Mohon tunggu...
Musfiq Fadhil
Musfiq Fadhil Mohon Tunggu... Tenaga Kesehatan - Abdul Hamma

Lulusan Ilmu Kesehatan Masyarakat - Keselamatan dan Kesehatan Kerja

Selanjutnya

Tutup

Puisi Pilihan

Puisi dari Sebiji Kuaci

19 September 2020   00:48 Diperbarui: 19 September 2020   01:04 498
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Gambar dari freepik/welcomia via popmama (edited)

Sejujurnya aku iri pada biji-biji kopi

kemarin kau menulis puisi tentang jiwa-jiwa kopi
hari ini kau menulis puisi tentang nafas-nafas kopi
Besok? Kaupun pasti akan menulis puisi yang tak jauh-jauh dari kopi
Apakah kau tak merasa bahwa puisi-puisi kopimu sudah basi?

Ada triliunan yang sudah menulis puisi tentang kopi
Apa kau tak merasa bahwa ada triliunan pula yang jenuh membaca puisi tentang kopi?
Ayolah kawan, bukalah kelopak matamu selebar 5 inchi
lihatlah aku, akupun bisa kau jadikan inspirasi

Kau tak percaya? ini aku beri contohnya

1

Sayang, tanamlah biji kuaci ini di dalam hati
Semai dan rawatlah ia hingga tumbuh menjadi matahari.
Gunakanlah sinarnya untuk menghangatkan ribuan bayi
benar, hangatkanlah bayi-bayi puisi yang tengah menggigil dalam sepi
niscaya tawa mereka mampu membuat layar di depanmu tak akan kosong lagi

2

Kamu tak ubahnya seperti biji-biji kuaci
kamu itu merepotkan sekali!
sekadar untuk melahap setitik tawa renyahmu saja
aku harus mati dulu saat menguliti hatimu yang penuh lara

kamu itu menyebalkan sekali!
sekadar untuk mengais reremahan laramu yang berserakan saja
aku harus mati dulu berebut dengan semut dan kecoa

kamu itu menjengkelkan sekali!
sudah aku coba untuk berhenti mencintaimu tiap hari
tapi candu tawa renyahmu tetap saja memaksaku untuk mati berkali-kali

3

Sebiji kuaci jatuh ke bumi tidak ada yang peduli
dua biji kuaci jatuh ke bumi tidak ada yang peduli
Seribu biji kuaci jatuh ke bumi tidak ada pula yang peduli
hingga ibu biji kuaci jatuh ke bumi tidak ada yang sempat peduli
mereka terlanjur mati hangus oleh amukan api

4

Sekawanan Gelatik Jawa itu dari tadi pagi terbang ke sana ke mari mencari rerimbunan padi.
hingga sore hari ini tak ada satupun sawah dapat mereka temukan.
Sepanjang mata memandang, sejauh sayap mengepak, hanya ditemukan hutan-hutan bangunan.
Tembolok mereka sudah kosong, perut mereka kelaparan, mereka hampir putus harapan
sampai pada sisa kepakan terakhir, sekawanan itu menemukan sepucuk bunga matahari di pojokan
sekawanan Gelatik Jawa itu menukik bersamaan, sepuluh biji kuaci yang tersisa jadi rebutan
tak ada yang mau mengalah, mereka saling menyepak, mereka saling mematuk, semula kawan jadi lawan
hingga matahari tenggelam, mereka akhirnya mati berguguran.

Bagaimana, Kawan? puisi tentang diriku tak kalah indah dibandingkan biji-biji kopi, bukan?
atau masih kurang? Gampang! nanti aku tambahkan lagi
Asal kau tak lagi menulis kopi dan beralih menulis tentang aku, sebiji kuaci!
Cekian, terimakaci.
Ttd: Sebiji Kuaci.

Emperan galaksi Bima Sakti, September 2020


Mohon tunggu...

Lihat Konten Puisi Selengkapnya
Lihat Puisi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun