Ayar hujan masih mengguyur kota. Ambu nya yang khas betul-betul memberikan rasa nyaman. Menemani atma yang repui. Ayudia menatap nanar jendela kamar rawatnya. Retina nya menilik derai hujan yang turun ke buana. Tangan lentik yang dihias selang itu meraih sepucuk surat. Di bungkus dengan kertas coklat dan di rekatkan dengan lilin cair.
"Aku bisa mencium ambu mint di suratnya," ucap sang gadis sambil melukiskan setengah lingkaran indahnya.
Jemari lentik mulai merobek amplop itu kemudian mulai membaca tulisan- tulisan rapih tersebut.
"Untuk Ayudia,
Dayitaku begitu anindya
Penyuka awan begitu juga hujan
Selalu tersenyum
Walau sebenarnya hatimu begitu redum
Selalu membawa harsa
Walau sebenarnya lara
Jangan tenggelam nona,
Sampaikan sedihmu pada awan
Dan biarkan air matamu dibawa hujan
Biarkan langit menyampaikan
Bahwa kau di landa kesedihan"
Kapan?
Kapan lagi kita kan bermain hujan?
Temui aku esok
Saat kau meninggalkan neraka
Saat cahaya baskara menerpa mata
Saat sinarnya baswara
Aku menunggu di suatu tempat
Di mana semua bunga tumbuh merapat
Di mana kita bertemu
Di mana kita akan bercumbu
Dimana ancala menjulang
Dimana kita berdua tak mau pulang
Temui aku disana nona,
Tapi kumohon dengan bahagia
Dengan senyum sempurna
Dengan kelopak yang siap mekar
Dengan daksa yang kekar
Dengan atma yang tegar
Untukmu ayudia,
Untukmu nona,
Sang pencinta awan beserta hujan"
Ayudia kembali melengkungkan kurvanya. Rasanya rindu sekali dengan seseorang di seberang sana. Sudah berapa lama ia tak melihat wajahnya? Seperti sudah ber dekade-dekade. Ah berlebihan.