Mohon tunggu...
Muhammad Wislan Arif
Muhammad Wislan Arif Mohon Tunggu... profesional -

Hobi membaca, menulis dan traveling. Membanggakan Sejarah Bangsa. Mengembangkan Kesadaran Nasional untuk Kejayaan Republik Indonesia, di mana Anak-Cucu-Cicit-Canggah hidup bersama dalam Negara yang Adil dan Makmur --- Tata Tentram Kerta Raharja, Gemah Ripah Loh Jinawi. Merdeka !

Selanjutnya

Tutup

Puisi

Revolusi Sosial 1946 Menebas Habis Keluarga Tengku Houd [Mini Cerpen – 60 Saptalogi 2/7]

11 Januari 2011   16:26 Diperbarui: 26 Juni 2015   09:42 434
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Puisi. Sumber ilustrasi: PEXELS/icon0.com

 

 

"Tet, papa ini --- dimana kau?"

"Papa aku di Bogor "

"Lho, papa di Bandung kesepian nih --- kalau begitu  papa besok lanjut saja ke Cirebon"

"Papa aku baru bisa pulang ke Bandung mungkin dua hari lagi --- Ibu Mince sahabatku menawarkan bisnis menarik pa --- dia mempunyai Outlet yang baik sekali pa, maju --- tetapi tangan kanannya, anak perempuannya pindah mengikuti suaminya ke Australia.  Jadi bisnis cantik tu terkatung-katung.  Lokasinya cantik omsetnya juga cantik pa.  Aku mau ikut pa, ibu Mince minta modal kerja kecil saja pa.  400 juta pa"


Panjang cerita Tetty tentang bisnis yang akan dimasukinya itu.  Apalagi ia mempunyai banyak hubungan dengan pengusaha garment. Ia mengincer surplus bahan-bahan garment yang tidak diproduksi lagi --- ia ingin melanjutkan model dan rancangan fashion yang bersangkutan , atau membuat modifikasi rancangan yang masih "in".


"Pa, Bantu aku 200 juta pa --- ini kesempatan baik pa. Aku segera balik setelah selesai pembicaraan"

"Ah, nantilah itu --- ini malam ini ..........urusannya aku gelisah kesepian nih ............... okaylah Tet aku akan menilpon kawanku dulu ya."


Tercenung Tengku Houd memandang lepas ke luar pintu kaca --- hanya gelap dan beberapa titik lampu taman yang terlihat. Hatinya gundah berita televisi hanya memberitakan masalah korupsi di Direktorat Jenderal Pajak, dengan tokoh-tokohnya dari atas sampai ke bawah semuanya terlibat mafia pajak.  Ia mengeluhkan situasi perpajakan yang juga memang menjadi ajang pemerasan dan korupsi para pegawai pajak terhadap perusahaan-nya, sepanjang tahun !


Ia membalik balik isi majalah ekonomi, tabloid ekonomi --- isinya sama saja paradoks antara angka-angka yang dibanggakan pejabat , menteri sampai Presiden --- tetapi ada saja berita dan analisa yang membuat miris dan kesal hatinya.  Rakyat bertambah miskin dan banyak kelaparan di sana sini; dan anak-anak usia sekolah yang tidak mendapat kesempatan pendidikan. Tadinya ia menginginkan kalau ada Tetty di Bandung, ia pasti terhibur, karena gadis itu luas pergaulannya, pendidikannya baik dan pokoknya enaklah mengisi waktu di Bandung.

Ia telah mengkenal 5 bulan ini gadis itu.


Ia menarik dan menghembuskan nafasnya panjang-panjang , disurukkannya majalah dan tabloid itu ke rak baca ---  ia rebahkan dirinya di sofa, dimainkannya DVD penyanyi Rihanna............. Ia menghayati lagu yang menghentak itu, sambil membayangkan wajah Rihanna yang memang sangat mirip dengan Tetty.


Ia telusuri bukit dan lembah hijau kebun Jeunjeung dan Mohani-nya di Pelabuhan Ratu, terbayang penggergajian kayu dokter Suatmadi di Cikalong,  terbayang transaksi dengan Hans yang sangat menguntungkan --- ya, ya ia ingin sekali ia membantu Pesantren Abba ul Aitam ............ atau ia meneruskan ide Kiai Hishamuddin untuk mendirikan Pesantren sendiri di desa  dekat kebunnya..................

Ia sedikit terhibur dengan hentakan musik dan suara Rihanna.

"Wow ....ini dia lagu Push Up on Me "  lagu itu menggedor kesadarannya. Ia bangkit --- ia ingin mengisi hari dan kemampuannya di masa 70 tahunan usianya dengan gerakan sosial.  Tangannya di dalam kedua saku celananya.


Ia kenakan sweater dan sepatu botnya.  Selintas akan mematikan tivi --- di sana ada wajah Gayus.   Ia kesal setiap kali  melihat wajah dan perkara Gayus --- hatinya segera gundah. Ia mengenang kembali tragedy di dalam keluarganya, ia mengenang daerahnya di Sumatera Utara.


Tengku Houd masuk ke arena Futsal --- ia mojok di tribun.  Tetapi hatinya tidak enak, ia mengenang kembali kisah Revolusi Sosial di Sumatera Timur tahun 1946.  Keluarganya musnah dibabat pasukan Harimau Liar dan PP --- Persatuan Perjuangan.   Memang PP menyerukan perebutan perkebunan kolonial Belanda --- membabat habis kaum feodal  yang korup, para bangsawan yang terkesan berencana berkomplot dengan Belanda ..... untuk menghancurkan kekuatan TRI dan Laskar Pemuda.


Awal Maret 1946  --- revolusi sosial  melanda daerah Langkat, Asahan, Labuhan Batu dan lain-lain --- banyak keluarga feodal dan bangsawan yang dikenal rakyat sebagai golongan koruptor, pengkhianat, penghisap darah rakyat dan hidup bergelimang harta kemewahan dari hasil korupsi bertahun-tahun ......................mendidihkan dendam kesumat pada kesempatan Revolusi Kemerdekaan.  Pada jaman itu cukup seseorang atau keluarga di cap kakitangan Kolonialis Belanda.  Tunggu kesempatan akan dibunuh mati oleh anasir laskar.


Ayah Tengku Houd adalah salah satu Temenggung di Kesultanan Langkat --- keluarga Ningrat itu, 22 orang musnah mati bersimbah darah, dipancung rakyat yang dendam.  Harta mereka dijarah, rumah-rumah mereka musnah dibakar menjadi debu --- dalam amuk massa itu, darah dan api telah menjadi hakim yang bengis --- konon sebengis dan serakahnya kaum feodal yang korup itu ....................adalah Bang Teri Tarigan yang bekerja pada Tuan Temenggung sempat melarikan bocah 3 tahun, putera ke-enam Sang Ningrat.


Tahun 1949 setelah pengakuan Kedaulatan Republik Indonesia --- Teri Tarigan menyerahkan Tengku Houd kecil kepada keluarga Lubis, yang dulunya Kepala Stasiun Kereta api di Pangkalan Brandan. Keluarga Lubis membawa pindah Tengku Houd ke Yogyakarta --- dan sejak itu ia dididik di Taman Siswa.

Keluarga Lubis mencantumkan nama Tengku Houd sejak administrasi pertama bersekolah sampai seluruh dokumen dan ijazahnya.  Tetapi nama itu ternyata terus membawa malapetaka psikologis bagi dirinya..................


Ia kesal dengan sorak sorak para pemuda di arena futsal itu.  Ia keluar menelusuri jalan setapak --- dengan taksi menuju Cisangkuy.


"Hallo ............ ini A'ay...............ya ya Opa"

"Oii Opa sejak pagi ditunggu-tunggu teleponnya ...........lupa ya !"

" Ay,  sepanjang siang Opa sibuk mengurus macam-macam --- sejak Cianjur sampai Majalaya ----- semua beres kini ............tetapi hati Opa sepi, Bandung sangat dingin Ay "


Tampaknya hati Tengku Houd terhibur dengan sambungan telepon dengan A'ay.


"Syukurlah kalau sepanjang hari ini pun A'ay sibuk dan berbahagia --- semua mobil rental menghasilkan.  Mau ke Bandung ?"

"Ngapain ?"  Mereka masih bertelepon lama sekali dan keduanya tampak menikmati komunikasi itu.


Berkali-kali Ce Ade mencoba menelpon HP Tengku Houd, ia mendapatkan nada sibuk.  Ia kirim SMS : "Pak, wah acara spa di Kuningan ternyata asyik banget.  Ini bagaimana, saya tunggu di Cirebon saja ............atau bapak tetap di Bandung, besok saya pagi-pagi telah berangkat"


Di Cisangkuy Tengku Houd memesan Bajigur dan memamah jagung rebus --- tidak jelas bagaimana mulanya sehingga ia bisa bergabung dengan tiga gadis remaja di satu meja di teras restoran.


"Ingin ke Spa, ayo --- tetapi mandinya bersama-sama, nanti treatmen-nya boleh sendiri-sendiri --- Bapak traktir, pulang pagi ya !"

Riuh ketiga gadis remaja itu menyambut ajakan Sang Playboy.


Ia duduk di depan, taksi melaju  " Tidak boleh satu pun merokok ya --- larangan itu berlaku di mana pun kalau bersama saya. Saya benci perempuan yang merokok"

Taksi mulai tersendat di jalan Suropati --- lampu-lampu gemerlap dengan nuansa bayangan pohon-pohon besar --- permainan gelap terang di dinding bangunan dan sorot lampu kenderaan memainkan ilusi di mental Sang Tengku.  Ia akan menikmati tidur bertelanjang di dalam selimut bersama tiga gadis remaja. Malam ini akan diisi dengan obat rohani, bathinnya berbisik...............


(Bersambung ke Saptalogi 3/7)

Klik di sini untuk Saptalogi 1/7 :

http://fiksi.kompasiana.com/prosa/2011/01/06/percintaan-opa-dengan-a%e2%80%99ay-dari-pantai-selatan-ke-pantai-utara-mini-cerpen-59-saptalogi/

Mohon tunggu...

Lihat Konten Puisi Selengkapnya
Lihat Puisi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun