Mohon tunggu...
Ibnu Abdillah
Ibnu Abdillah Mohon Tunggu... Wiraswasta - ... kau tak mampu mempertahankan usiamu, kecuali amal, karya dan tulisanmu!

| pengangguran, yang sesekali nyambi kuli besi tua |

Selanjutnya

Tutup

Nature Pilihan

Jakarta: Polusi, Listrik, dan Munculnya Dugaan-dugaan

7 Agustus 2019   17:16 Diperbarui: 7 Agustus 2019   17:24 333
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
megapolitan.kompas.com

Beberapa pekan terakhir, Jakarta menjadi pusat perbincangan ketika berdasarkan data dari AirVisual, udara di Jakarta berada di urutan teratas sebagai kota paling berpolusi di Indonesia, bahkan di dunia. Tentu saja pergerakan ranking dari AirVisual dinamis, naik-turun berdasarkan kondisi udara yang berubah-ubah. Kita bisa memantaunya secara langsung melalui laman website yang disediakan, dari waktu ke waktu secara real-time. Tapi secara umum, kita mungkin sepakat bahwa udara di Jakarta tidak sehat.

Anies Baswedan, Gubernur DKI Jakarta, menduga tingkat polusi di Jakarta disumbang oleh tingginya arus transportasi, terutama ketika di malam hari menjadi "jam operasi" bagi kendaraan-kendaraan bertonase tinggi. Sementara menurut Ahmad Yani, Direktur Angkutan Jalan dan Multimoda Kemenhub, mengatakan bahwa pencemaran udara disumbang sekitar 80% dari transportasi dengan sepeda motor menjadi penyumbang terbanyak, yaitu sekitar 75%.

Tapi intinya, banyak yang meradang dan protes atas ketidak-nyamanan itu. Bahkan Gerakan Ibu Kota menyampaikan notifikasi citizen law suit (CLS) yang menggugat tujuh pihak, termasuk Presiden dan Gubernur DKI Jakarta.

Anies Baswedan kemudian mengeluarkan tujuh jurus berbentuk Ingub Nomor 66 Tahun 2019 tentang Pengendalian Kualitas Udara. Di antara yang terpenting adalah soal pengendalian sumber polusi melalui pembatasan usia kendaraan umum, uji emisi, perluasan ganjil genap, penaikan tarif parkir, congestion pricing, optimalisasi penghijauan, regulasi terhadap pabrik, dan tentu saja perlunya dukungan semua pihak untuk beralih menggunakan moda transportasi umum. Motor yang awalnya akan diberlakukan ganjil-genap, ternyata dicukupkan dengan "kanalisasi" alias akan ada jalur khusus.

Presiden Jokowi memberikan sumbangan pemikiran terkait polusi udara di Jakarta. Dalam sebuah kesempatan, Presiden meminta untuk mulai memikirkan soal penggunaan mobil listrik, terutama bagi transportasi umum. Bahkan dalam waktu dekat, Presiden akan menandatangani Perpres yang mengatur soal mobil listrik. Setali tiga uang, Wapres Jusuf Kalla juga menekankan, bahwa mobil listrik adalah solusi bagi polusi di Jakarta.

Masalahnya, beberapa hari terakhir Jakarta kembali serasa "kiamat" saat listrik mati berjam-jam. Jakarta dan sekitarnya, beberapa wilayah di Jawa Tengah seperti kota mati. Lumpuh. Terkhusus Homo Jakartanicus (istilah yang dipakai oleh Yohanes Baptista dalam salah satu tulisannya di Mojok.co), mereka seperti mengalami penderitaan tiada tara. Sesuatu yang mestiya hanya dialami oleh manusia-manusia di kampung dan pelosok sana, pada satu sisi, tapi pada sisi yang lain, mereka seakan bahagia.

Kondisi gelap Jakarta viral di mana-mana, perekonomian terganggu, jaringan dan komunikasi kacau. Soal betapa nestapanya tidak memegang uang cash saat mati lampu, soal betapa nestapanya mobil mau dicuci dan sudah diangkat tapi kemudian lampu mati, soal transaksi yang tiba-tiba berhenti, termasuk soal berhentinya secara dadakan alat-alat yang bergantung pada listrik dan itu cukup membuat blingsatan. Homo Jakartanicus sedang bersedih, tapi melalui medsos, mereka seperti sedang merayakannya bersama-sama.

Atas "tragedi" itu, kegaduhan kembali tercipta. Apalagi baru pertama kali terjadi blackout di sebuah masa dimana bangsa ini dipenuhi anak-anak milenial. Medsos menjadi tempat dan ajang adu vokal. 

Seperti biasa, semua orang tiba-tiba menjadi ahli perlistrikan, sebab pada satu sisi, pihak yang seharusnya menjelaskan tak berhasil memberikan jawaban. Sementara pihak PLN belum bisa memastikan. Konon memerlukan waktu 1 - 3 bulan untuk melakukan investigasi dan menemukan jawaban, waktu yang sebenarnya agak terlalu lama, meski pihak PLN menyiapkan kompensasi bagi yang dirugikan.

Presiden melakukan kunjungan ke PLN untuk mempertanyakan, memastikan, bahkan menegur secara langsung atas lambatnya pemulihan, meski waktu itu, belum jelas juga apa yang menjadi solusi. Singkat, Presiden hanya menginginkan semuanya selesai! Sementara dari pihak Kementerian BUMN, belum juga ada penjelesan. Mungkin kita perlu menunggu ibadah haji selesai dilaksanakan.

Pada kondisi semacam itu, muncul analisa bahwa salah satu penyebabnya adalah pohon sengon. Terdengar agak rancu, tapi kita harus menerima segala kemungkinan, termasuk ketika sengon menjadi salah satu tertuduh yang layak disalahkan.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Nature Selengkapnya
Lihat Nature Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun