Mohon tunggu...
Muhammad Zainuddin Badollahi
Muhammad Zainuddin Badollahi Mohon Tunggu... Administrasi - Antropolog

Ethnograpy

Selanjutnya

Tutup

Makassar

Kota Makassar (Dari Masa Kerajaan Gowa-Tallo)

2 Agustus 2022   12:11 Diperbarui: 2 Agustus 2022   12:21 2406
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Pada zaman penjajahan Belanda dan pada zaman pendudukan tentara Jepang sampai setelah kemerdekaan dan kedaulatan Republik Indonesia diakui dan sebelum namanya dirubah, ibukota Propinsi Sulawesi Selatan ini disebut kota Makasar. Namun di dalam bahasa daerah, baik dalam bahasa daerah Makassar maupun di dalam bahasa daerah Bugis tidak dikenal kata Makassar untuk menyebut ibukota Propinsi Sulawesi Selatan ini. Baik di dalam bahasa daerah Makassar maupun di dalam bahasa daerah Bugis selalu dipergunakan Ujung Pandang, Jumpandang atau Juppandang untuk menyebutkan nama ibukota Propinsi Sulawesi Selatan. lni pulalah salah satu alasan yang kuat mengapa pada zaman Daeng Pattompo. menjabat sebagai Walikota, nama kota Makassar diubah menjadi kota Ujung Pandang. Perubahan nama kota Makassar menjadi Ujung Pandang cukup banyak dan ramai dipersoalkan serta menimbulkan golongan yang pro atau setuju dan golongan yang kontra atau tidak setuju dengan perubahan itu.

Penyatuan dua kerajaan kembar Gowa-Tallo merupakan langkah pemufakatan penyelesaian konflik atau perang. Sejak penyatuan dua kerajaan itu, sebuah bandar baru dibangun yang dikenal dengan nama Makassar. Hal itu berakibat Bandar Tallo dan Bandar Sombaopu hanya dipandang sebagai bagian dari bandar baru tersebut. Penyebutan nama Makassar dapat dipandang mewakili eksistensi Gowa-Tallo. Siapa yang memberikan nama itu dan kapan diberikan serta diterima oleh pemilik bandar dan kerajaan itu sulit diketahui.

Sebagaimana disebutkan, nama 'Makassar' telah dikenal jauh sebelum bandar Makassar baru muncul. Jika informasi tersebut dihubungkan dengan kedudukan Bandar Makassar dan Kerajaan Makassar yang dalam perkembangannya ditempatkan sebagai satu-satunya bandar terpenting dalam pelayaran ke Maluku, maka dapat dikatakan bahwa penamaan itu berkaitan dengan kedudukan bandar dan kerajaan itu di kawasan jalur utara pelayaran Malaka-Maluku. Posisi itu menempatkan Makassar menjadi bandar terpenting dan pusat perdagangan transito internasional dalam dunia perdagangan maritim pada akhir abad ke-16 hingga paruh pertama abad ke-17. Makassar menjadi pusat niaga untuk pelaut dan pedagang di Asia dan Eropa dalam komoditas rempah-rempah.

Satu hal yang tidak jelas, kabur, dan sering membingungkan dalam narasi sejarah Sulawesi Selatan adalah penyebutan Makassar yang bercampur dalam berbagai kategori; entitas politik, etnis/antropologis, serta unit geografis. Selain itu, Makassar seringkali tidak dapat dibedakan dan dijelaskan secara kronologis tentang keberadaan Kerajaan Gowa dan Tallo.

Menurut Kitab Negarakretagama (pupuh XIII dan XIV), Makassar adalah nama daerah di Jawa bagian timur yang pernah dikuasai Majapahit pada pertengahan abad ke-14. Namun, hingga saat ini, Makassar belum dikenal sebagai nama kota atau nama kerajaan. Kata Makassar hanya merujuk pada suatu suku/suku, dengan sebutan 'orang Makassar', yang memiliki bahasa sendiri, dan mendiami pesisir selatan, meliputi wilayah Gowa, Takalar, Jeneponto, Bantaeng, sebagian Bulukumba, sebagian Maros dan sebagian Kepulauan Pangkajene.

Munculnya entitas politik, menjadi dasar lahirnya kota atau ibu kota. Di Sulawesi Selatan, entitas politik awal dipersoalkan berupa politik kecil/komunitas lokal (bori, wanua), yang disatukan dengan lahirnya mitos tumanurung dan disertai gaukang/kalompoang. Mitologi tumanurung oleh kaum bangsawan didasarkan pada argumen "hak yang diberikan oleh Tuhan" untuk memerintah dan membenarkan posisi khusus mereka.

Di sisi lain, benda keramat (gaukang) berfungsi sebagai tempat pembentukan komunitas dan kedaulatan (sovereignty), serta representasi kekuatan politik dan simbol pemersatu kelompok. Adanya kesatuan masyarakat (paqrasangang) disertai dengan berkembangnya sistem ketentuan agama, sosial, dan politik.

Berdasarkan lontara' Patturiolong Tugowaya (sejarah masyarakat Gowa) sekitar tahun 1300 M di semenanjung selatan Pulau Sulawesi, tepatnya di wilayah Takak Bassia Gowa, diturunkan dari surga seorang wanita yang dipercaya sebagai tumanurung. Saat itu, sebuah unit politik kecil yang terdiri dari 'sembilan negara/bendera/pelayan' (bate/kasuwiyang salapang) bersatu dan sepakat diangkat sebagai pemimpin. Tumanurung kemudian dinikahkan dengan Karaeng Bayo (penguasa lautan), seorang tokoh yang terkait dengan kerajaan yang kuat di seberang lautan dan memiliki keahlian maritim. Dari perkawinan tersebut lahir keturunan yang kemudian menjadi raja-raja Gowa, sekaligus memperkuat berdirinya suatu kekuasaan politik yang disebut Kerajaan Gowa.

Hanya Kerajaan Gowa-Tallo dan keterlibatannya dalam perdagangan internasional, yang menimbulkan konsekuensi dalam entitas ini. Pertama, Kerajaan Gowa-Tallo kemudian sering disebut sebagai Kerajaan Makassar, terutama di kalangan penjelajah dan pedagang Barat di Asia Tenggara. Kedua, lanskap perkotaan tidak hanya di sekitar Benteng Somba Opu, tetapi memanjang di sepanjang pantai, dan disebut Bandar Makassar atau Kota Makassar. Luas wilayah kota dan pemukiman yang terpisah membuat sulit untuk mengenali pusat atau batas kota. Seperti dalam penjelasan Anthony Reid bahwa orang tidak bisa memahami apa yang menjadi pusat di kota. Kota tampak kacau dan hampir tidak ada batas antara kota dan pedesaan (Reid, 1980: 240).

Ruang kota yang dimaksud adalah kumpulan desa-desa yang mirip dengan keadaan kota (urban state) termasuk pemukiman besar. Sejak saat itu, Makassar menjadi sebutan yang baik sebagai nama kerajaan atau sebagai nama kota/ibukota kerajaan. Bandar (kota) Makassar yang dihuni oleh penduduk hingga 100.000 jiwa dari berbagai negara memungkinkan diadakannya pertemuan-pertemuan dan juga perluasan ide-ide baru sebagai hasil dari persinggungan budaya.

Kerajaan Makassar kemudian berpindah dari satu kesuksesan ke kesuksesan lainnya, tidak hanya dalam hal perluasan wilayah, tetapi juga dalam inovasi teknis dan intelektual. Beberapa raja yang berkuasa pada abad ke-16, seperti Tunipalangga' (1546-1565) dan Tunijallo' (1565-1590) menghasilkan karya dan kebijakan penting, antara lain; menampilkan penulis istana, membuat senjata perang dengan mesiu, hubungan diplomatik luar negeri, penggunaan batu bata, pencampuran emas dengan logam, penggunaan sistem timbangan dan ukuran, dan pengerahan berbagai pengrajin ke dalam serikat pekerja.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Makassar Selengkapnya
Lihat Makassar Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun