Mohon tunggu...
Muyassir
Muyassir Mohon Tunggu... Penulis - Haluan semata

Mahasiswa

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud Pilihan

Maraknya KDRT di Tengah Pandemi

24 November 2020   11:53 Diperbarui: 24 November 2020   12:03 118
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilmu Sosbud dan Agama. Sumber ilustrasi: PEXELS

Covid-19 bukan lagi wabah yang menyebabkan kita jatuh sakit mulai dari sesak nafas, batuk-batuk hingga meninggal dunia. Ia lebih dari itu melainkan seperti monster yang sudah merasuki ke dalam banyak masyarakat terutama keluarga yang kurang mampu, di sebabkan banyak yang di PHK, krisis ekonomi  karena hilangnya pekerjaan yang menjadi penopang hidup bagi mereka.

Di Aceh dampak yang paling tragis adalah krisisnya ekonomi, banyak masyarakat kehilangan atau menurunnya omset pendapatan mereka disebabkan karena diberlakukannya lockdown oleh pemerintah. Warung-warung kecil yang biasanya kebanyakan pembeli hanya sisiwa dan mahasiswa kini berubah drastis menjadi 180 akibat diliburkannya sekolah dan kampus.

Di sisi lain dampak dari pandemic juga menyebabkan banyaknya kasus KDRT. Ibu rumah tangga yang harus mampu melakukan berbagai peran membagi waktu mengurus anak, mengerjakan pekerjaaan diluar dan melayani suaminya dirumah. Diketika semua itu tidak terpenuhi maka rentan menjadi target tindak kekerasan. 

Di Indonesia, perempuan dianggap bertanggung jawab dalam menyiapkan dan menyediakan makanan. Namun, nyatanya pandemic inilah yang membuat perempuan kesulitan untuk memenuhi tanggung jawab tersebut.

Dilansir dari Serambinews.com Aceh menduduki urutan ke-9 (298 kasus) pada 2020, sebelumnya pada urutan ke-16 (167 kasus) pada 2019, dan urutan ke-14 pada 2018 (290 kasus) tingkat kekerasan berbasis gender di Indonesia.

Dari data ini kita tahu, kelompok yang rentan terhadap kekerasan dalam rumah tangga adalah perempuan dan anak. Mereka menjadi objek atau tempat menuangkan kekesalah laki-laki yang dianggap sebagai kepala keluarga. 

Karena kepala keluarga merasa dirinya menguasai istri dan anak, dengan sangat mudah laki-laki menyakiti mereka. Kita tahu memang sebagian laki-laki masih menganggap perempuan sebagai asset yang bisa dimainkan sesuka hati empunya.

Dalam keadaan seperti ini, bentuk atau sikap membenci perempuan dengan drastis bertambah. Korban yang mengalami ketidakdilan juga cenderung tidak punya keberanian melapor tindak kekerasan tersebut. Alhasil, mereka korban tergangu secara psikologi dan berpotensi mengalami gangguan mental.

Pandemi ini telah menyebabkan banyak orang mengalami pemotongan gaji bahkan kehilangan pekerjaan. Ketika pendapatan rumah tangga berkurang maka ketegangan pun akan meningkat dalam keluarga. Si ibulah yang menjadi sasaran utama oleh suami menjadikan finansial sebagai alasan terjadinya tindak kekerasan yang dilakukan.

Kita sering kali melihat bahwa korban KDRT berasal dari rumah tangga miskin. Tekanan demi tekanan terus menimpa dari sisi kesehatan maupun ekonomi ditambah lagi pemerintah menerapkan anjuran protocol kesehatan dimanapun kita berada. Dan konflik pun terjadi dengan begitu banyaknya beban yang menimpanya. 

Ketika perempuan menjadi rentan karena meningkatnya beban domestic dan kesulitan ekonomi, kebijakan pemerintah untuk mencegah penyebaran Covid-19 justru menyebabkan perempuan kesulitan untuk mencari bantuan ketika mengalami kekerasan.   

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun