Mohon tunggu...
Mutia Senja
Mutia Senja Mohon Tunggu... Penulis - Pembelajar

Salah satu hobinya: menulis sesuka hati.

Selanjutnya

Tutup

Fiksiana Pilihan

Membaca "JdMNdH", Membaca Lukisan "Tanpa Celana"

15 Agustus 2020   19:47 Diperbarui: 15 Agustus 2020   21:44 436
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

"Yang tidak akan membahayakan hidupku barangkali adalah mencintaimu dan mencintai buku. Buku memiliki banyak halaman untuk bercerita, kamu memiliki banyak hal aman untuk bercita-cita."

—Alfin Rizal, hlm 247

Ketika menulis catatan ini, Born to Die—Lana Del Rey masih mengalun. Saya berhasil membaca JdMNdH untuk kedua kalinya. Pertama, di hadapan orang yang saya cintai dan entah mengapa saya merasa sangat bersyukur usai membacanya sembari mengumpat dalam hati, "Aihhh, mataku menyaksikan dua keajaiban hari ini!". Dan kedua, di hadapan "Lelaku"—kumpulan cerpen Alfin Rizal terbitan tahun 2016 yang baru saya baca pada permulaan Maret 2017. Saya buka ulang dan tak dapat dipungkiri bahwa setiap buku membawa kenangannya masing-masing.

"Buku, memang selalu menjadi rumah lain bagi kenanganku bersama seseorang"—seketika dihajar haru ketika membaca kalimat ini sebelum membalikkan halaman berikutnya dan saya temui pernyataan, "Cinta itu pada akhirnya memang akan jadi alasan bagi manusia sepertiku untuk menentukan satu pilihan penting dalam hidup: berusaha melanjutkan atau menghentikannya. Merawat atau membunuhnya."—Dan terima kasih atas keputusan untuk masih memilih yang pertama.

Dua buku bersampul ciamik yang didesain oleh sekaligus penulis, terkesan memberi 'nyawa ganda' sebab sampul—bagi saya—berperan mengantarkan cerita sebelum membuka lembar pertama: buat kamu: yang nekat dalam mencintai.

Alfin selalu mampu berinteraksi dengan pembacanya semisal melalui selembar surat yang diselipkan di tengah-tengah buku, atau seperti dalam sehujan puisinya "Mengunjungi Hujan yang Berteduh di Matamu". Pada halaman penutup, ia membius pembaca untuk melanjutkan sajaknya dengan ajakan yang manis: "Tidak harus sekarang. Barangkali kau mesti menunggu hujan turun—karena ini tentang kita dan hujan—atau... Kapan saja kau ingin. Tulis saja!" Surat kita, barangkali meminang hal yang sama, "Suatu hari, kabari aku kalau kau punya kesempatan menerbitkan ceritamu." Sebagai pembaca, saya suka cara penulis menyapa pembacanya disamping menghidupkan motivasi menulis kian membara.

***

Ungkapan seseorang yang pernah kudengar barangkali benar, hidup adalah lentera dan sumbunya adalah cinta. "Jauh di Mata Nekat di Hati" adalah upaya Alfin Rizal menyalakan cinta. Terbukti, tiga bab pertama dikisahkan tentang bagaimana cinta bekerja: "Ketika aku merasakan cinta, tidak ada perasaan yang kubanggakan selain bagaimana aku mampu menampung segala yang ada di muka bumi"—meski di hadapan kenangan, "Aku merasa banyak kehilangan meski tidak tahu pasti apa yang sebenarnya kumiliki."

Imbuhnya lagi, "Cinta telah benar-benar menggerakkan segala hal dalam diriku. Segalanya. Yang semula anteng, diam, bahkan nyaris mati terbunuh waktu, kini telah berubah. Bergejolak. Bahkan aku bisa memastikan tak ada satu sel pun dalam diriku yang mati. Semuanya bekerja aktif" (hlm 101). Cukup memberi simpul "nekat di hati" sebagai sebuah keberanian mencintai—meski pada kenyataannya, cinta kerap kali menyuguhkan cerita yang terkadang sulit kita terima.

Dan yang kita butuhkan adalah betah dalam segala; termasuk cinta. Masih menyoal cinta—mendapati bait cinta Sitok Srengege menghuni halaman 19 buku ini, justru mengingatkan saya dengan Syair Cinta-nya Jalaluddin Rumi:

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Fiksiana Selengkapnya
Lihat Fiksiana Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun