Mohon tunggu...
Mutia AH
Mutia AH Mohon Tunggu... Lainnya - Penikmat Fiksi

Menulis yang ringan dan positif

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Selaksa Luka dalam Rasa

10 Mei 2021   07:16 Diperbarui: 10 Mei 2021   07:31 276
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Gambar dari Pixabay

Aku sebagai anak tertua dituntun mengerti keadaan dan harus membantu menjadi tulang punggung. Hingga kehilangan masa kanak-kanak yang seharusnya ceria. Sementara bapak, justru drop dan sering sakit-sakitan. Membuatku berpikir ayah hanya beban, sumber segala penderitaan. 

Dua puluh tahun luka itu terkubur. Namun bukannya membusuk, lebur dan menghilang. Justru luka itu kian tumbuh dan berakar. Aku masih enggan menerima ayah sebagai ayah sebenarnya. Kebencian hanya itu yang ada dalam lubuk terdalam. 

Aku melepas pegangan tangan ibu, dan bertolak ke kamarku sendiri. Namun lagi-lagi ibu menarik lenganku.

"Mau sampai kapan, Nduk?" tanya ibu sambil duduk bersimpuh di bawah kakiku, memohon. 

"Aku sudah mencobanya, Bu." Dadaku terasa sesak saat mengucapkan itu. Masa kecil yang penuh kesedihan kembali terbayang. 

"Kau menyiksa diri sendiri, Nduk. Kau menjadi orang yang salah karena tidak mau memaafkan orang yang mengaku salah," ucap Ibu bergetar. Air mata kembali berloncatan dari kelopak matanya. 

"Ayahmu sudah tak ada, Nduk!" Langkahku terhenti. Aku berbalik menghadap ibu, mencari kebenaran ucapannya. 

"Seminggu yang lalu. Ibu coba menghubungimu tapi ... ,"

Seketika tubuhku limbung luruh bersandar pada dinding. Serasa ribuan jarum menusuk-nusuk hati. Teringat peristiwa sebulan lalu. Di rumah sakit Medika Internasional, saat dokter mengucapkan selamat atas keberhasilan operasi cangkok ginjal yang dilakukan padaku. Berkat kerelaan seorang lelaki tua yang mendonorkan sebuah ginjalnya untukku. 

"Ayahmu, pergi setelah mendonorkan ginjalnya untukmu. Ini takdir, Nak, bukan salahmu. Mungkin inilah jalannya untuk mendapatkan maaf darimu," ucap ibu kemudian. 

"Ibu, aku ... " ucapku pelan. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun