Semilir angin menerbangkan daun-daun waru kering. Sebagian jatuh mengenai bahu mereka yang tengah duduk bersila. Tidak bergerak. Anteng pada posisi semedi. Kali ini aku datang sedikit terlambat. Jalan tergopoh-gopoh membuat rambutku terurai sendiri dari ikatannya. Aku mencari sehelai ranting untuk mengikat rambutku. Dengan meniupnya sedikit, ranting rapuh itu sudah berfungsi menjadi pengikat rambut. Sempurna. Batinku puas.
Aku langsung mengambil posisi di deretan paling belakang. Mengambil sikap bersila dan memejamkan mata. Napasku masih terasa terenggah-enggah, namun ku atur sedemikian rupa, karena aku ingin mempelajari ilmu baru. Lebih tepatnya mempertajam seluruh indraku. Dadaku menggebu.
Huffft..... Mataku membuka lebih cepat dari waktu yang ditentukan. Sialan. Aku merasa sangat gelisah. Werdho berjalan menghampiriku. Bunyi tongkatnya berdengung-dengung. Mereka sama sekali tidak terganggu dan masih berada pada posisi semedi.
Aku menunduk ketika tongkatnya sudah berada di atas kepalaku. Mampus. Apa ia akan murka seperti ketika kendil merahnya pecah berantakan. Gara-gara semburan dari kami yang salah sasaran. Kakinya yang kecoklat-coklatan berdiri tepat di mukaku. Aku memejamkan mata ketakutan.
Tongkatnya masih di atas kepalaku. Tidak beranjak barang sejengkal saja. Jantungku seperti hendak copot keluar dari rongganya. "Berdiri." Mengerjap-erjapkan mataku yang sedikit silau, dan aku mulai berdiri. Tak ada sepatah kata pun yang keluar dari mulutku. Malam itu, seperti hukuman yang cukup membuatku kapok. Mulutku terkunci selama dua hari, karena aku melawan saat Werdho memarahiku. Eh-lebih tepatnya aku membela diriku. Ya, aku rasa aku tidak sepenuhnya salah waktu itu. Ah sudahlah.
"BER-DI-RI!" Dan mereka semua berdiri bersamaan dengan angin yang sangat kencang. Puting beliung buatan Werdho.
***
Aku sudah duduk di kursi reyot ini. Hawa ruangannya panas seperti biasa. Jika, kau pernah melihat ilustrasi mengenai neraka. Ya-begitulah ruangan Werdho. Kanan-kiri-depan-belakang dikelilingi api. Sejauh ini, aku belum pernah mendengar muridnya dihukum dengan dibakar. Semoga. Semoga bukan aku yang menjadi pembuka pertama hukuman itu.
"Kamu memang murid tercerdas dan sigap di sini." Aku masih tidak berkutik. Werdho berdiri menghadap lukisan kuda di sisi kanan. "Sudah berapa hal yang kamu kuasai?"
Mata ayamku melirik sekilas. Werdho masih berdiri menghadap lukisan kuda. "Sudah semua."
"HA-HA-HA" Werdho tertawa. Tawa itu sebuah sarkasme yang aku tahu betul nadanya. Aku tidak berbohong. Semua ilmu sudah aku pelajari-nyaris menguasai seluruhnya. Werdho benar, aku memang murid yang cerdas dan selalu sigap dalam mengatasi segala hal. Seluruh penghuni Joglo Soyo mengenalku, termasuk Pak Sewo dan Mak Jumiah. Tukang sapu dan juru masak di sini.