Beberapa waktu yang lalu, Penulis mendengar cerita dari seorang rekan yang bekerja di sebuah perusahaan, masih satu grup dengan tempat penulis bekerja. Di sana, ada struktur organisasi yang cukup unik: satu staf administrasi yang memiliki beberapa supervisor sekaligus.
Sekilas, ini terlihat efisien. Semua supervisor bisa mengandalkan satu admin untuk membantu berbagai urusan administrasi. Tapi seperti banyak hal lain dalam dunia kerja, praktiknya tidak sesederhana teorinya.
Suatu hari, supervisor A meminta laporan yang harus selesai hari itu juga. Di saat bersamaan, supervisor B mengirimkan dokumen yang juga harus segera ditindaklanjuti. Siapa yang harus didahulukan?. Belum lagi ketika setiap atasan punya standar kerja dan 'kepentingan' yang berbeda.
Di sinilah sang admin kerap terjebak dalam kebingungan---bukan karena tidak mampu, tapi karena harus berjalan di dua (atau lebih) jalur yang kadang saling bersilang.
Dalam struktur organisasi modern, terutama yang menerapkan sistem matriks atau kolaborasi lintas tim, fenomena "dual reporting line" makin sering terjadi. Di atas kertas, ini mungkin terdengar ideal: kita bisa belajar dari dua sosok senior sekaligus. Tapi di lapangan, lain cerita.
Saat dua atasan punya ekspektasi berbeda terhadap output kerja kita, rasa-rasanya seperti ditarik ke dua arah tanpa kompas. Hari ini disuruh fokus ke proyek A, besok ditegur karena proyek B belum selesai. Kita terjepit di antara dua suara yang sama kuatnya.
Kepada Siapa Kita Harus Loyal?
Masalah jadi makin pelik ketika dua atasan itu berada di level yang setara. Tidak ada garis hierarki yang jelas. Dan jika keduanya punya gaya kepemimpinan yang bertolak belakang, kepentingan yang berbeda, situasinya bisa menjadi tidak kondusif.
Dalam psikologi kerja, ini disebut sebagai role conflict --- saat seseorang menghadapi dua tuntutan peran yang saling bertentangan. Menurut Kahn et al. (1964), konflik semacam ini bisa memicu stres, kecemasan, bahkan kelelahan emosional. Kita merasa terbelah, tapi harus tetap terlihat utuh.
Akhirnya, banyak dari kita terjebak dalam sikap pura-pura netral. Padahal, diam pun bisa ditafsirkan sebagai keberpihakan. Sedikit saja kita terlihat lebih responsif pada satu pihak, pihak lain bisa merasa terabaikan. Di sinilah dilema etik muncul---bukan soal siapa yang benar atau salah, tapi bagaimana tetap profesional tanpa kehilangan arah.
Bertahan di Tengah Tarik Menarik
Apa yang bisa kita lakukan saat tersudut di antara dua atasan?