Mohon tunggu...
Mustiana
Mustiana Mohon Tunggu... Penerjemah - Penulis
Akun Diblokir

Akun ini diblokir karena melanggar Syarat dan Ketentuan Kompasiana.
Untuk informasi lebih lanjut Anda dapat menghubungi kami melalui fitur bantuan.

Penulis dan penyuka traveling

Selanjutnya

Tutup

Trip Pilihan

Yogyakarta yang Katanya Berbudaya

16 Juli 2019   05:57 Diperbarui: 16 Juli 2019   05:58 137
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Perjalanan ke Yogyakarta kali ini disponsorin pos tempat saya bekerja, jadi mau tak mau suka tak suka, harus ikut kemana pelayanan darinya. Sebelum berangkat sudah banyak terpikir kalau Yogya baru-baru ini banyak ditemukan surga tersembunyi, seperti Goa Pindul dan beragam pantai yang Indah. Tapi pas lihat agenda dan rundown, jeng jeng... langsung lemes karena enggak ada wisata alam sama sekali.

Maka dari awal sudah melancarkan strategi dan akal bulus supaya gimana caranya bisa mereguk keindahan alam Yogya, tapi akhirya enggak berhasil karena alasan jauh.

Saya akan cerita dua tempat yang saya kunjungin di sana bersama temen-temen. Pertama kita kunjungan ke Borobudur. Salah satu situs budaya Unesco ini sepi, dan saya senang bukan kepalang berarti foto saya enggak bakal banyak keganggu orang-orang lalu lalang. Saya sudah lama tidak ke situs ini, lagi ada pemugaran tampaknya. Dan, saya merasa dulu sewaktu saya pertama kali ke sini, tidak seramai sekarang ini. Dulu keberadaan Borobudur dalam ingatan saya seperti syahdu  di balik rindangnya pepohonan.

But see, sekarang everything has changed. Borobudur terbuka, di sekelilingnya menuju Borobudur sudah banyak pemahat yang sibuk menjajakan karyanya, jalanan ramai dan ugh, rasanya indahnya  memang tidak seperti dulu.

Di sana saya sibuk cari-cari mana angle menarik , dan hasil jeprat jepret saya, saya tunjukan ke teman dari media lain dan dia percayain saya jadi fotografernya. Kalau mau sombong meski saya tidak pake kamera dslr yang lensanya macem-macem, saya tetep bisa foto dengan amat  menarik dan indah. Saya Cuma rajin cari angle bagus, padahal cuma pake kamera poket. Mungkin karena sering latihan juga dan traveling hehe..

Dan memang Borobudur sedang dipugar, tidak banyak juga wisatawan asing di sini. Karena semua terburu-buru, jadilah kita gak bisa eksplor lama2 di Borobudur, padahal klo sampai sore mungkin bisa lihat sunset di sini katanya bagus  kan...

dokpri
dokpri
Pulang dari Borobudur, malamnya kita ke candi Prambanan, untuk nonton sendratari. Alunan musik khas Yogya menyambut malam yang hening itu. Dan ketika kami masuk arena VVI 2, wah! Bulan penuh sudah menyala, berdampingan dengan kokohnya candi Prambanan . Malam itu, sungguh khitmad dan rasa-rasa mistis gitu. Aneh.

Ternyata untuk dapat tempat strategis ini biayanya cukup mahal sampai ratusan ribu, glek! Untung saya dibayarin. Ini pertama kalinya saya nonton sendratari jadi lumayan excited. Trus tanya-tanya sama rekan yang tugas di Yogya, soal cerita yang dipentaskan dan saya bingung karena semua full bahasa Jawa. Saya pun minta supaya saya bisa dapat resensi pertunjukan apa yang akan diceritakan.

Dengan sigap dia langsung menyuruh bawahannya mencari resensi cerita sendratari, ga perlu lama 10 menit resensi sendratari sudah di tangan.

dokpri
dokpri
Ternyata kali ini sendratari berkisah tentang Rama dan Shinta dan bla.. bla hehehe... sendratari didukung oleh tata lampu yg apik dan pemain yang tak kalah bagus dengan pertunjukan dari luar negeri mungkin...,

Ada juga monitor yang menampilkan penjelasan babak demi babak dalam bahasa Inggris dan Indonesia. saya bergumam ternyata ini sudah dikelola secara professional. Bangga!

Saya terpukau dengan lantunan musik dan tarian lembut yang disajikan, lalu saya tengok sebelah... si ibu kabid sudah menguap, kekelahan dia rupanya. Lalu saya tengok sebelah kiri, hal serupa kembali terjadi. Rasanya semua kompak menguap.

Pikiran positif sih bilang mungkin mereka kelelahan, tapi pikiran' negatif masuk lalu berbisik, "gini nih org Indonesia ga ada apresiasi sama kesukaan sama budaya sendiri ,padahal pertunjukan sudah keren begini," saya saja yang lagi kebelet pengen ke toilet saya tahan-tahan karena gak mau melewatkan sedetikpun menjepret tanpa bliz dan menikmati babak demi babak.

Sampai sejam berlalu dan waktu istirahat tiba, heran juga ada waktu istirahatnya hahah ternyata pertunjukan akan dilanjutkan lagi, padahal sebelum istirahat lagi ada bakar-bakaran hanoman hahaha seru! apinya serius beneran, keren! 

Waktu istirahat dimanfaatkan buat buang air sekalian ada sesi foto-foto sama penarinya. Tapi penarinya kurang welcome gak kyak penari-penari Bali yang ketahuan klo mereka senang dengan pekerjaannya dan sambutan penonton.

Pimpinan  merengek pengen pulang karena dia mengaku ngantuk dan capek... ya kaliiii... saya cukup sebel karena tipe orang ini gak suka jalan dan lebih milih banyak di penginapan yang menyebabkan kita gak bisa kemana2 karena nurutin dia.. pihhhh

Ternyata dari sini kita gak langsung pulang, karena ada acara makan2 di Malioboro, beuh macet bray...mungkin saya enggak adil klo bandingin mailboro sekarang dengan zaman saya masih SMA, beda banget emang. Sekarang kayak pasar Blok M, mirip, serius! Meski banyak lesehan tapi ramenya ampun-ampunan.

Kami langsung menuju lesehan Terang Bulan yang rame banget tapi senengnya ternyata sudah di-reserve heheh aneh ya di lesehan bisa di-reserve. Makanan di sana emang gak ada duanya, klo boleh bawa ke mess saya bawa deh, karena burung daranya enak bgt. Garing gurih pokoknya sedap deh hehehe....

Di hari terakhir, rombongan kami singgah sebentar di Keraton Yogyakarta. Namanya juga kota budaya, jadi destinasinya ya harus budaya gitu, urusan sebenarnya tertarik atau gak ya urusan belakangan yang penting menunjukkan kan kalau kita pro budaya. (masih dendam semalem) 

Bener juga prediksi saya, masuk keraton, rombongan sudah mencar-mencar ada yang cuma duduk santai, ada yang beneran ikutin guide demi formalitas atau memang ingin tahu. 

Kalau saya jangan ditanya, tentu membututi abdi dalam keraton meski kadang gak fokus karena suka lama atau sangat sebentar memandangi jejeran benda yang dipamerkan.

Meski begitu, setiap  kali saya ke sana saya hampir selalu dibuat merinding memandangi lukisan pada Sultan plus istrinya. Ada daya magis yang memikat sekaligus menyeramkan. Makanya saya sadari, dulu saya berjalan-jalan di sini tanpa abdi dalam adalah sesuatu yang salah, karena memang ada yang seharusnya boleh dan tidak boleh dipandangi terlalu lama. hiiiii

Okeh, dari keraton, sebelum pulang kita mampir makan di The House of Raminten, sebuah restoran yang kental dengan nuansa budaya karena pelayanannya pakai kemben.

 Namun yang bikin saya ilfeel makan di sini, sebab ada pelayan yang abis kerokan melayani saya. Hingga terpampanglah itu tato bergaris-garis dengan nyata.

ilfeel saya makin lengkap karna si mba ini bersendawa tak karuan karena masuk angin. Aduh.... mau nangis ga lu. Makanan yang kelihatan enak pun jadi bener-bener hambar plus harga yang dibanderol mahal, untung saya dibayarin.

 Melihat itu semua kita jadi tahu, Yogya memang mempertahankan identitas dirinya sebagai Kota Budaya. Terlepas dari suka, tidak suka atau menarik, tidak menarik yang penting datang ke Yogya itu adalah bentuk dukungan terhadap kebudayaan yak.


HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Trip Selengkapnya
Lihat Trip Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun