Mohon tunggu...
Hety A. Nurcahyarini
Hety A. Nurcahyarini Mohon Tunggu... Relawan - www.kompasiana.com/mynameishety

NGO officer who loves weekend and vegetables

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Lemari Buku-buku: Menggambar Untuk Mengapresiasi

23 Agustus 2017   22:39 Diperbarui: 24 Agustus 2017   00:11 754
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Lemari Buku-Buku Untuk Dhurung Elmo, sebuah taman baca yang ada di Pulau Bawean, Kabupaten Gresik, Jawa Timur.

Sejak masuk bangku sekolah (baca: Taman Kanak-Kanak/TK), menggambar menjadi pelajaran favorit. Dibandingkan pelajaran lainnya seperti menyanyi, olahraga, mencocokkan garis-garis, membaca, ... berhitung apalagi. Kalau diingat, gambar saya memang tidak bagus. Standar, monoton, dan itu-itu saja. Silakan tebak! Kalau tidak rumah dan pohon, gunung dan pohon, gunung dan sawah, manusia dan rumah, begitu seterusnya. Walaupun nyatanya tidak jago, saya sangat suka menggambar.

Hal yang selalu membuat saya bersemangat di kelas adalah kala ibu guru mulai memberikan aba-aba kepada kami, murid-muridnyanya, untuk mengeluarkan crayon atau alat gambar yang kita punya dari tas dan dari lemari di kelas. Sigap. Saya yang nomor satu. Saat kertas HVS mulai dibagikan satu-satu, saya sudah duduk manis sambil melipat tangan di atas meja dan menerima kertas HVS dengan senyuman terbaik saya. "Terima kasih, Bu," begitu kata saya.

Fakta bahwa gambar saya tidak bagus (saya akui itu) tetapi semangat menggambar selalu membara, sungguh berkebalikan dengan 'nasib' saya di TK. Ibu guru selalu menugaskan saya untuk mengikuti setiap lomba gambar di tingkat kotamadya. "Perwakilan TK," katanya. Saya pun pasrah saja. Biaya sudah ditanggung TK, saya tinggal datang saat hari-H membawa crayon, alas gambar, dan tentu saja semangat. Apalagi coba yang saya punya?

Walaupun tidak pernah juara dan mendapatkan piala, saya sudah cukup bangga mendapatkan sertifikat sebagai peserta dari panitia lomba. Kata mama, sertifikatnya harus disimpan baik-baik, sebagai tanda pernah ikut lomba. Saya menurut saja karena bagi saya, ada yang lebih istimewa dari sekadar mendapatkan kertas sertifikat. Di setiap lomba gambar yang saya ikuti, saya bisa bertemu dengan teman-teman baru yang tidak satu sekolah TK dengan saya. Saya pun bisa melihat gambar-gambar mereka. Semuanya berbeda, tidak ada satupun yang sama. Bagus-bagus, tentu saja. Beberapa bahkan ada yang mengaku mengikuti les gambar, terlihat dari 'canggihnya' hasil gambar dan alat gambar yang dipunya.

Temuan saya, ternyata gambar bisa sangat personal. Gambar bisa mencerminkan apa yang dirasakan oleh si penggambar. Bagi saya sendiri, bagian dalam menggambar yang saya sukai adalah saat saya menggoreskan crayon atau spidol di atas kertas. Saya suka bagaimana saya bisa melepaskan energi hanya dengan menuangkan apa yang ada di dalam kepala saya ke atas kertas. Mungkin lingkarannya penyok, garisnya tidak lurus, tapi semua bebas, terserah si penggambar. Gambar bagus dan tidak bagus itu relatif, bukan tujuan utama.

Walaupun di awal cerita saya ceritakan bahwa saya suka menggambar, nyatanya, seiring saya dewasa dan bekerja, saya semakin tidak sering mengikuti lomba gambar. Kesempatan menggambar adalah saat meeting mulai membosankan atau saat ada sesi fasilitasi yang membutuhkan gambar di kertas plano dan 'Post It' warna-warni. Serta, mungkin saat ada teman di kantor yang minta digambarkan di hari istimewanya. Ya, hanya itu saja kesempatan saya.

Semua berubah saat akhirnya saya bertemu dengan kumpulan orang yang duduk-duduk di Taman Suropati dengan alat gambar pada 24 Mei 2015. Sepintas, kehadiran mereka di taman tidak mencolok tapi kalau dilihat lebih dalam lagi, mereka tampak sedang bermain dengan kardus (yang kemudian saya baru tahu namanya 'Drawing Booth') dan buku-buku yang berserakan. Di sinilah, titik baliknya. Saya belajar sebuah hal. Ternyata menggambar tidak melulu hanya untuk menyalurkan energi atau penawar kebosanan. Lebih dari itu.

Kenalkan, namanya Lemari buku-buku. Jangan tanya pada saya, mengapa namanya 'lemari'. Sampai detik ini tulisan ini dibuat, saya pun belum menemukan jawaban mengapa namanya lemari. Sudahlah, apalah arti sebuah nama jika aktivitas yang dilakukannya pun seunik namanya dan membuat kita susah lupa dengan kumpulan orang yang duduk-duduk di taman ini.

Kala itu, saya hanya mendapat informasi dari seorang teman bahwa ada komunitas yang sedang menerima buku anak-anak dan akan menyalurkannya ke sebuah perpustakaan di Pulau Bawean, kabupaten Gresik Jawa Timur. Caranya mudah, katanya. Kita hanya perlu datang ke Taman Suropati, membawa satu atau lebih buku anak-anak, lalu kita akan digambar. "Heh, serius?" tanya saya. Saya yang biasanya menggambar pun penasaran. Rasa-rasanya ingin digambar juga. Saya pun mengecek akun Instagram-nya dan benar saja, di poster elektronik tertulis, "Donate your books, get one drawing for free." Wuiw! Siapa yang tidak girang akan digambar?

Datang, memberikan buku, digambar, lalu pulang. Eits, tidak! Sambil digambar oleh salah satu orang, saya pun bertanya tentang Lemari Buku-Buku ini. Dari percakapan saya dengan Si Penggambar, ternyata kumpulan orang yang duduk-duduk di Taman Suropati ini adalah Lemari Buku-Buku. Lemari Buku-Buku tidak mendeskripsikan dirinya sebagai sebuah komunitas, tetapi sebuah gerakan kolaborasi dengan berbagai komunitas untuk mengumpulan buku-buku bacaan anak dan menyalurkannya kepada komunitas, taman baca, atau perpustakaan yang membutuhkan. Di sisi penyumbang, donasi buku yang diberikan akan ditukar dengan jasa gambar atau sketsa wajah mereka saat memberikan buku (on the spot). Unik ya?

Saat ditanya mengapa gambar atau sketsa wajah, menurutnya, gambar dipilih sebagai wujud apresiasi dari niat baik para penyumbang buku untuk memberikan buku secara cuma-cuma. Walaupun demikian, dengan jasa gambar atau sketsa wajah ini bukan berarti Lemari Buku-Buku mengajarkan pamrih saat kita menolong orang lain. Justru, bagi Lemari Buku-Buku, menggambar merupakan sarana berbagi dengan orang lain dan lingkungan, tidak melulu sarana berekspresi dan menyalurkan energi.

Saya tersenyum saja saat akhirnya gambar sketsa wajah saya selesai. Setelah diberikan diiringi ucapan terima kasih saya sudah berpartisipasi, saya diminta foto sambil menunjukkan gambar sketsa wajah saya. Cheers! Click! 

Selalu saja, setelah menerima gambar, kita pasti diminta foto. Gambarnya mirip nggak ya?
Selalu saja, setelah menerima gambar, kita pasti diminta foto. Gambarnya mirip nggak ya?
Dalam hati, saya bertepuk tangan riuh. Saya setuju dan mengamini, gambar benar-benar bisa menjadi sarana untuk mengapresiasi kebaikan seseorang. Jika pengalaman masa kecil mengajarkan saya untuk menikmati gambar secara individu, setelah dewasa, nyatanya gambar bisa bermanfaat untuk orang lain dan lingkungan sekitar. Kamu setuju juga, kan?

Kini, dua tahun sejak kedatangan saya di Taman Suropati, Lemari Buku-buku nampak semakin aktif melakukan kegiatannya, menggambar dan mengumpulkan buku-buku bacaan anak. Siapa sangka, kegiatan yang berawal di Car Free Day tahun 2014 itu, kini menjadi semakin besar dan selalu dinantikan di berbagai kota, seperti Jakarta, Bandung, Yogyakarta, Bogor, Semarang, dan masih banyak lagi. Kolaborasinya dengan berbagai komunitas dan lembaga juga semakin kreatif. Tengok saja akun Instagram @lemaribukubuku, selalu saja bertambah dengan foto-foto pemberi buku dan sketsa wajahnya. Khas! 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun