Mohon tunggu...
Mochamad Yusran
Mochamad Yusran Mohon Tunggu... profesional -

Ketika seorng filsuf menunjuk ke bintang, yang dilihat org bodoh hanyalah telunjuk sang filsuf...

Selanjutnya

Tutup

Politik Artikel Utama

Korupsi dan Lingkaran Setan Kemiskinan

10 Desember 2016   07:24 Diperbarui: 10 Desember 2016   18:06 866
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi: theloadstar.co.uk

KORUPSI adalah musuh semua agama dan kemanusiaan. Korupsi bukan hanya sekadar mencuri milik orang lain melainkan memiskinkan secara struktural. Oleh sebab itu korupsi masuk ke dalam kategori kejahatan luar biasa (extra ordinary crime) atau disetarakan dengan kejahatan Narkoba dan Terorisme yang menjadi musuh bersama (public enemies) bangsa-bangsa yang ingin maju.
Mahatma Gandhi mengatakan kemiskinan itu adalah kekerasan paling nyata atas kemanusiaan. Negara yang memiliki sumber daya daya alam sangat kaya namun rakyatnya banyak yang hidup prihatin dibawah garis kemiskinan adalah karena penyakit korupsi yang mewabah mulai dari elit berkuasa sampai ke akar rumput.
Sebagaimana di Indonesia birokrasi yang berbelit, suap dan pungutan liar (pungli) sering kali dibenarkan untuk suatu urusan sebagai balas jasa dan melancarkan urusan seperti memberikan uang saat mengurus surat keterangan domisili kepada pihak terkait atau urusan pemerintahan remeh temeh lainnya termasuk dalam urusan perizinan usaha. Begitu pula wabah kebiasaan suap dan sogok menyogok untuk perkara perizinan bahkan peradilan kerap kali seakan membudaya dan menjadi perosalan pelik penegakan hukum di negeri kita.
Dan kenyataan di atas bukanlah isapan jempol karena banyaknya kasus tangkap tangan terkait markus atau makelar kasus di dunia peradilan kita. Seperti kasus yang paling menghebohkan adalah melibatkan Hakim Konstitusi Akil Muktar yang harusnya menjadi benteng terakhir penegakan hukum dan memerangi perilaku korup malah takluk dengan syahwat rendah dan nista bernama korupsi.
Belum lagi korupsi dana-dana publik untuk pembangunan baik APBN maupun APBD. Banyak kasus yang telah di ungkap meskipun pada kasus-kasus yang relatif besar seperti salah satunya dugaan korupsi dana penyertaan (Bail Out) Bank Century yang diduga melibatkan banyak nama besar seperti Wapres Bodiono (era Presiden Susilo Bambang Yudhoyono atau SBY) dan Sri Mulyani (Menteri Keuangan SBY) seakan-akan menguap tak tahu ujung pangkal penuntasannya.
Penangkapan sejumlah Kepala Daerah baik Gubernur dan Bupati kerap kali dilakukan oleh KPK terkait suap sejumlah urusan, mark-up dan kasus korupsi lainnya yang menunjukkan betapa mewabahnya korupsi hingga ke daerah.
Paling memilukan pula adalah korupsi juga mewabah ke urusan dana keumatan seperti korupsi dana Haji yang melibatkan Menteri Agama era Presiden SBY yakni Surya Dharma Ali. Begitupun korupsi yang melibatkan politisi senayan betapa nistanya menggerogoti dana pengadaan cetak Al-Quran yang penuntasan kasusnya sudah sampai kevonis (ingkra).
Tentu masih banyak lagi kasus korupsi yang sudah terkuak hingga kini yang tak mungkin kami sebutkan satu persatu yang menunjukkan keseriusan penegak hukum khususnya lembaga anti rasua KPK bersama penegak hukum lainnya. Meskipun di nilai banyak pihak masih belum optimal dan cenderung upaya itu mengecil atau indikasi nya dikerdilkan jika berhadapan dengan tembok kekuasaan.
Belum optimal nya pemberantasan korupsi bak jamur di musim hujan lantaran berdasarkan laporan Transparency International Indonesia merilis Corruption Perception Index (Indekes Persepsi Korupsi) Indonesia tercatat masih pada urutan 88 dari 168 negara pada tahun 2015 atau tergolong negara yang sangat korup. Meskipun di sisi lain optimisme masyarakat terhadap pemerintahan Jokowi-Jk masih relatif tinggi.
Optimisme dimaksud berdasarkan survey yang dilakukan Centre for Strategic and International Studies (CSIS) dengan sampel 1000 orang tersebar di 34 Provinsi dengan tingkat kepercayaan 95 persen dengan margin error 3,1 persen menunjukkan kepercayaan publik terhadap komitmen memperkuat KPK naik menjadi 74,6 persen dari 62,6 persen. Disamping itu, kepercayaan publik juga meningkat pada komitmen mendorong reformasi Kepolisian dan mafia peradilan masing-masing sebesar 65 persen dan 62,4 persen. (Kompas, 9 Desember 2016).
Kemudian terungkapnya kasus di atas yang melibatkan banyak orang besar di negeri ini dan fenomena budaya korupsi di masyarakat seperti yang telah sedikit kita singgung di atas sekaligus memberi konfirmasi betapa korupsi di Indonesia sangat kronis. Berbagai macam modus korupsi baik secara konvensional maupun relatif dengan modus yang lebih terorganisir karena melibatkan sistem, kewenangan dan secara berjamaah yang kesemuanya dilakukan dengan tujuan yang sangat jelas menuju kepada kehancuran bangsa melalui proses memiskinkan masyarakat secara terstruktur.
Berkembang biaknya jamur korupsi yang dimulai dari budaya rasua untuk suatu kebijakan yang menguntungkan diri sendiri dan kelompok itu tak lepas dari cost politik yang sangat tinggi pada sistem demokrasi neo-liberalisme yang dianut sistem politik kita.
Hal ini karena masih rendahnya kesadaran politik, tingkat pendidikan dan kesejahteraan masyarakat membuat masyarakat cenderung pragmatis dalam menentukan baik perwakilan nya di lembaga legestaltif maupun pada pemilihan Presiden dan Kepala Daerah melalui pemilihan langsung dan terbuka.
Sejatinya sistem politik dimaksud di atas dapat melemahkan dua fungsi utama Partai Politik (Parpol) sebagai pilar demokrasi yakni rekrutmen dan kaderisasi keanggotaan untuk dipersiapkan menjadi kandidat terbaik pada tiap pemilihan umum. Namun karena alasan suara terbanyak dan tiap masyarakat yang memenuhi syarat memiliki hak pilih (one man, one vote) berimplikasi Parpol lebih cenderung pragmatis pula dalam memilah dan menempatkan orang-orang yang akan ditawarkan kepada masyarakat untuk dipilih. Hitung-hitung elit Parpol lebih karena alasan populer dan memiliki modal yang kuat sehingga politik transaksional (money politic) tak bisa di hindari.
Kembali lagi, oleh sebab itulah korupsi merupakan bencana atau krisis kemanusiaan. Dari deskripsi dan analisa di atas, korupsi bisa dipahami sebagai sebab dan sekaligus akibat problem sosial seperti kemiskinan dan kejahatan peradilan seperti contoh diatas. Korupsi juga mempengaruhi daya saing dan iklim investasi dan karena itu berdampak kronis atas pada tujuan pertumbuhan ekonomi yang berkualitas dalam hal ini pemerataan kesejahteraan ekonomi.
Dan fenomena demikian adalah seperti lingkaran setan kemiskinan (the vicious circle of poverty). Entah dalam mengentasnya kita harus memotong simpul yang mana lebih dulu karena keterkaitan satu dengan yang lain sangat erat dan seperti entitas yang tak terpisahkan. Dan begitulah sistem yang korup, melihat kemiskinan adalah komoditas politik, sebaliknya kemiskinan berpengaruh pada potensi suburnya budaya korupsi itu sendiri.
Oleh sebabnya tidak heran jika angka jumlah masyarakat kemiskinan Indonesia masih relatif tergolong besar yakni berdasarkan data BPS sebanyak 28,01 juta orang (10,86 persen), berkurang sebesar 0,50 juta orang dibandingkan dengan kondisi September 2015 yang sebesar 28,51 juta orang (11,13 persen).
Kendati begitu di kesempatan hari anti korupsi internasional kali ini yang jatuh pada setiap 9 desember, optimisme dalam pemberantasan korupsi tetap harus menyala-nyala. Lingkaran setan harus digubah menjadi lingkaran malaikat (circle of angels). Kita berharap keseriusan pemerintah yang dapat dilihat dari penandatanganan Instruksi Presiden (INPRES) Nomor 10/2016 tentang Aksi Pencegahan dan Pemberantasan Korupsi Tahun 2016/2017 dan dengan dibentuknya Satgas Sapu Bersih (Saber) Pungli sampai ke tingkat daerah, dapat dengan masiv menggempur dari segala arah perilaku koruptif birokrasi dan masyarakat sekecil apapun dan dapat memberikan efek jerah yang efektif. Mengingat sejalan dengan penerapan otonomi daerah, korupsi juga nampak kronis di daerah.
Selain itu, dengan memaparkan relasi yang amat kuat antara korupsi dan kemiskinan semata-mata bertujuan agar kita dapat memahami terutama penentu kebijakan bahwa korupsi dan kemiskinan adalah problem sosial bukan individual. Hal ini sangat penting untuk dipahami agar landasan berpikir kita dalam merumuskan strategi penyelesaian tidak mengalami kerancuan (fallacy of thinking) dan cenderung berpotensi mereduksi problem sosial menjadi problem individu karena akan berdampak fatal dalam merumuskan suatu program aksi dalam pemecahan masalah tersebut.
Dengan pemetaan yang tepat pula kita harapkan penanganan strategis pemberantasan korupsi sekaligus kemiskinan di negeri kita bukan semata-mata berorientasi pada penindakan melainkan pula pencegahan. Sisi lain kesadaran bahwa kedua masalah itu adalah problem sosial bukan individu - Meminjam analisa Dr.Jalaludin Rakhmat dalam bukunya Social Engineering (Rekayasa Sosial) - sekiranya kedua masalah tersebut dapat dipecahakan melalui keterlibatan semua pihak melalui collective action atau gerakan sosial pula bukan menggunjingkan kualitas individual (Individual qualities) dan lebih-lebih hanya akan menimbulkan sense of in adequancy (perasaan tidak mampu). Wallahualam Bishawab.


Nunukan, 09 Desember 2016
Twitter @MYusranRSO |Wakil Ketua DPD KNPI Kota Tarakan| Aktivis KAHMI Kaltara

#HariAntiKorupsi

Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun