Di era digital seperti sekarang, media sosial menjadi bagian tak terpisahkan dari kehidupan kita sehari-hari. Dari mulai berbagi cerita, menghubungkan teman lama, sampai mencari hiburan, semuanya bisa kita temukan hanya dengan beberapa ketukan jari. Namun, di balik kemudahan dan keindahan itu, ada fenomena sosial yang mulai menggelisahkan: tumbuhnya tren-tren menyimpang yang menyebar dengan cepat dan diam-diam.
Media Sosial: Ladang Subur Tren Menyimpang, tapi Juga Alat Pengawasan
Awalnya, media sosial dirancang sebagai tempat untuk saling terhubung dan berbagi informasi positif. Tapi kini, platform ini juga menjadi ladang subur bagi berbagai tren yang tidak sehat. Tren-tren ini sering kali tersembunyi di balik layar, muncul dalam bentuk konten-konten yang memicu kontroversi, menyimpang dari norma sosial, atau bahkan berbahaya.
Data dari We Are Social dan Kepios (2024) menunjukkan bahwa pengguna aktif media sosial di Indonesia mencapai 139 juta orang, dengan waktu rata-rata penggunaan lebih dari 3 jam per hari. Ini menjadikan Indonesia sebagai salah satu negara dengan intensitas media sosial tertinggi di dunia.
Fenomena ini semakin diperparah oleh algoritma media sosial yang bekerja dengan prinsip sederhana: semakin banyak interaksi, semakin luas jangkauan. Interaksi yang dimaksud tidak hanya komentar serius, tapi juga tawa, emoji, dan repost yang sering tanpa disadari. Akibatnya, konten-konten menyimpang yang seharusnya mendapat kecaman justru mendapatkan tempat yang lebih besar di ruang digital.
Namun, algoritma ini juga bisa menjadi alat bagi masyarakat dan pihak berwajib untuk mengangkat isu-isu penting. Ketika sebuah berita atau fenomena negatif menjadi viral, perhatian publik yang besar seringkali memaksa pihak terkait, seperti penegak hukum atau regulator, untuk mengambil tindakan tegas. Dengan kata lain, media sosial bisa menjadi dua sisi mata uang: ladang tumbuhnya tren negatif sekaligus sarana pengawasan dan pengendalian sosial yang efektif.
Ketika Literasi Digital Jadi Garis Pemisah
Kenapa tren-tren ini bisa tumbuh begitu cepat? Salah satu jawabannya adalah minimnya literasi digital di kalangan pengguna. Literasi digital bukan hanya soal tahu cara menggunakan aplikasi, tapi juga kemampuan memahami dan memilah konten yang diterima. Banyak orang masih mudah terjebak dalam konten yang provokatif atau manipulatif.
Berdasarkan hasil Survei Indeks Literasi Digital Nasional 2023 yang dirilis oleh Kominfo dan Katadata Insight Center, tingkat literasi digital masyarakat Indonesia berada pada skor 3,65 dari skala 5, dengan kategori "sedang". Namun, subindeks etika digital dan kecakapan digital masih menjadi PR besar, terutama di kalangan usia muda.
Selain itu, rasa keterasingan di dunia nyata juga jadi faktor penting. Media sosial sering menjadi pelarian bagi mereka yang merasa kurang diterima di lingkungan sekitar. Di dunia maya, mereka mencari "rumah" baru, meski rumah itu berdiri di atas nilai yang menyimpang. Hal ini membuat tren-tren negatif tidak hanya bertahan, tapi juga berkembang menjadi ekosistem yang saling mendukung.