Mohon tunggu...
Ibnu Abdillah
Ibnu Abdillah Mohon Tunggu... Wiraswasta - ... kau tak mampu mempertahankan usiamu, kecuali amal, karya dan tulisanmu!

| pengangguran, yang sesekali nyambi kuli besi tua |

Selanjutnya

Tutup

Bola Artikel Utama

Moncer di Level Junior Redup di Senior, Tipikal Khas Talenta Muda Indonesia?

30 November 2019   21:47 Diperbarui: 2 Desember 2019   11:58 1539
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Media PSSI via Superball

Timnas Sepak bola U-22 Indonesia mengawali perhelatan Sea Games ke-30 yang diselenggarakan di Filipina dengan mantap. Pasukan Garuda Muda berhasil menghajar tim kuat Thailand dengan skor meyakinkan.

Setelah berhasil melibas Timnas Thailand yang kerap menjadi momok bagi negara-negara Asia Tenggara, Egy Maulana dkk. juga berhasil mencukur Timnas Singapura yang sebelumnya melakukan psywar menakutkan, tapi akhirnya mampu dipermalukan.

Kita semua berharap trend positif itu berlanjut saat Timnas yang ditukangi oleh Indra Sjafri itu bisa mengalahkan Vietnam pada laga ketiga Grup B yang akan berlangsung besok, minggu 01/12/2019.

Kemenangan tiga kali berturut-turut tentu saja akan menjadi modal yang baik untuk berlaga di babak selanjutnya, lolos ke semi-final, lalu ke final, dan akhirnya juara. Tangan dingin Indra Sjafri yang pernah berjaya dengan talenta-talenta muda semoga membawa tuah yang mampu menghilangkan dahaga bangsa kita akan manisnya juara.

Para pecinta sepak bola kita haus akan kemenangan, haus akan juara. Syukur-syukur ditopang dengan gaya permainan yang atraktif. Menarik, dan menghibur.

Kita pernah mengalaminya, beberapa tahun yang lalu ketika Timnas U-19 kita berhasil menjadi juara AFF 2013 setelah mengalahkan Vietnam melalui adu pinalti. Sejak saat itu, seperti ada cahaya terang bagi Timnas Senior kita, bahwa merekalah yang akan menjadi punggawa-punggawa hebat yang akan membesarkan nama Indonesia.

Timnas U-19 yang juga berhasil menghajar Korea Selatan dengan skor 3-2 itu memang dihuni oleh talenta muda berbakat yang luar biasa. Tak hanya skill yang mumpuni, tapi juga ketahanan mental serta fisik yang kuat.

Maka tak heran ketika nama-nama seperti Evan Dimas, Maldini Pali, Paulo Sitanggang, Ilhamuddin Armayn, Dimas Drajad, Dinan Javier, Zulfiandi, Hansamu, I Putu Gede, Ravi Murdianto, dan lainnya seperti membawa angin segar perubahan untuk Timnas di masa yang akan datang.

Namun ada permasalahan klasik yang sepertinya menjadi ciri khas Timnas kita, yaitu "hilangnya" kegarangan para talenta muda ketika menjadi bagian dari Timnas senior atau jika tidak demikian, permainan mereka menurun serta ketahanan fisik yang tak lagi bisa diajak perang jor-joran. Sebagian dari mereka, bahkan semakin melemah dan tak dilirik oleh pelatih Timnas senior atau bahkan klub-klub di Liga 1.

Seleksi alam. Cukup masuk akal karena dalam sebuah pertandingan, yang akan dibawa untuk berperang adalah orang-orang hebat dan pilihan.

Namun, kita dihadapkan pada permasalahan lain, bahwa Timnas Senior kita tak ubahnya sosok orang tua yang dengan mudahnya dipermainkan seperti kucing-kucingan pada babak kedua. Hal semacam ini selalu terjadi. Di babak kedua, para pemain Timnas Senior kita kerap dijadikan bulanan-bulanan oleh pemain lawan.

Semakin tua, kemampuan dan kekuatan tentu akan menurun, tapi tidak dalam waktu yang cepat. Tidak drastis seperti kebanyakan talenta muda kita. Kalau dihitung-hitunga, dari U-19 hingga usia 25 tahun, sepertinya tak terlalu drastis mengalami penurunan kecuali sudah berusia 30 tahun ke atas.

Evan Dimas, Hansamu, atau Zulfiandi yang akhirnya bertahan masuk dalam skuad Timnas Senior tampak ikut melemah seperti pemain lainnya. Ngos-ngosan di babak kedua, konsentrasi buyar, lawan menguasai permainan, biasanya diakhiri dengan kekalahan.

Itu seperti menjadi rumus umum Timnas Senior kita. Jago di awal-awal permainan, di babak pertama, lalu seperti kehabisan tenaga di menit-menit yang paling menentukan.

Bahkan manusia yang paling tidak tahu sepak bola pun akan melihat bagaimana kelemahan itu terletak pada kekuatan fisik yang akhirnya berdampak pada kacaunya permainan, mental cenderung lebih emosional. Operan bola tidak akurat, tidak mengenai sasaran, memanfaatkan operan lambung yang mudah dipatahkan. Intinya, benar-benar tak menarik untuk disaksikan.

Karena itulah Timnas selalu kalah. Tak memuaskan. Tampil mengecewakan. Bukan kita tak cinta Timnas, tapi mungkin sebagian orang sudah bisa menebak jalan akhir pertandingan.

Daripada olah raga jantung atau misuh-misuh tak karuan, sebagian penonton lebih memilih meninggalkan tayangan. Semakin menyesakkan ketika Timnas kalah dengan Malaysia, musuh bebuyutan yang pada pertandingan terakhir kemarin mampu memecundangi Timnas kita dengan skor 2-0. 

Anehnya, seperti De Javu pada beberapa tahun silam, tepatnya tahun 2010 dan di stadion yang sama, ketika Yanto Basna persis melakukan kesalahan yang dilakukan oleh Maman Abdurrahman dan akhirnya berbuah goal menyakitkan.

Saya, dan mungkin pembaca sekalian, pernah tergila-gila pada satu masa dimana Timnas dihuni oleh para pemain yang meyakinkan, yaitu pada tahun 2010 lalu ketika Timnas kita hampir juara namun akhirnya dibuat keok oleh Malaysia. Sepanjang sejarah pertandingan Timnas hingga sekarang, saya belum pernah merasakan semenarik, sekaligus semenyakitkan, seperti helatan Piala AFF 2010.

Melalui tayangan heboh di telivisi dengan liputan-liputan yang memabukkan, ketika itu, semua mata tak bisa berpaling dari Timnas yang dihuni oleh pemain-pemain bagus seperti Firman Utina, Ahmad Bustomi, Hamka Hamzah, Bambang Pamungkas, Markus, dan tentu saja pemain yang saat itu sedang dielu-elukan dan membawa harapan besar, Cristian Gonzales dan Irfan Bachdim.

Diawali dengan membantai Malaysia dengan skor 5-1, lalu Laos dihajar dengan skor 6-0, kemudian Thailand dicukur dengan skor tipis 2-1. Filipina juga mampu diselesaikan meski dengan skor tipis 1-0, baik tandang maupun kandang.

Masalahnya, Malaysia yang dibikin babak belur pada babak penyisihan mampu membalikkan keadaan, justru di babak final. Menyesakkan, Indonesia tak jadi juara. Semakin menyedihkan ketika yang mengalahkannya adalah Malaysia. Lagi-lagi Malaysia!

Setelah periode dramatis itu, Timnas Indonesia seringnya bikin sebel. Banyakan ngeselinnya ketimbang nyenenginnya, begitulah kira-kira. Memang begitulah realitasnya. 

Lalu, kemanakah mereka, para talenta muda, yang dulunya pernah berjaya dan meletakkan satu harapan besar soal kebangkitan Timnas Indonesia? Kenapa pula mereka yang kemudian diberi kesempatan mencicipi Timnas Senior justru terlihat melempem?

Kenapa pola dan kebiasaan seperti ini seolah menjadi "takdir" sejarah karena para pemain bagus tiba-tiba seperti "apes" saat sedang berbaju Timnas Senior? Kenapa bisa terjadi?

Apakah karena faktor personal dari pemainnya? Apakah karena PSSI atau semua stakeholder dalam dunia sepak bola kita yang kurang peduli? Atau, apakah karena terjadi penurun gizi?

Mungkinkah juga karena faktor berubahnya pola kebiasaan serta semakin longgarnya komitmen untuk berprestasi? Barangkali salah memilih pemain sehingga tidak padu dengan tenaga yang masih muda dan baru?

Lalu, sampai kapan akan selalu seperti ini? Pemain-pemain seperti Greg, Beto, Lilipaly, atau mungkin saja Irfan Bachdim bisa dianggap wajar kalau ngos-ngosan jika dilihat dari faktor usia yang tak lagi muda.

Tapi Zulfiandi, Hansamu, Evan Dimas, dan lainnya yang baru kemarin sangat ganas mestinya masih trengginas saat tampil di Timnas Senior, secara usia mereka masih sekitar 24 tahunan. Usia yang mestinya tidak pantas untuk loyo secara fisik dan mental.

Jangan-jangan pola seperti ini juga akan berlaku pada pemain muda bertalenta lainnya yang saat ini memberikan harapan baru terhadap kebangkitan Timnas Senior kita seperti Bagas, Witan, Egy Maulana, Rafli, Sadil Ramdani, Asnawi, Firza, Osvaldo. Jangan. Plis, jangan. Bangsa ini membutuhkan kebangkitan. Jangan melemah saat menjadi bagian dari Timnas Senior. 

Salam,

Mustafa Afif. Kuli Besi Tua.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Bola Selengkapnya
Lihat Bola Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun