Mohon tunggu...
Muhammad Zainuddin Badollahi
Muhammad Zainuddin Badollahi Mohon Tunggu... Administrasi - Antropolog

Ethnograpy

Selanjutnya

Tutup

Makassar

Kota Makassar (Dari Masa Kerajaan Gowa-Tallo)

2 Agustus 2022   12:11 Diperbarui: 2 Agustus 2022   12:21 2406
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Tanpa diketahui di Makassar, dalam waktu yang hampir bersamaan, jauh di seberang lautan di London sedang dirundingkan pengembalian wilayah koloni yang dikuasai Britania ke Belanda menyusul dikalahkannya Napoleon. Hasil dari perundingan tersebut adalah Perjanjian London yang ditandatangani pada 13 Agustus 1814 yang memuat pengaturan pengembalian tersebut. Meski demikian, karena terhambat oleh situasi yang belum menentu di Eropa penyerahan sesung-guhnya baru terlaksana kemudian. Penyerahan koloni ke Belanda dilaksanakan oleh John Fendall pada tanggal 19 Agus-tus 1816. Apabila pelaksanaan penyerahan di Batavia baru bisa terjadi 2 tahun setelah penandatanganan, penyerahan Makassar baru terjadi pada 7 Oktober 1816 yang dilakukan oleh Dalton dan diterima oleh Komisaris P.T. Chasse.

Bagi masyarakat di Sulawesi bagian selatan, satu peristiwa penting yang men-gakibatkan serangkaian peristiwa penting lainnya adalah datangnya Gubernur Jenderal Hindia Belanda yang pertama (sesudah pengembalian Hindia ke Belanda), yakni G.A.G.P Baron van der Capellen di tahun 1824. Kunjungan ini sebenarnya sudah lama direncanakan ti-dak lama sesudah dia menjabat sebagai gubernur jenderal. Sebenarnya pengel-olaan Jawa menjadi prioritas utama seperti yang juga dilakukan oleh Raffles maupun Daendels sebelumnya, namun van der Capellen harus juga memikirkan penataan ulang pengelolaan Kepulauan Maluku dimana tidak adanya pengendalian kolonial yang mapan menjadikan keadaan menjadi rentan yang terbukti dengan terjadinya Perlawanan Pattimura di Ambon di akhir tahun 1817 hanya beberapa bulan sesudah Ambon diserahkan kembali oleh Britania kepada Belanda. Selama tahun-tahun berikutnya van der Capellen hanya bisa mengirim utusan-utusannya untuk mengurus wilayah timur Hindia dan baru di tahun 1824 dia bisa berlayar ke timur, pertama-tama ke Ambon sebelum akhirnya sandar di Makassar di pada tanggal 5 Juli 1824.

Tak lama sesudah tiba di Makassar, van der Capellen segera mengambil serangkaian keputusan untuk mengatur wilayah ini. Pada tanggal 17 Juli 1824 gubernur jenderal mengeluarkan satu aturan tata pemerintahan baru untuk wilayah Makassar yang mengatur baik aspek administratif maupun peradilan (atau lengkapnya Eene niuwe organisatie van het Gouvernement van Makassar wordt daargesteld, en gearresteerd een reglement op de administratie der policie en op de Civile en Criminele Regtsvordering aldaar, atau Nieuwe Organisatie 1824). Nieuwe Organisatie 1824 ini diterbitkan dalam Staatblad 1824 Nomor 31a, sedangkan dalam istilah "Makassar" dimaksudkan dalam aturan ini termasuk wilayah mulai dari titik utara yang sekarang kota Palu sampai Pulau Selayar dan Pulau Sumbawa di selatan dan Pulau Buton di timur. Namun demikian dalam rinciannya, wilayah yang diatur adalah wilayah-wilayah yang dikuasai langsung oleh penguasa kolonial ("grondgebied van het Gouvernement van Makassar"). Untuk wilayah Sulawesi bagian selatan, yang diatur di sini dalam pasal 1 ayat 1 adalah kota (pada waktu itu district) Makassar, Zuider Districten (termasuk di antaranya Galesong, Polombangkeng dan Takalar), Maros (termasuk di antaranya Sudiang, Tanralili, Pangkajene, Segeri), Bulukumba dan Bantaeng (sebagai satu kesatuan), dan Selayar. Wilayah ini akan tetap dipimpin oleh seorang gubernur, sedang untuk tiap distrik akan dikelola oleh seorang magis-traat (untuk distrik Makassar) atau seo-rang residen untuk distrik lainnya yang didampingi oleh penguasa pribumi (regent) dan kepala-kepala desa atau kampung.

Dalam waktu yang bersamaan dengan penggodogan Nieuwe Organisatie 1824, disiapkan juga satu naskah perjanjian baru yang harus ditanda tangani oleh para penguasa lokal di wilayah ini yang kelak dikenal sebagai "Perjanjian Bungaya yang diperbaharui" (vernieuwd Bongaijasch Contract untuk teks lengkapnya bisa dilihat di Ikhtisar 1973: 263). Isi naskah perjanjian ini meneguhkan kembali apa yang disebut sebagai "perdamaian, pertemanan dan persekutuan" ("vrede, vrienden bondgenootschap") yang sudah diperjanjikan dalam Perjanjian Bungaya di tahun 1677 (ayat 24), antara, waktu itu, VOC dengan penguasa-penguasa lokal di Sulawesi bagian selatan.

Dengan pernyataan sedemikian rupa maka dalam kedua per-janjian ini disiratkan adanya pengakuan kedaulatan para penguasa lokal meski dibatasi oleh ayat-ayat lainnya. Demikian pula sebagian besar isi Perjanjian 1824 tidak banyak berbeda dengan Perjanjian 1667 dengan beberapa pengecualian penting. Yang pertama, posisi Gowa seba-gai pihak yang kalah dalam Perang Makassar dan segala kewajiban yang dibebankan kepadanya tidak lagi di sebutkan dalam Perjanjian 1824. Yang kedua (dan ini yang mengganggu pihak Kesultanan Bone) di ayat 3 disebutkan bahwa semua penguasa lokal yang menanda tangani perjanjian ini dianggap setara dan tidak ada yang lebih tinggi dari yang lain ("geen superioriteit"), meski ada hubungan kakak-adik ("ouderen en jongeren broeder") dimana di ayat 4 dinyatakan penguasa Bone dan Gowa sebagai anggota-anggota yang tertua ("oudste leden").

Berbeda dengan Perjanjian 1667 dalam perjanjian ini Gowa seolah dinaikkan dari pihak yang kalah perang menjadi anggota tertua, sedang Bone disamakan dengan yang lain meski juga anggota tertua. Hak khusus yang dimiliki oleh Bone sebagai sekutu setia di bawah La Tenritata Arupalaka dalam Perang Makassar meski juga tak disuratkan dalam Perjanjian 1667, karenanya tak lagi disiratkan apalagi disuratkan dalam Perjanjian 1824.

Nieuwe Organisatie 1824 dan Perjanjian Bungaya yang diperbaharui adalah dua dokumen yang paling penting di abad ke-19 yang merupakan refleksi dari hubungan yang tentu saja dipaksakan antara pemerintah kolonial dengan para penguasa lokal di Sulawesi bagian selatan. Dari dilaksanakannya dua kebijakan tersebut, maka dalam pandangan administratif penguasa kolonial, secara umum wilayah Sulawesi bagian selatan dibagi atas dua kategori yakni wilayah yang dikuasai dan dikelola secara langsung oleh pemerintah kolonial dan wilayah yang tidak dikua-sainya tetapi dikuasai oleh para penguasa lokal yang semua menanda tangani perjanjian dengan pemerintah kolonial dan mendapat kebebasannya meskipun dibatasi. Meski demikian tidak berarti bahwa pemerintah Hindia Belanda sudah lebih percaya diri, sebaliknya kedatangan James Brooke ke Bantaeng dan Teluk Bone di tahun 1840 menunjukkan masih mudahnya petualang Britania untuk masuk ke wilayah Hindia. Dan hal ini harus dicegah.

Di tahun 1848 pengaturan administratif dilanjutkan dimana Pemerintahan Makassar diganti namanya dengan Pe-merintahan Celebes dan Daerah-daerah Tergantung (Gouverenement van Celebes en Onderhoorigheden) yang secara eksplisit menunjukkan wilayah yang diklaimnya meski pada prakteknya tidak mengubah wilayah yang dikelolanya, termasuk Sulawesi bagian selatan di dalamnya.

Dengan pengaturan ini, secara lebih rinci lagi pembagian wilayah dilakukan dimana kini, dibagi menjadi 3 "kategori" wilayah yakni (1) wilayah pemerintah (gouvernements landen) yang diperintah langsung, (2) wilayah pemerintah yang tak diperintah langsung, dan (3) daerah-daerah sekutu (bondgenootschappelijke landen). Wilayah kategori pertama hanya meliputi Distrik Makassar, Distrik-distrik Utara (Noorderdistricten), Bantaeng dan Bulukumba (istilah resminya Bonthain en Boelokoemba), dan Pulau Selayar, sedang kategori kedua meliputi wilayah Kaili (Kajelie), Pare-Pare, Tanette, Tallo, Wajo, dan Laiwui. Sedang mereka yang masuk dikategori ketiga, dianggap sebagai "sekutu" dengan dasar penandatanganan para penguasa wilayah-wilayah ini atas Perjanjian Bungaya yang diperbaharui dan termasuk di dalamnya Mandar, Toraja, Masenrempulu (Massenre Boeloe), Luwu, Ajattappareng (Adja Tamparan), Bacukiki, Nepo, Labaso, Barru, Soppeng, Bone, Gowa, Sandrabone, Tu-ratea, Buton, Pulau Sumbawa, dan Pulau Flores.

Sebagai landasan utama pengaturan administratif dan pengendalian kolonial maka kedua alat utama yang diletakkan di tahun 1824 yakni Nieuwe Organisatie dan Perjanjian Bungaya yang diperbaharui menjadi sangat penting. Dan pentingnya kedua alat ini hanya bisa dipahami apa-bila dilihat secara bersama-sama dimana Nieuwe Organisatie 1824 seolah mendapat legitimasi dan pengakuan lokal melalui Perjanjian Bungaya yang diperbaharui. Nieuwe Organisatie 1824 digunakan untuk mengatur wilayah-wilayah yang diperintah langsung sedangkan Perjanjian Bun-gaya yang diperbaharui menjadi dasar hubungan antara negara kolonial dengan kekuatan lokal yang setidaknya secara teoretik mengikuti argumen Resink masih berdaulat meski dalam prakteknya kedaulatannnya tergerus terus sejalan dengan semakin menguatnya negara colonial.

MASA PENAMAAN MAKASSAR

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Makassar Selengkapnya
Lihat Makassar Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun