"Masjid bukan hanya tempat bersujud, tapi juga cermin keimanan, kebersamaan, dan perhatian umat pada rumah Tuhan."
Pernahkah kita berpikir, bahwa sebuah bangunan bisa berbicara? Ia tak bersuara, tapi setiap detailnya menyampaikan pesan. Tentang kepedulian, tentang keteraturan, dan tentang siapa kita sebagai umat yang merawatnya.
Beberapa waktu lalu, kami mengunjungi saudara di sebuah dusun di salah satu kabupaten di Yogyakarta. Saat waktu Maghrib tiba, kami mampir ke sebuah masjid kecil di kampung itu. Hari mulai gelap ketika kami sampai. Adzan telah berkumandang, tapi hanya satu lampu yang menyala di ruang utama.
Saya mencoba menyalakan beberapa saklar lain. Hasilnya? Tetap gelap. Di serambi masjid pun sama—remang, seakan pencahayaan bukan hal penting di sana.
Shalat Maghrib berjamaah dilaksanakan dengan khusyuk. Sekilas saya menghitung, terdapat sekitar 20 orang yang memenuhi beberapa shaf. Untuk ukuran dusun, ini jumlah yang cukup banyak.
Selesai shalat, saya mendapati serambi masjid digunakan oleh jamaah putri. Tetap dalam pencahayaan yang minim.
Saudara saya terlihat kebingungan mencari sandalnya di antara barisan sandal yang nyaris tak terlihat jelas. Akhirnya ia menemukannya juga—setelah beberapa saat mengira-ngira dalam gelap.
Lantas, apakah ini berarti pengelolaan masjid di dusun itu buruk?
Masjid Agung
Siangnya, kami singgah di Masjid Agung di sebuah kota untuk beristirahat sekaligus menunaikan shalat Dzuhur. Masjid ini luas, megah, dengan halaman rindang dan area parkir yang ramai. Sekilas, tampak seperti tempat ideal untuk singgah dan beribadah.
Namun, kesan itu luntur ketika kami memasuki area wudhu pria. Lumut menyebar di beberapa sudut, banyak keramik telah berubah warna, dan dari lima toilet yang ada, satu bahkan ditandai dengan kursi sebagai penanda “jangan digunakan.”