Mohon tunggu...
mutmainah Emut
mutmainah Emut Mohon Tunggu... Guru - Wanita
Akun Diblokir

Akun ini diblokir karena melanggar Syarat dan Ketentuan Kompasiana.
Untuk informasi lebih lanjut Anda dapat menghubungi kami melalui fitur bantuan.

Pengajar, Bloger, writer aktif di komunitas belajar menulis

Selanjutnya

Tutup

Fiksiana Pilihan

Terjerat Rasa yang Salah

11 September 2022   12:47 Diperbarui: 11 September 2022   13:01 217
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Fiksiana. Sumber ilustrasi: PEXELS/Dzenina Lukac

Memandang langit sore menjadi candu untukku keindahannya getarkan jiwa. Entah mengapa aku selalu menyukai senja bagiku senja adalah simbol kesetiaan meski ia pergi dengan cepat namun esok ia akan kembali datang.

Suara Gadget membuyarkan lamunanku, segera kuangkat agar ia tak lagi bersuara. Say dimana, pengen ngobrol nich. Suara Nina di telpon dengan nyaringnya. Sore ini aku janji ketemu Nina di cafe tempat biasa kami kongkow. Aku lagi di rumah nich, siap otw, kataku. Segera kuberanjak dari duduk manisku. Kulajukan motor memecah ramainya jalan untuk bertemu kawan setia.

Kami empat sekawan dipertemukan di kota yang sama. Hingga akhirnya menjadi sahabat sejati. Tempat kos yang berdeketan, tempat kuliah yang sama itu yang membuat kami akhirnya menjadi dekat. Kami sama2 kenal dekat dengan orang tua masing-masing, ketika orang tua siapa pun diantara kami datang, kita berempat akan ngumpul menyambut kiriman dan diakhiri makan bersama.

Hay.... Udah lama nunggu ya, sapaku ketika sampai tujuan. Enggk kok baru nyampe juga, kata Nina. kayaknya serius nih to the point aja dech, gurowku. Nina sejenak merenung, ia menatap lekat wajahku. Lalu berkata "ini masalah serius Yun". Okay aku siap mendengerkan, selaku.

Nina mulai berkisah tentang sahabat kami yang tidak pernah diduga sebelumnya, ia yang pendiam memiliki orientasi lain. Ia lebih suka dan tertarik ke sesama jenis dari pada lawan jenis. Dan parahnya teman kencannya adalah teman kami juga. Sani, Errni dua sahabat kami. 

Entah sejak kapan tak ada yang tahu diantara kami, gelagat itu tak pernah nampak atau kami yang kurang peka sebagai sahabat, entahlah. Lama aku terdiam syok mendengar cerita Nina, mereka berdua sahabat kami, kami tinggal di kosan yang semua penghuninya putri. 

Tapi tidak ketat juga sewaktu-waktu kami masih bisa ngobrol dan becanda dengan lawan jenis. Selama ini aku tidak pernah menaruh curiga akan kesedekatan mereka, aku mengira mereka dekat layaknya dekat dengan aku dan kawan sekosan lainnya.

Nina, gimana solusinya ya... Aku tuh kasihan banget loch, gini aja Yun kita ajak ngobrol aja mereka dari hati kehati, kali aja hatinya tersentuh. Apa mereka tidak akan tersinggung nin ? kataku. Harus dicoba Yun kasihan orang tuanya, ujar Nina. Okay aku setuju. Ucapku

Bingung, tentu saja. Harus darimana mengawali obrolan ini, ini kasus sensitif. Aku dan Nina berembug agar keduanya tidak merasa tersinggung ketika kita ajak diskusi. Enggak lah mana mungkin kita begitu aku tuh masih normal kata Sani. Ketika aku ajak bicara dari hati kehati. Alhamdulilah San itu yang kita harap, tapi aku sama Yuni melihat gelagat yang aneh dari kalian berdua, maaf ya, Sani, Erna, kita  sayang kalian. Sore itu keberanikan ngobrol dengan mereka berdua.

Senja menggelap, aku masih terpaku memandang hamparan rumput belakang asrama, mendengar kisah yang terjadi terhadap dua sahabat begitu menampar hati. Rasa sesal yang mendalam karena kurang peka dengan kedekatan mereka. Ingin hati menolak untuk tidak percaya tapi gelagat mereka semakin menunjukan kecurigaan. Dari perlakuan Sani ke Erna bukan layaknya sahabat, dari tatapan mereka berdua penuh gairah cinta.

Nasihat pun sudah kami berikan, namun mereka dibutakan oleh rasa yang salah. Kami tidak bisa berbuat banyak untuk merubah kembali mereka seperti dulu. Kita sebagai kawan hanya bisa menyarankan untuk segera berobat konsultasi ke psikolog, kesembuhan temenku tergantung dari keinginan mereka.

Tanpa sepengetahun teman-temanku aku menemui orang tua keduanya, kulakukan karena rasa sayangku pada teman dan juga orang tuanya, pikirku ketika orang tua mengetahui kelakuan anaknya mereka pun akan ikut mengontrol. 

Awalnya aku takut untuk cerita kepada kedua orang tua sahabatku, aku takut mereka tidak percaya dan menuduhku mengada-ngada, namun dengan memantapkan hati pun dengan mengucap bismillah kutemui juga mereka. 

Alhamdulillah orang tuanya tidak ada yang tersinggung dengan ucapanku bahkan mereka mengucapkan terima kasih karena telah mengabari mereka.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Fiksiana Selengkapnya
Lihat Fiksiana Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun