Mohon tunggu...
Mutia AH
Mutia AH Mohon Tunggu... Lainnya - Penikmat Fiksi

Menulis yang ringan dan positif

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Ibuku, Pahlawan Devisa

25 November 2020   14:56 Diperbarui: 25 November 2020   15:01 165
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Aku jemu, benar-benar jemu dengan  jawaban nenek setiap kali bertanya tentangnya. Hingga kemudian, diam tak peduli menjadi pilihan. Biar saja rindu ini menguap bersama angin. Aku anggap ibu telah melupakan anak dan semua kehidupannya di sini. 

Namun, cerita tak semudah itu ditamatkan. Dari tetangga, kerap kudengar mereka membicarakan ibu. Lagi-lagi mereka bungkam jika diminta penjelasan mengenai kebenaran cerita yang kudengar. Bahwa ibu dieksekusi mati karena membunuh majikannya sendiri. Bukan jawaban yang kudapatkan, justru sorot mata iba dan kasihan yang mereka berikan. 

"Nek, benarkah ibu jadi pembunuh dan dihukum mati?" Nenek diam menatapku dengan sorot mata tajam penuh amarah. 

"Bagaimana mungkin kau berpikir bahwa wanita yang melahirkan dan mengorbankan nyawa untukmu, kau sebut pembunuh?" 

Sejak saat itu pun, aku tak berani bertanya lagi. Hingga sore tadi, saat langit bergemuruh disertai petir dan hujan deras. Aku beranikan diri untuk bertanya lagi perihal ibu. Di luar dugaan, sorot mata nenek sendu. Air mata mengalir deras di pipinya. 

"Kamu sudah dewasa, Nduk. Saatnya tahu cerita yang sebenarnya." Setelah mengatakan itu, nenek bergegas pergi ke kamarnya. Satu-satunya ruangan yang tak pernah kumasuki di dalam rumah ini. Sejak kepulangannya dulu. 

Setelah beberapa saat kemudian, nenek keluar lagi dengan membawa pigura foto yang belum pernah kulihat sebelumnya. 

"Lihat foto ini, terakhir nenek bertemu ibumu sebelum dieksekusi mati." Nenek mengakhiri kalimatnya karena tangisnya pecah seketika. Aku lihat dengan seksama foto dalam pigura. Ibu tampak tersenyum bahagia memeluk nenek yang berdiri di sebelahnya. 

"Bacalah! Kamu akan mengerti," ucap nenek kemudian. Sebelum aku beranjak meninggalkannya dengan membawa pigura dan koran lawas di tangan. 

Aku mengunci pintu rapat kemudian membaca sambil berbaring di ranjang. Jelas terpampang di halaman utama koran terbit tahun 2018 dengan judul paling atas halaman.
'Sulastri, TKI yang Dihukum Mati di Luar Negeri.'

Darahku  bedesir memanas, membaca setiap barisan tulisan yang menceritakan kisah ibu. Meregang nyawa karena hukuman mati. Membunuh majikannya karena membela diri saat akan diperkosa. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun