Lelaki sholeh itu menarik. Lelaki pendiam yang rajin baca buku itu  menarik. Dan dia lelaki sholeh yang pendiam dan rajin baca buku. Maka  harus kusebut apa? Double menarik? Atau menarik kuadrat?
***
Hari ini adalah hari bahagia Sasti. Sahabatku sejak kuliah dulu. Juga Ghina, temanku sejak SMP. Maka doaku pagi ini :
Ya Allah, berkahilah pernikahan sahabat-sahabatku dan buatlah aku tegar melewati hari ini.
Haha tegar? Apa salah satu mempelai pria adalah lelaki yang kusukai?  Bukan! Aku berdoa semoga aku tegar menghadapi pertanyaan "Kapan nyusul,  Cha?" Ya, aku akan segera 27 tahun bulan depan. Dan belum ada  tanda-tanda segera menikah. Ahhh sudahlah. Kuberusaha menikmati saja.
***
Sudah lama aku mengenalnya. Dia temanku sejak kuliah. Sekarang ia  bekerja di salah satu media elektronik di kotaku sebagai reporter.  Sementara aku baru saja bergabung dengan salah satu universitas sebagai  dosen.
Dulu waktu SMP, aku menyukai temanku yang pendiam. Dia cool menurut  teman-temanku. Tapi dia akrab denganku. Bahkan sampai sekarang. Aku  memang menyukai lelaki yang pendiam tapi bisa ngobrol denganku. Aku juga  tertarik dengan lelaki yang senang membaca. Lelaki yang senang membaca  itu biasanya pengetahuannya banyak. Keren aja gitu punya budget khusus  untuk beli buku, sementara laki-laki lain mungkin menghabiskan uangnya  untuk main game, nonton film atau bahkan ada yang suka beli baju. Lelaki  seperti ini kutemukan saat aku SMA.Â
Kakak kelasku itu. Sepintas memang  gayanya bukan seperti si kutu buku. Tapi dia sering ke perpustakaan  untuk minjem dan baca buku. Saat aku kuliah, aku mulai tertarik dengan  lelaki yang sholeh. Ya ketua organisasi tempatku berkecimpung  menghabiskan masa-masa kuliah selain belajar di kelas. Tapi, satu satu  satu itu semuanya toh menolakku. Teman SMP-ku itu sekarang sudah punya  pacar. Kakak kelas-ku itu juga sudah punya pacar. Bahkan ketua  organisasiku saat aku kuliah itu sudah menikah. Singkat cerita,  kesimpulannya mereka tak melirikku meski aku selalu berada di hadapan  mereka.
Maka, aku coba tahu diri. Bayu. Si lelaki yang kusebut menarik  kuadrat atau bahkan triple menarik itu rasanya sulit kuraih. Hanya  sebatas angan. Atau doa yang aku sendiri pun kadang terlalu malu  menyebut namanya dalam doaku. Aku bukan pesimis. Tapi hanya berusaha  sadar diri. Siapalah aku? Sudah jadi temannya saja aku merasa sangat  bersyukur. Bisa mendengarnya menyebut namaku, bisa meminta pendapatnya  dan berusaha memahami jalan pikirannya saja pun aku sudah sangat merasa  terberkahi. Apalagi jika ia jadi suamiku? Oh Tuhan, naf sekali rasanya.  Terlalu panjang angan ini berlayar.
***