Mohon tunggu...
Muhammad Wislan Arif
Muhammad Wislan Arif Mohon Tunggu... profesional -

Hobi membaca, menulis dan traveling. Membanggakan Sejarah Bangsa. Mengembangkan Kesadaran Nasional untuk Kejayaan Republik Indonesia, di mana Anak-Cucu-Cicit-Canggah hidup bersama dalam Negara yang Adil dan Makmur --- Tata Tentram Kerta Raharja, Gemah Ripah Loh Jinawi. Merdeka !

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Roti Kalung dan Nasib Mak Ya Preman Medan (Cermin-58)

9 Agustus 2012   00:01 Diperbarui: 25 Juni 2015   02:04 2135
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
1344470292671565529

(1)

Kenakalan remaja dan tawuran pemuda sejak dulu sudah ada --- yang mana kelakuan mereka yang lebih sadis ? Masa itu rasanya belum pernah terdengar sampai ada yang mati terbunuh !

Mereka memang membuat geger dan prihatin Orang Tua --- apakah di masyarakat bangsa lain ada gejala yang destruktif ini ?

Baru saja selesai Perang kemerdekaan --- mungkin tahun 1949-an. Belum pernah menyaksikan pemuda tawuran. Tiba-tiba geger, pergelangan tangan Mak Ya dilengketi adonan timah panas --- ia mengaduh dan berlarian dan berguling-guling di tanah.

Timah panas melekat di pergelangan tangannya.Kulit dan dagingnya lumer ……………… rupanya ia mencairkan timah, kemudian menuangkan cairan timah panas itu ke tanah, yang berbentuk --- genggaman bergerigi. Bodohnya ia …………….. untuk mempercepat pembekuan, ia siram timah yang mendidih itu.

Meledaklah timah panas-cair itu, menyebar ke segala arah ……………. Yang fatal melekat di pergelangan tangan kanannya.

Sampai tua ia mempunyai cacat di pergelangan tangan itu --- di peristiwa itu, ia bermaksud membuat “roti kalung”, senjata genggam primitif untuk dipergunakan bertinju, mencidrai lawan.

Kami keponakan-keponakannya yang kanak-kanak lebih kecil sangat ngeri membayangkan peristiwa itu.

(2)

Mak Ya tampil menjadi pemuda yang ganteng tegap dan prospektif --- karena ia telah bekerja di Raatkamp, Apotik Belanda di kota Medan --- itu tahun-tahun awal Kemerdekaan.

Sebenarnya ia tidak pernah terlibat perkelahian atau pun tawuran. Konon ia membuat rotikalung untuk menjaga diri.

Keponakan sangat membanggakanMak Ya. Ia paman yang sangat mengagumkan. Ia kemana pun pergi, bekerja atau bertamasya selalu mengendarai speda “Humber-nya”, mengkilap bersih, dan komplit aksesorisnya.

Ada satu lagi yang mengesankan dari Mak Ya --- maklum kami anak-anak di jaman Indonesia baru Merdeka !Ia selalu membagi-bagikan penyegar mulut. Valda yang afkir, bonbons bergula yang sudah menyatu, sukar sekali memisahkannya.

Tetapi syukur, kami bisa menikmati gula-gula Orang Belanda --- kaleng Valda kosong adalah wadah permainan yang mewah !

Eksklusif.

(3)

Mak Ya adalah anak bungsu nenek, selain ganteng, ia cerdas dan banyak akalnya --- ia sering mengajarkan bagaimana membuat permainan.

Di jaman kanak-kanak masa itu --- bangga sekali memainkan permainan yang dibuat sendiri --- dari membuat suling bambu, cincin dari batok kelapa sawit yang super keras --- sampai membuat otopet sendiri !

Semua bahan-bahan permainan dicari sendiri berkawan-kawan secara kolektif --- petualangan yang luar biasa. Bangga menjadi anak kreatif.

Sekonyong-konyong, tahu-tahu Mak Ya tidak bekerja di Raatkamp lagi --- ia membuka “Kedai sampah”. Menjual kebutuhan pokok masyarakat, kedainya ramai sekali --- laris.

Ia menjadi pemuda yang terpandang di kampung kami.

Di bulan puasa seperti saat ini --- kami di-ijinkannya berjualan di halaman kedainya.Sebelum buka puasa ada yang berjualan es batu, ada pula kue-kue, dan ada pula menjual menjual karbit, bahan untuk membuat meriam, yang ledakannya bisa terdengar jauh ke kampung-kampung tetangga.Yang paling bangga Bang Udin, ia satu-satunya penjual “Sotong Bakar” setelah saat berbuka. Sotong bakarnya sangat laris. Hari Raya ia pasti akan memakai pakaian dan sepatu baru hasil mata pencarian sendiri.

Mak Ya menikah dengan gadis yang sangat cantik seantero kampung --- setelah menikah mereka pindah ke Bandar Oli, perkebunan Kelapa Sawit di luar kota Medan.

Nenek mengajak penulis ke sana --- penulis terheran-heran melihat pabrik pengolahan yang begitu besar, jalan-jalan dilapisi dengan kulit-batok kelapa sawit yang sangat keras, seperti krikil --- (teringat betapa sukarnya dulu, mengasah kulit kelapa sawit untuk dijadikan cincin).

Mak Ya dan isterinya mendiami rumah dinas, yang saling bergandengan, kopel, dua-dua pekerja satu bangunan --- perumahan itu terasa aman, tentram dan sejahtera.

Nenek bersyukur.

Makanan kebanggaan ‘Orang Kebun’ di situ yakni, sup cendawan --- sejenis jamur yang tumbuh di limbah tandan kelapa sawit yang dibuang di tempat penimbunan. Luar biasa enaknya, melebihi rasa daging sekali pun.

Keluarga Mak Ya tampak sangat berbahagia, nenek pun berbahagia --- Mak Ya membawa penulis keliling ke pabrik, ke kebun kelapa sawit, yang luas seperti hutan --- ini yang mengesankan --- menyaksikan parit-parit mengalirkan limbah-air minyak kelapa sawit.

Penulis jadi teringat saat itu --- “itulah rupanya bahan lampu kami di Jaman Nippong, lentera berbahan bakar limbah minyak kelapa sawit”.

(4)

Mak Ya telah pindah bekerja di Permina (Perusahaan Minyak Nasional) di Pangkalan Brandan --- ia telah mempunyai beberapa anak --- tampaknya mereka sambil melakukan home-industry, memproduksi kue sagon.

Penulis sangat mengagumi dinamika perjuangan hidup Mak Ya.

Mak Ya pindah ke Riau untuk bekerja di PANAM, peruahaan Amerika yang akan melakukan eksplorasi migas di perbatasan Riau-Sumatera Barat --- konon perusahaan ini tidak pernah beroperasi, isu yang tersebar, ini tidak lain dalam rangka AmerikaSerikat akan mensupport Pemberontakan di Sumatera, dan melindungi perusahaan minyak Caltex yang telah beroperasi di Riau.

Keluarga Mak Ya terkatung-katung --- mereka bertindak cepat, menjadi pedagang Mei Rebus.

(5)

Bertahun-tahun kemudian --- berjumpa dengan Mak Ya dalam umurnya di akhir 70-an, anak-anaknya telah bertebar di segala penjuru tanah air, sebagai perantau --- dari Pulau Natuna, Malaysia, sampai Papua …………………

Mak Ya tertidur di atas tumpukan karpet buruk, di sebuah kios --- ia tetap gigih berjuang dalam hidup masa usia tuanya, ia memproduksi kantong beras dari kertas semen ……………… dan terkadang menjual telur asin di Pasar Pulo Brayan, miskin dan tanpa akses permodalan.

[caption id="attachment_198975" align="aligncenter" width="473" caption="Grafis MWA-Cermin 58"][/caption]

[MWA] (Cermin-58)

Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun