Mohon tunggu...
Muhammad Wislan Arif
Muhammad Wislan Arif Mohon Tunggu... profesional -

Hobi membaca, menulis dan traveling. Membanggakan Sejarah Bangsa. Mengembangkan Kesadaran Nasional untuk Kejayaan Republik Indonesia, di mana Anak-Cucu-Cicit-Canggah hidup bersama dalam Negara yang Adil dan Makmur --- Tata Tentram Kerta Raharja, Gemah Ripah Loh Jinawi. Merdeka !

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Para Penjilat dan Hakim Agung yang Nista (Cermin-73)

16 Desember 2012   10:13 Diperbarui: 24 Juni 2015   19:33 188
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
1355652139608183443

[caption id="attachment_222059" align="aligncenter" width="473" caption="Grafik MWA --- Cermin Haiku"][/caption]

(1)

Warung Kopi Wak Kolok di Kampung Melayu di pagi agak cerah ini --- meriah karena dikunjungi oleh Cik Yung, veteran tua yang telah lama sekali tidak berkunjung ke situ.

“Ke mana saja Wak Yung selama ini ?”

“Aku berguru kembali ke Pesantren di Cirebon --- walaupun Kyai Muh telah berpulang, aku senang berguru di Kesepuhan itu”.

Entah siapa yang pertama-tama mengetengahkan isu menjijikan itu --- kasus Hakim Agung Achmad Yamanie yang melakukan pemalsuan Vonis Mahkamah Agung.

“Mochtar Lubis telah mengetengahkan kelemahan bangsa Indonesia sejak Januari 1978 dulu, agar dikoreksi --- bahwa manusia Indonesia ini cendrung munafik --- berslogan Memerangi Korupsi tetapi praktek dan prilakunya Koruptif; menyandang Gelar Agung tetapi mampu berbuat nista dan kriminal. Menyandang amanat Perwakilan Rakyat tetapi misinya menggrogoti dan mencuri APBN ; dihargai dengan pangkat Jenderal tetapi melakukan perbuatan seperti Pencuri Ayam --- bahkan mereka itu kalau diproses hukum masih menunjukkan 'body-language seperti seorang munafik, merasa tidak berbuat kesalahan, innocent'………………… perbuatan elite yang berkuasa persis pengkhianatan kaum ningrat ketika melakukan tindakan koruptif memberi kesempatan kaum petualang dan kolonialis Portugis, Belanda dan Inggris …………… membangun loji ………………… kini para politikus itu membangun dan membina partai politik untuk menguasai sumber-sumber daya secara koruptif --- teragenda untuk melanggengkan kekuasaan “

Ada 3-4 orang di warung itu mencoba mencerna ceramah Cik Yung Sang Veteran.

Kemudian

“Tahun awal-awal kemerdekaan penjahat ekonomi memulai dengan kejahatan Cek Kosong, berlanjut kini Elite berkuasa menantikan krisis secara global --- kemudian merekayasa informasi, seolah-olah mengancam Sistem Perekonomian Nasional atau Sistem Keuangan Nasional --- lantas dibangun Kebijakan, membentuk organ atau merekayasa network untuk “merampok” keuangan atau asset Negara ………… , konon Kebijakan tidak bisa dihukum !”

Contoh, lanjutnya.

“BLBI dan BPPN lantas management asset semua itu jalur koruptif yang lihay menghapus jejak ……….. mereka menghapus jejak secara politis, yang memang telah mereka kuasai --- itu contoh dari Krisis Moneter 1997-98”.

“Di bidang penegakan hukum dan yudikatif juga, mula-mula kejahatan itu bak kata pepatah ‘ tiba di mata dipicingkan tiba di perut dikempiskan’ ……….. dulu mula-mula panitera di Pengadilan Negeri yang memalsukan berkas vonis --- kini, masya Allah tabiat buruk bangsa itu telah mendarah daging ………….. Hakim Agung pun malah yang memalsukan vonis untuk mendapatkan nafkah rupiah --- terkutuklah para hakim dan penegak hokum yang memakan darah !”

Makin ramai warung kopi itu, makin banyak yang terlibat membahas isu “kemunafikan” dalam bangsa ini, pejabat yang digaji malah melakukan pungutan liar, petugas dan aparat yang menggelapkan barang bukti --- label agung dan jabatan terhormat dengan kinerja yang retrogresif --- bahkan kejahatan yang dihasilkan oleh kemunafikan itu berlanjut, seolah-olah budaya telah pula menyisiasati sehingga pendapat umum, opini publik terbentuk ….. sistem retrogresif membuat Rakyat segera melupakan --- isu kontra-isu !”

Cik Yung Sang Veteran pamit, penikmat kopi melanjutkan isu baru ….. politikus penjilat.

(2)

Sikap penjilat, ambil muka, ‘angkat telor’ atau ABS adalah trick atau derivatif dari ‘sikap munafik’ --- tontonlah acara tv, bacalah koran --- kita bisa menyaksikan betapa tidak tahu malunya pejabat atau politisi --- memuji-muji atasannya, pembinanya, kebijakan elit yang didukungnya, meng-agul-agulkan angka-angka yang nisbi --- angka, data yang terhimpun didalam informasi semua menuju satu sisi yang ‘menyesuaikan’.

Tipu-tipu, tipuan dan apus-apus --- antara lain akan menghasilkan Fungsi Ekskutif yang tidak amanah --- melanggar konstitusi dan hukum. Pencalonan, pemilihan dan pengangkatan pejabat-pejabat penuh tipu daya, percaloan dan transakasi --- maka terpilihlah mereka yang menyandang ‘Keagungan’ tetapi bertabiat Manusia Indonesia munafik --- mereka, apa pun agamanya, apa pun nama yang disandangnya, ternyata --- adalah pendusta yang nista.

(3)

Indonesia entah akan menuju Negara Gagal atau Negara ‘Kalis Sambi Kolo’, negara yang terkoreksi --- membutuhkan koreksi budaya. Indonesia membutuhkan Budayawan yang lebih hebat dari Mochtar Lubis --- lantas diikuti dengan Gerakan Budaya, entah apa namanya --- bisa revolusi budaya, entah restorasi, entah reformasi, entah evolusi yang dipercepat dan objektif.

Suka-sukalah --- yang penting Indonesia Raya harus diselamatkan.

Terserah --- apakah melalui Sistem Pendidikan Nasional ataukah Kebijakan Politik dari Pemerintahan Orang Revolusioner (dari mana memulainya ?). Harus ada time-frame, dalam kurun menjelang 100 tahun kemerdekaan --- paradigma strategi kebudayaan baru telah diemban secara konstitusional.

Saat ini, Indonesia Raya terancam dari dalam budayanya sendiri --- kekuatan Asing tinggal menunggu saat yang tepat untuk melumpuhkan NKRI.

Frame adu domba, persiapan ‘existing lawan oposisi (ala Afghanistan, Irak sampai Mesir dan Suriah) telah matang dalam simpul-simpul pathologi sosial.

Karena kaum penjilat secara sistematis telah masuk di dalam jaringan Neo-imperialisme, Manusia Indonesia menanggung kelemahan sistemik kebudayaan .

[MWA] (Cermin Haiku -73)

Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun