Tahun 80-90an menonton televisi merupakan hiburan yang istimiwir sekali. Saat itu, harga sebuah pesawat televisi masih mahal. Di kampung, hanya keluarga tertentu saja yang bisa memiliki benda ini di ruang tengah rumahnya.
Setiap pagi dan sore, mulai dari anak-anak hingga emak-emak yang di rumah mereka tidak ada TV, berduyun ke rumah tetangga atau rumah Pak Lurah hanya untuk menonton acara televisi bersama-sama.
Meski stasiun TV belum sebanyak seperti masa sekarang, tetapi beragam acara sinetron, berita, kartun, hingga bulutangkis merupakan hiburan yang menyenangkan. Tak heran, jika demi menonton TV, banyak yang rela untuk nebeng nonton tv di rumah tetangga.
Terkadang, ada juga tetangga pelit yang tak bersedia oranglain menonton tv di dalam rumahnya. Anak-anak yang keluarganya tidak punya TV, terpaksa harus menonton dengan cara mengintip-intip dari jendela atau lubang-lubang kecil di luar rumah.
Sungguh masa-masa yang mengesankan!
Keistimiwiran televisi tak jarang membuat manusia-manusia pada masa itu mempunyai angan-angan dan cita-cita bisa masuk tv. Kalau ada tetangga yang bisa masuk tv entah karena tak sengaja tersorot kamera di belakang reporter yang sedang meliput berita, satu kampung bisa heboh gara-gara itu.
Emak! Lihat! Aku Masuk Tipi!
Artikelku Masuk "Tipi" di Ruang Kurasi Kompasiana
Jujur saja, sejak kecil saya bukan termasuk manusia yang punya mimpi masuk TV layaknya impian anak-anak seumuranku pada masa itu. Saya pikir, apa enaknya masuk tipi, wong gitu-gitu doang. Kok segitunya mereka girang pengen masuk tipi, aneh deh!.
Tapi diusiaku yang menginjak quarterlife ini, saya baru menyadari bahwa impian anak-anak pada masa itu bukanlah hal yang aneh, ternyata yang aneh itu saya. Hehe
Kesadaran bahwa impian masuk TV adalah keinginan anak-anak yang lumrah dan rasional adalah ketika mendapati sebuah artikel yang saya bikin, baru saja "masuk tipi". Â Rasanya, memang menggembirakan!