Di balik geliat perekonomian nasional yang ter kerap digadang-gadang bangkit dari keterpurukan, terdapat satu pilar penting yang menopang denyut kehidupan masyarakat bawah: Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah (UMKM). Namun di balik perannya yang vital, UMKM justru menjadi sektor yang paling rapuh menghadapi tekanan ekonomi. Salah satu tantangan terbesar yang dihadapi para pelaku UMKM hari ini adalah soal menggaji karyawan. Apakah sebuah usaha kecil harus tetap bertahan dengan idealisme menggaji layak, ataukah terpaksa memilih jalan praktis yang mengorbankan kesejahteraan pekerjanya?
Persoalan ini tidak sesederhana sekadar hitung-hitungan untung rugi. Bagi banyak pelaku UMKM, terutama yang berada di wilayah urban dan semi-urban, menggaji karyawan bukan hanya beban operasional, melainkan juga beban moral. Di satu sisi, mereka memahami betul arti penting upah layak bagi kehidupan para pekerjanya. Di sisi lain, keterbatasan omzet dan biaya operasional yang terus membengkak membuat keputusan menggaji secara ideal kerap terasa mustahil.
Kenyataan yang Menyulitkan
Berdasarkan data dari Kementerian Koperasi dan UKM, lebih dari 64 juta UMKM tersebar di seluruh Indonesia. Mereka menyumbang lebih dari 60% terhadap Produk Domestik Bruto (PDB) nasional. Namun ironisnya, sebagian besar UMKM ini beroperasi dengan sumber daya yang sangat terbatas. Ketika pandemi menghantam, banyak yang terpaksa memangkas jumlah karyawan, menunda pembayaran gaji, atau bahkan menutup usaha sepenuhnya.
Pasca-pandemi, meski geliat ekonomi mulai pulih, tantangan tidak serta-merta hilang. Kenaikan harga bahan baku, biaya listrik, hingga kewajiban membayar upah minimum regional (UMR) menjadi tekanan tersendiri. Banyak pelaku UMKM yang akhirnya terjebak dalam dilema antara mempertahankan bisnis atau menggaji karyawan dengan layak.
Beberapa pelaku UMKM bahkan mengaku lebih memilih merekrut karyawan magang atau pekerja paruh waktu demi mengurangi beban gaji. Praktik ini mungkin menguntungkan secara bisnis, tetapi dalam jangka panjang dapat menggerus etika usaha dan berdampak pada kualitas kerja serta loyalitas karyawan.
Antara Kebutuhan Bisnis dan Tanggung Jawab Sosial
Dilema ini menempatkan UMKM dalam pusaran persoalan yang tak mudah diurai. Di satu sisi, pelaku usaha tentu berhak mempertahankan kelangsungan bisnisnya. Namun di sisi lain, karyawan juga memiliki hak untuk hidup layak dari hasil kerjanya. Dalam konteks ini, muncul pertanyaan krusial: apakah ada jalan tengah untuk menjembatani kepentingan kedua belah pihak?
Jawaban atas pertanyaan tersebut tidak bisa tunggal. Tetapi beberapa pendekatan dapat dijadikan titik tolak untuk mencari solusi yang lebih adil dan manusiawi.
Pertama, pelaku UMKM perlu diberikan pendampingan manajerial dan literasi keuangan yang memadai. Banyak usaha kecil yang sebenarnya memiliki potensi besar untuk tumbuh, namun tersendat karena kurangnya kemampuan mengelola keuangan dan operasional. Dengan manajemen yang lebih tertata, pelaku usaha bisa lebih cermat dalam merancang struktur biaya termasuk alokasi untuk gaji karyawan.