?" dan mencoba mengulik jawabannya sendiri. Saya ulas lagi CV saya, saya perbaiki bahasa dan nilai plus yang bisa saya tonjolkan di cover letter, saya bahkan ikut kelas tambahan untuk meningkatkan kemampuan saya, tapi pun setelah semua itu saya belum juga menerima kata "lolos". Saya pikirkan lagi nilai-nilai plus yang ada di diri saya. "Nilai TOEFL saya sudah di atas 550, IPK saya juga di atas 3.5, pengalaman organisasi cukup banyak, pengalaman riset juga lumayan." Bahkan sempat terbersit sebuah pikiran sombong dari saya yang hanya manusia biasa ini, "Padahal sholat saya lebih baik dari dia. Padahal saya lebih rajin mengaji. Padahal saya juga lebih banyak bantu-bantu Ibu di rumah." Titel "evaluasi diri" semakin bergeser menjadi membanding-banding kualitas diri yang sejatinya kita tidak pernah benar-benar tahu menahu soal itu. Namanya manusia, banyak khilafnya dan saya akui itu kesombongan yang sangat tidak patut terbersit walau sedetikpun di pikiran saya.

Menyadari bahwa proses evaluasi diri saya sudah tidak lagi murni, saya berhenti. Saya mulai belajar menerima bahwa rezeki dan ujian setiap orang berbeda-beda. Saya mungkin sulit mendapat kesempatan magang, tapi Allah lancarkan proses pengambilan data skripsi saya. Saya mungkin belum dapat lampu hijau untuk ikut bantu menopang ekonomi keluarga, tapi syukur Alhamdulillah saya masih sehat wal'afiat setelah berkali-kali saya kontak langsung dan menjadi caregiver bagi banyaknya keluarga saya yang positif terkena Covid. Bisa jadi kita melihat bahwa berkali-kali diterima kerja ialah rezeki bagi kakak saya, tapi bisa jadi sejatinya itu adalah rezeki Ibu saya yang dititipkan lewat kakak saya. Bisa jadi juga sebenarnya itu adalah ujian tersirat, Allah sedang mau menilai apakah hamba-Nya lupa bersujud kepada-Nya setelah doa-doanya dikabulkan satu persatu. Jawaban sebenarnya cukup berada pada Allah semata.

Proses yang panjang ini banyak naik-turunnya dan akan selalu ada saja "belajar"nya. Tapi dari kejadian dan pengalaman ini saya belajar bahwa sejatinya saya tidak mampu melakukan sesuatu atau menggapai apapun hanya dengan usaha saya sendiri. Mengutip dari perkataan Ibu saya yang selalu beliau ulang-ulang, "Selalu ada tangan Allah yang bekerja didalamnya". Dari Yang Maha Tahu dan Yang Maha Berkehendak, pada akhirnya saya menyerahkan segala usaha yang saya upayakan dengan mengembalikan lagi semuanya kepada-Nya. Ia tahu waktu yang paling tepat kapan doa kita dikabulkan dan tidak ada keraguan atas keputusan-Nya yang Maha Adil dan Bijaksana.

Saya tidak akan bilang bahwa sabar itu mudah. Bagi saya, menanamkan diri yang sabar dan ikhlas itu pelajaran seumur hidup. Namun yang perlu diyakini ialah bahwa kita tidak berjuang sendirian. Jadikan Allah sebagai support system nomor 1 atas segala usaha yang kita upayakan. Maka atas ketidakmampuan diri ini, cukupkanlah diri dengan berserah atas segala upaya melalui harapan yang kita gantungkan hanya kepada Tuhan yang Maha Mampu.

Salam hangat untuk semua yang tengah berjuang di situasi ini,

Semoga Ramadhan kali ini mampu menjadi momen mendewasakan dan membawa banyak keberkahan.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Kurma Selengkapnya
Lihat Kurma Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun