Mohon tunggu...
Mutiara Fahira
Mutiara Fahira Mohon Tunggu... Lainnya - Hanya seorang gadis pengarang.

Nona Capricorn, sang penyihir misterius.

Selanjutnya

Tutup

Filsafat

Kautilya Vs Machiavelli: Bekal Strategi dan Anjuran Kualitas Seorang Pemimpin di Masa Depan

1 Desember 2021   19:08 Diperbarui: 1 Desember 2021   20:05 340
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Filsafat. Sumber ilustrasi: PEXELS/Wirestock

Sebelum kita berbicara mengenai Kualitas seorang pemimpin dimasa depan itu bagaimana,  terlebih dahulu kita berbicara sedikit mengenai Kautilya. Kemungkinan besar masyarakat umum kebanyakan tidak mengetahui tentang Kautilya, maka dari itu sekadar informasi singkat. Kautilya merupakan seorang penulis teks tertua tentang Administrasi Publik didunia, sekaligus seorang perdana Menteri di India. Kautilya memiliki Karya yang sangat terkenal yaitu Arthasastra yang didalamnya memiliki arti penting terkait pemikiran politik serta administrasi kuno. Setidaknya yang membuat tertarik adalah teori Saptanga nya yang memiliki 7 komponen penting bagi suatu negara. Yaitu Swamin, Amatya, The Japanada, Durga, The Kosha, The Danda dan Mitra.

Dari 7 komponen atau elemen tersebut, sebenarnya semuanya merupakan Kriteria atau strategi penting yang dimiliki oleh seorang pemimpin didalam negara. Hanya saja, yang lebih wajib dimiliki oleh seorang pemimpin didunia yaitu yang pertama pada poin The Kosha (Uang), artinya 'Semua kegiatan negara bergantung pada keuangan dan oleh karena itu perhatian utama harus diberikan kepada perbendaharaan.  Perbendaharaan negara harus sumber pendapatan tetap bagi negara. Sumber utama pendapatan negara adalah bagian Raja dari hasil tanah, bea masuk dan jumlah yang dikumpulkan sebagai denda. Pembayar pajak utama adalah petani, pedagang dan pengrajin'. Kira-kira seperti itulah isi dari teori saptanga pada poin The Kosha. Tentu saja uang adalah menjadi hal yang paling penting bagi negara, tanpa uang maka kita juga tidak dapat menjaga stabilitas atau perdamaian bagi negaranya, sehingga akan lebih bijak apabila seorang pemimpin memiliki pembendaharaan yang baik dibawah pemerintahannya. Kemudian yang Kedua, pada poin The Danda (Militer). Tentu saja militer sangat penting bagi menjaga stabilitas atau power bagi negaranya. Oleh karena itu, Kautilya menyarankan seorang pemimpin itu memiliki militer yang kuat dibawah pemerintahannya. Lalu yang terakhir yaitu pada poin Mitra. Mengapa Mitra? Jawabannya adalah akan lebih baik seorang pemimpin memiliki sekutu atau aliansi yang dapat di percaya. Dengan aliansi yang dapat dipercaya itulah sehingga dapat menjalin hubungan atau relasi dalam kerjasama yang baik, sehingga setidaknya seorang pemimpin tidak perlu khawatir dengan hal tersebut dikarenakan ada mitra yang dapat dipercaya untuk saling merangkul atau memiliki kepentingan yang sama. Namun, meskipun begitu terkadang seorang mitra yang dapat dipercaya pun dapat menusuk dari belakang, apalagi memiliki kepentingan yang sama, dikhawatirkan adalah akan lebih mendahulukan kepentingan negaranya, walaupun sangat manusiawi tiap orang selalu mementingkan kepentingannya terlebih dahulu, sehingga akan sulit menemukan mitra yang baik bagi seorang pemimpin, Dan tentunya hal ini menjadi tantangan yang sulit untuk menemukan seorang mitra (Segara, 2019).

Selanjutnya mengenai Machiavelli yang merupakan seorang ahli filsafat dari Italia. Salah satu karyanya yang terkenal yaitu The Prince, yang berbicara mengenai berbagai teori cara merebut serta mempertahankan kekuasaan. Salah satunya di karyanya The Prince berisi nasihat terkait strategi yang wajib dimiiki oleh seorang pemimpin. Walau terdengar cukup kasar, seorang pemimpin yang ingin mencapai tujuannya haruslah menghalalkan segala cara dan licik serta mengabaikan moral yang justru dapat menghambatnya dalam mencapai tujuannya. Selain itu juga seorang pemimpin negara harus mampu dalam mengambil simpati dari rakyatnya sendiri, karena jika tidak maka akan sulit mendapatkan sumber kekuatannya. Didalam strategi merebut kekuasaan, seorang pemimpin yang baik setidaknya dapat mengatur kekejamannya sehingga mereka tahu kapan saatnya mereka bertindak tegas dan diktator, dan kapan saatnya dia dapat memenangkan hati rakyatnya sehingga dia juga dapat merasakan kedamaian. Kemudian Machiavelli juga menyarankan agar sebaiknya seorang pemimpin itu menghindari seorang penjilat dan lebih memilih mendengarkan penasihatnya yang dapat dipercaya. Dan tentunya, seorang pemimpin tidak akan mencoreng namanya dengan melakukan korupsi sehingga dapat menyebabkan beberapa pihak merasa dirugikan, terutama bagian yang seharusnya menjadi hak bagi rakyatnya atau dapat mempermainkan hukum dengan mengandalkan identitas kekuasaannya (Ikhwan).

Dari penjelasan singkat mengenai pemikiran strategi keduanya yang dituangkan didalam sebuah karya, maka dapat disimpulkan pula, Machiavelli dan Kautilya keduanya sangat realisme. Mengapa demikian? Keduanya sama-sama memiliki pemikiran yang justru menekan seorang pemimpin didalam negara itu menjadi diktator, sehingga segala keputusan semuanya ada ditangan pemerintah. Dan juga, mereka lebih menyarankan seorang pemimpin itu harus menjadi Pemimpin yang mampu menghalalkan segala cara dalam mencapai kepentingannya. Seolah demi mencapai tujuan tersebut seorang pemimpin harus rela dalam mengorbankan banyak hal termasuk kejam terhadap rakyatnya sendiri, sehingga lebih cenderung membuat seorang pemimpin tersebut malah lebih ditakuti daripada dicintai oleh rakyatnya.

Jika ingin membandingkan antara keduanya maka Machiavelli lah yang cenderung lebih realisme. Disini pemikiran Machiavelli sangat relevan di zaman modern. Jika ingin mengambil studi kasus, maka disini dapat dilihat contoh dari pemerintahan di Korea Utara dimana pemimpinnya terkenal sangat diktator dan kejam, bahkan daripada dicintai dia justru menjadi sosok pemimpin yang ditakuti oleh masyarakatnya. Sangking otoriternya, bahkan pada pemilihan umum, di Korea Utara hanya memiliki sebanyak satu pilihan kandidat. Lantas jika seperti itu, mengapa mereka masih mengadakan pemilu? Jawabannya adalah karena  Pemilu merupakan ritual wajib yang dilakukan disana bukan sebagai hak dalam pemilihan suara, lebih tepatnya hal ini untuk memperkuat rasa kesetiaan terhadap pemerintah serta persatuan sosial, oleh karena itulah pada sistem pemilihan umum di Korea Utara lebih condong pada satu kandidat yang berarti satu suara maupun pemikiran sama (Saputra, 2019).

Jika melihat keadaan di Korea Utara, maka tentu saja sangat otoriter. Kembali lagi jika ingin membandingkan pemikiran Machiavelli dan Kautilya, sebenarnya sangat sulit untuk membedakan antara keduanya, mengingat pemikiran mereka sama-sama mengedepankan pemerintahan yang otoriter bagi seorang pemimpin yang ideal. Jadi dapat dikatakan jatuhnya prinsip keduanya menyarankan pemimpin untuk lebih mengontrol rakyatnya, dikarenakan semuanya kembali pada pemimpinnya. Lalu pertanyaan selanjutnya, apakah sistem pemerintahan yang otoriter yang diterapkan didalam suatu negara selamanya dianggap buruk?

Jika kita kembali berkaca pada masa lalu, sistem pemerintahan yang otoriter merupakan mimpi buruk bagi rakyat ditiap negara yang menerapkan sistem pemerintahan yang otoriter. Memangnya siapa yang mau pergerakan atau segala tindakan yang berbau demokrasinya dibatasi? Bahkan rakyat tidak memiliki hak bersuara atau menyampaikan aspirasi selain patuh dan tunduk kepada kepala negara.

Namun, apakah sebagian masyarakat didunia pernah berpikir bahwa sistem pemerintahan yang otoriter itu tidak selamanya buruk? Jawabannya mungkin saja. Otoriter dapat dikatakan baik dan juga dapat dikatakan buruk. Sedikit Pro Kontra antara Otoriter dan juga Demokrasi. Akan tetapi, terkadang suatu negara membutuhkan penekanan dari pemimpinnya sendiri agar sistem pemerintahan yang dijalankan didalam negaranya itu lebih teratur dan terarah. Demokrasi memang baik, sangat baik malah tujuannya mengingat sebagai warga negara kita memiliki hak berpendapat atau memilih maupun melakukan apapun yang kita inginkan didalam konteks sosial. Demokrasi itu bebas, namun karena tiap masyarakat memiliki sudut pandang yang berbeda-beda sehingga hal ini kemudian menjadi sulit bagi pemerintah untuk mengambil keputusan karena terlalu banyak pendapat atau sudut pandang dari berbagai pihak yang didengarkan, dan jika hal ini terus dibiarkan keadaan akan sulit dikontrol dan berakhir menjadi perpecahan dari banyak pihak.

Dari melihat hal ini saja, kemudian jika dipikirkan kembali, ternyata otoriter juga bagus dalam mengedepankan sistem pemerintahannya sehingga kemudian membuat rakyat menjadi kondusif secara teratur, dan hal ini juga berlaku bagi para menteri maupun pejabat lainnya. Karena mengingat otoriter bisa menjadi sistem pemerintahan yang baik sekaligus buruk, maka kualitas seorang pemimpin itu sangat penting untuk dipertimbangkan, setidaknya pemimpin yang menjalankan sistem pemerintahan yang otoriter tersebut mampu mengontrol dirinya sendiri. Dia tahu kapan waktunya bertindak kejam dan tegas untuk mencapai kepentingan negaranya dengan tujuan mencapai kesejahteraan rakyatnya, dan dia juga tahu dimana saatnya dia dapat menarik simpati dari rakyatnya sendiri sehingga dapat menjadi pemimpin yang dicintai sekaligus disegani. Dan akan sangat buruk, apabila suatu negara salah memilih pemimpin dalam artian jauh dari kata standar kualitas pemimpin yang baik, maka hal ini juga menjadi dilemma bagi negara yang sistem pemerintahannya menganut otoriter.

Dari pemikiran tersebut, dapat disimpulkan bahwa menjadi seorang pemimpin itu tidak mudah. Kebanyakan dari ribuan orang-orang yang berlomba-lomba ingin meraih kekuasaan. Kemudian hal inilah pula yang menjadi dilemma bagi seorang pemimpin, ketika mereka berhasil menggapai kekuasaan tersebut, tantangan selanjutnya adalah sangat sulit untuk bertahan dan mempertahankan pada suatu kekuasaan atau wewenang yang mereka miliki, terlalu banyak orang-orang bertopeng dengan menusuk jarum dibelakang, sehingga jika seorang pemimpin lengah barang sedikit saja, hal itu lalu dapat menciptakan peluang bagi orang-orang serakah yang berniat mencoba merebut kekuasaan atau menggeser posisinya untuk meraup kepentingan pribadi nafsu. Sangat sulit memang.

Ironisnya, kebanyakan dari manusia selalu mempercayai suatu kebenaran hanya didepan mata saja tanpa mencari tahu terlebih dulu kebenaran tersebut. Terkadang, dibalik itu semua, rakyat tidak memahami apa yang sebenarnya telah dilalui oleh seorang pemimpin hingga mencapai dititik tinggi, mereka terlalu sibuk mencerca pemerintah maupun pemimpin sebelah mata, tanpa melihat keadaan yang sebenarnya terjadi disekitar.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Filsafat Selengkapnya
Lihat Filsafat Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun