Mohon tunggu...
Ibnu Abdillah
Ibnu Abdillah Mohon Tunggu... Wiraswasta - ... kau tak mampu mempertahankan usiamu, kecuali amal, karya dan tulisanmu!

| pengangguran, yang sesekali nyambi kuli besi tua |

Selanjutnya

Tutup

Bola Artikel Utama

Serie A Butuh Investor "Ngeri" dan Perubahan Total

14 November 2019   11:29 Diperbarui: 17 November 2019   11:43 566
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
gambar: Begoon (Wikipedia)

Judul di atas, jelas cuma bercanda, pada satu sisi, karena jujur harus kita akui, bahwa kembalinya RCTI menayangkan Liga kasta tertinggi di Italia itu menjadi semacam pengulangan atas romantisme sejarah masa lalu dimana Seria A menjadi Liga paling top dunia, paling menarik dan menghibur, paling diminati, serta setiap pertandingannya selalu dinanti.

Bagi sebagian orang, terutama generasi tahun 90-an, mereka mengenal kompetisi sepak bola pertama kali mungkin dari Seria A Italia.

Maka tidak aneh ketika secara resmi RCTI kembali menayangkan Serie A setelah "pisah" selama 17 tahun, timeline medsos ikut ramai. Terutama datang dari fans klub-klub Italia, yang biasanya "paham sejarah", bukan seperti "fans milenial" Barcelona atau Manchester City yang disukai ketika "sudah jadi".

Di Twitter, obrolan tentang Seria A dan RCTI ini bahkan menjadi trending topic dengan beberapa hastag seperti #RCTISerieARujuk, #SerieAdiRCTI, #WelcomeBackSerieA.

Isinya rata-rata berupa apresiasi, rasa terima kasih, termasuk juga kalimat reflektif masa lalu bagaimana Serie A masih menjadi idola dan liga terbaik dunia. Tentu saja dengan meme dan kalimat lucu-lucuan yang menjadi ciri khas netizen.

Namun, terlebih penting dari isu soal penayangan kembali Serie A oleh RCTI adalah sebuah keniscayaan, bahwa Serie A membutuhkan para "investor ngeri" alias investor yang jor-joran menggelontorkan uangnya untuk membenahi sebuah klub. Investor yang tak kepalang tanggung untuk memperbaiki dan memajukan klub sehingga berefek pada semakin sengitnya kompetisi.

Sebab, seperti kita tahu, bahwa Serie A selama beberapa tahun ini, terutama sejak kasus pengaturan skor (calciopoli), tak lagi menjadi kompetisi yang menarik. Derajatnya turun drastis dibandingkan dengan Liga Spanyol, Liga Jerman, lebih-lebih Liga Inggris. Kompetisi sepak bola di Italia seperti lesu, tak bergairah.

Semakin menjenuhkan ketika Juventus yang kembali ke Serie A setelah didenda turun kasta dan gelarnya dicabut, kembali menjadi perkasa. Sejak 2011 hingga sekarang, Juventus konsisten menjadi penguasa.

Artinya, Juventus menjadi juara Serie A selama delapan musim berturut-turut dan masih berpotensi untuk menjadi juara di musim ini. Semakin menegaskan betapa menjenuhkannya Serie A ini.

Bahkan, ada candaan, bahwa setiap musim baru dimulai, juara Serie A sudah bisa ditebak dan ditentukan. Si Nyonya Tua seperti menjadi tim yang auto-juara. Mungkin juga bosan selalu juara, berturut-turut. Para fans-nya juga tak terlalu gembira karena titel juara Serie A sudah bosan dan dianggap biasa saja.

Terlebih klub-klub besar lainnya berubah menjadi tim gurem yang tak jelas nasib dan permainannya. AC Milan, misalnya, yang punya sejarah bagus baik di domestik maupun Eropa, berubah menjadi tim kacangan. Menjadi klub yang hidup segan mati tak mau.

Atau tim lainnya, Tim Ibu Kota, AS Roma,meski tak terlalu buruk, tapi jelas belum mampu menyaingi kegarangan Juventus.

Lalu ada Napoli yang cukup diperhitungkan. Tapi sampai saat ini belum mampu merebut titel Juara Serie A dari tangan Juventus.

Pun demikian dengan Inter Milan yang sempat 'oleng' sebelum akhirnya merekrut beberapa pemain yang memberikan kontribusi signifikan terhadap tim. Meski, sejauh ini, cukup 'mengusik' digdaya I Bianconeri.

Artinya, secara praktis, jika tak ada perubahan signifikan, Serie A akan tetap begitu-begitu saja. Juaranya itu-itu saja.

Maka, mungkin benar juga teori yang mengatakan, bahwa Serie A sebenarnya tak butuh apa-apa. Ia hanya butuh investor ngeri yang bisa sedemikian tega membelanjakan uangnya untuk memajukan klub.

Sebagai contoh, Manchester City berhasil menjelma klub raksasa pasca-dimodali oleh miliarder asal Timur Tengah. Dan benar-benar menjadi "tetangga yang paling berisik" untuk Manchester United.

PSG pun juga begitu, menjadi tak terbendung ketika dipegang oleh Syeikh milioner dari Timur Tengah juga, meski pada akhirnya Liga Prancis bernasib sama dengan Serie A karena penguasanya itu-itu saja.

PSG itu, ya, seperti klub yang auto-juara. Tiap pergantian musim di Prancis, juara Ligue 1 sudah bisa ditebak dan dipastikan. Setidaknya sampai sejauh ini.

Maka, perubahan radikal sepak bola Italia barangkali memang terletak pada sejauh mana ia mampu memikat para investor yang "mengerikan" itu untuk menanamkan saham dan menggelontorkan "duit tak berserinya".

Inter Milan adalah contohnya. Meski beberapa pemain hanya pinjaman dan tak terlampau gila-gilaan mengeluarkan uang, tapi kedatangan pemain-pemain seperti Lukaku, Alexis, Godin, mampu memberikan perubahan signifikan. Setidaknya untuk merecoki perjalanan Juventus yang selama beberapa tahun ini hampir selalu mulus.

Saat ini, dunia sepak bola telah begitu dalam masuk pada ruang industri sehingga tak hanya to entertain an sich, tapi sepak bola telah menjelma menjadi pasar bisnis yang menggiurkan.

Kita bisa berdebat soal ini hingga panjang lebar, tapi satu hal yang pasti, bahwa sebuah klub akan besar jika mendatangkan pemain-pemain besar dan itu hanya bisa dilakukan ketika memiliki kemampuan finansial.

Juventus, kini mulai dikuntiti oleh Inter Milan yang hanya berselisih satu poin saja. Lazio ada di bawahnya, meski dengan selisih poin yang cukup jauh.

Sedangkan Cagliari dan Atalanta, sementara, menjelma menjadi tim yang ikut meramaikan persaingan, mengalahkan Roma, Napoli, dan tim hebat bersejarah yang "turun kasta" menjadi tim gurem bernama AC Milan.

Finansial memang bukan satu-satunya alasan, tetapi Si Nyonya Tua tampak terlalu "kalap" berbelanja pemain-pemain hebat meski pemain-pemain yang diangkut adalah pemain-pemain udzur. Jomplang sekali. Coba saja disejajarkan antara pemain Juventus dengan pemain tim lainnya, terasa sekali perbedaan "isinya".

Finansial untuk mendatangkan pemain-pemain hebat, tentu bukan jaminan. Ada banyak variabel lain yang memiliki peran. Banyak tim yang dihuni pemain-pemain hebat, tapi melempem.

Hanya saja, Madrid, Barcelona, Atletico, Juventus, Liverpool, City, Munchen, dan tim-tim besar lain itu berhasil menciptakan sejarah bukan dengan pemain-pemain biasa.

Lalu, kita berharap ada geliat Serie A kembali, di mana persaingan antara Juventus, AC Milan, Inter Milan, Roma, Napoli, Lazio, Parma, Fiorentina kembali "normal".

Inter Milan sudah memulai itu, kita berharap AC Milan juga sehat kembali, Roma juga akan bangkit, dan tim lainnya juga semakin menarik sehingga kompetisi akan semakin asik karena persaingan yang mendebarkan, bukan selisih poin yang jomplang, berjauhan.

Semua itu bisa diraih, salah satunya, dengan berdatangannya investor-investor "mengerikan" yang bisa memoles, merubah klub, dan mampu memberikan jawaban atas kegelisahan banyak manusia tentang "sepinya" Serie A.

Kasihan AC Milan yang ngap-ngapan dengan sejarahnya. Begitu juga Roma, Lazio, dan Parma.

Salam

Mustafa Afif
Kuli Besi Tua

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Bola Selengkapnya
Lihat Bola Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun