Mohon tunggu...
Mutia AH
Mutia AH Mohon Tunggu... Lainnya - Penikmat Fiksi

Menulis yang ringan dan positif

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Muja

20 Februari 2020   12:32 Diperbarui: 20 Februari 2020   13:02 108
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Gambar https://pixabay.com/

"Jangan! Jangan! Lepaskan aku lepaskan!" teriak Azka penuh ketakutan."Nak, ini ibu," ucap Rini dengan air mata berderai. Ia tak bisa berbuat apa-apa melihat anak sulungnya berteriak dan meronta. Saat ia mendekat, Azka menyuruhnya pergi, seolah Rini adalah makhluk menyeramkan yang hendak menyerang.

"Pergi! Pergi!" teriak Azka tampak ketakutan sambil terus memejamkan mata. Sementara tubuhnya terduduk, kemudian ia berbaring dan tidur lagi.

"Ibu, Aa kenapa?" tanya Kia pada Rini, ibunya.

"Aa ngigau, mungkin karena demamnya terlalu tinggi, tapi sekarang sudah enggak."
Rini memandangi tubuh putra sulungnya, bulir-bulir bening kembali berjatuhan seiring penyesalan menyeruak masuk ke dalam hatinya yang gelap.

"Kenapa gak dibawa ke dokter, Bu?" Pertanyaan polos keluar begitu saja dari mulut putri kecilnya membuat wanita cantik itu kembali terisak.

Rini meraih pundak Kia ke dalam pelukannya, dan tersedu-sedu menyesali perbuatannya. Kemarin saat harta suaminya masih bergelimpangan, Rini kerap menelantarkan anak-anak, karena sibuk shoping dan bersosialita.

"Maafkan ibu," ucap Rini di sela-sela tangisannya. Belum genap seminggu ia lari dari rumah, terasa kini betapa ia merindukan suaminya. Kehilangan harta tidaklah seberapa sakit, dibandingkan kehilangan keutuhan rumah tangga.

****"
Genap tiga malam Haryo melakukan semedi di bawah pohon beringin besar di kaki gunung Kawi. Tiba saatnya ia melakukan ritual terakhir semacam perjanjian darah. Setelah sebelumnya ia diberi pesan untuk membawa seekor ayam cemani serata kembang tujuh rupa sebagai mahar dengan penunggu gununng.

Di rumah Mbah Jamrong selaku guru kunci, perjanjian itu akan dilaksanakan. Keputusasaan telah menyeretnya ke lembah hitam yang bernama kemusyrikan. Nekad! Hanya itu yang tersisa dalam hidupnya kini. Setelah hasil usaha selama sepuluh tahun habis terjual untuk melunasi hutang istrinya pada rentenir. Memulai dari nol tanpa terlilit hutang adalah keputusan sepihak yang ia ambil, berharap semua kembali normal. Ternyata keputusannya tidak membawa solusi justru hal inilah yang membuat Rini kabur dengan membawa serta anak-anak mereka.

"Aku gak mau hidup miskin, jangan mencariku sebelum punya uang yang banyak," ancam Rini kepadanya sebelum pergi.

Marah! Rini yang telah membuat Haryo bangkrut dan terlilit hutang rentenir, sialnya wanita itu justru pergi meninggalkannya. Bisa saja Haryo membiarkan Rini pergi. Anehnya justru hal itu membuat Hafyo sadar bahwa ia benar-benar mencintai wanita itu. Seperti apapun tabiat buruk Rini, Haryo tetap mencintainya sepenuh hati terlebih mengingat Azka dan Kia. Kehilangan harta dan wanita mebuatnya rela melakukan hal di luar logika. Di depan Mbah Jamrong sang juru kunci gunung Kawi Haryo kini duduk bersimpuh hendak menukar jiwa.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun