Mohon tunggu...
Mutiara Amelia Sabrina
Mutiara Amelia Sabrina Mohon Tunggu... Full Time Blogger - pelajar

Ikhtiar adalah jalan ninjaku

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Monochrome

28 September 2019   20:08 Diperbarui: 16 Februari 2020   09:32 141
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Lebaran bulan lalu ,di sudut gang rumah nenek semua keluarga berkumpul. Keluarga besar lama tak jumpa datang. Sekarang lebaran bukan lagi hanya momen spiritual atau sekedar kumpul keluarga, tapi juga ajang pameran pencapaian diri dari masing masing keluarga. 

Sepupuku yang dulu sama hebohnya denganku saat mendapat THR, kini berbalik yang memberikan THR. Keluarga yang lain berdecak kagum. " wah, sudah berhasil ya sekarang" kata nenekku. Ya, berhasil atau sukses, sesuatu pencapaian paling tinggi bagi society.

Lalu aku mulai berfikir, pencapaian apa yang telah digapai selama tujuh belas hidupku ini? Nonton drama korea dua puluh episode sehari? Atau baca novel roman picisan tamat dalam dua jam? . memang bukan hal yang bisa dibanggakan. Bukan hal yang bisa dijadikan topik pembahasan ibuku saat arisan dengan tetangga. Jika dipikir -- pikir lagi, kasihan juga orangtuaku. 

Terbungkam saat orangtua lain memamerkan keberhasilan anaknya. Setidaknya adikku bisa cukup diandalkan kalau soal prestasi. Orang seringkali menceritakan segala hal dihidupnya sebagai inspirasi bagi orang lain. Saat itu aku hanya bocah SD yang terobsesi matematika. 

Aku cukup bangga dengan hal itu. Maksudku, siapa yang tidak bangga saat yang lain membenci pelajaran itu, tapi aku sendiri malah menyukainya.senag rasanya menjadi special dipandang orang orang. Keluarlah ekspektasi -- ekspektasi liar soal menjadi orang sukses. 

Aku ingin seperti dia yang sekolah ke luar negeri jadi kebanggaan bangsa. Aku ingin seperti dia yang juara olimpiade jadi kebanggaan sekolah. Karena itu aku ikut lomba sana sini. Pernah aku ikut lomba semacam lomba MIPA, mengerjakan soal seputar matematika dan IPA. 

"Ibu yakin kamu bisa jadi kebanggan sekolah" perkataan wali kelasku saat kelas 3 SD ini cukup membuatku merinding. Kata -- kata motivasi itu berubah menjadi tekanan yang cukup berat bagi diriku yang masih cupu pada saat itu. 

Aku bekajar, sampai sakit dan khawatir tidak bisa ikut lomba. Konyolnya dengan segala usaha mati matian itu aku gagal. 

Lalu ku coba lagi saat SMP, diikutilah lomba olimpiade IPA. Tidak ada yang berbeda. Memang si anak cupu ini tidak kenal strategi saat bertarung. Mainnya nekat, mau ikut tarung sana sini agar asal kelihatan tangguh. 

Padahal mental cupunya tidak beda jauh dari saatku SD. Ya, gagal lagi dan gagal lagi. Tapi memang si cupu ini bandel. Naifnya hingga berfikir " ini belum rezeki". 

Aku tidak sadar kalau semua hal ini bukan soal rezeki, tapi soal usaha. Lalu ku coba mengikuti rekomendasi soal lomba cerpen. Aku tidak tahu apakah aku punya bakat soal menulis, tapi setidaknya menulis tidak lebih sulit dibanding berbicara dihadapan banyak orang. 

Dan aku berhasil jadi juara ketiga. Bukan hal yang dapat dibanggakan, bukan ini yang inginku capai , pikirku dengan sombongnya pada saat itu. Ya memang inginku menang olimpiade IPA bukan memang loba cerpen . 

Di suatu hari aku bercermin pada sisi diriku yang lebih bijaksana. Pada sisi diriku duapuluh tahun yang akan datang. 

Dia tertawa kecil memandangu " mengapa sulit sekali mencapai yang kita inginkan?" Tanya ku yang naif. " tidak sulit, tapi memang kamu tidak butuh menggapainya" katanya yang bijaksana. "untuk apa jadi ilmuan jika ingin pamer, untuk apa jadi pengusaha yang memperbudak karyawannya?" Tanyanya lagi membiat si Naif makin heran. 

Cukupkanlah ikatanmu relakanlah yang tak seharusnya untukmu, lantunan lagu dari Kunto Aji tiba tiba terdengar. "kamu tahu kan orang orang sukses itu tujuhpuluh persen hidupnya soal kegagalan, maka jatuhlah tujuhkali tapi bangkit delapan kali." . Si Naif menangis, apa yang ia ingin gapai selama ini memang bukan untuknya. 

Dia menyepelekan soal tulisan, akhirnya sadar bahwa tulisan yang menginspirasi banyak orang lebih berharga dibanding penemuan teori kuantum yang malah disalah gunakan untuk pengeboman di kota kota. "hidup bukanlah soal pencapaian, tapi siasat bagaimana cara menghabiskan hidup untuk menjadi mata air bagi orang lain."

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun