Mohon tunggu...
Mustafa Layong
Mustafa Layong Mohon Tunggu... Pengacara - Penggiat Pers

Penggiat Pers dan Hak Ketenagakerjaan

Selanjutnya

Tutup

Hukum Pilihan

Menggugat Berita atau Hak Jawab?

3 Agustus 2022   16:02 Diperbarui: 3 Agustus 2022   16:06 188
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Hukum. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Saat berita diterbitkan tanpa konfirmasi dari mereka, maka media dengan mudahnya digugat dengan dalih tak berimbang. Cara seperti ini tidak benar, dan berpotensi menjadi praktik sensorship terhadap pers dan kepentingan publik.

Maka pada isu yang mengandung kepentingan publik, unsur cover both sides dianggap tetap terpenuhi, selama sudah dilakukan upaya konfirmasi namun tidak diketahui keberadaannya atau tidak dapat diwawancarai;

 sementara sumber berita yang pertama adalah sumber yang jelas disebutkan identitasnya, kredibel dan kompeten; serta sudah memberi penjelasan adanya upaya konfirmasi pada berita yang sama dan perlunya melakukan verifikasi pada kesempatan berikutnya (Angka 2 Pedoman Pemberitaan Media Siber).

Di sisi lain masyarakat yang merasa dirugikan pada satu berita mestinya menggunakan haknya untuk mengajukan jawaban. UU No. 40/1999 Tentang Pers mewajibkan media untuk melayani hak jawab. 

Bahkan ada sanksi pidana denda untuk media yang mengabaikan kewajiban melayani hak jawab itu. Sayangnya tidak pernah ada upaya ini pada kasus gugatan enam media di Makassar.

Penyelesaian Sengketa Pemberitaan oleh Dewan Pers 

Pers mendapat tempat tersendiri sebagai kontrol sosial dan alat revolusi pada mula-mula kekuasaan Orba. Ditandai dengan terbitnya UU 11/1966 tentang Ketentuan- Ketentuan Pokok Pers. Kala itu, pers tidak dikenakan sensor dan pembredelan, meski pemerintah memiliki alat kontrol melalui Menteri Penerangan .

Akan tetapi semakin bertambahnya usia kekuasaan, cengkeraman Orba kian kuat ke hampir semua lini kehidupan bangsa, termasuk pers. Pers makin dikekang melalui terbitnya tambahan dan perubahan terhadap UU Pokok Pers pada tahun 1967 dan 1982. Dalam ketentuan baru itu Pers nasional harus memiliki Izin terbit atau yang kenal dengan Surat Izin Usaha Penerbitan Pers (SIUPP).

Karena sulitnya perusahaan pers kala itu, sehingga selama Orba, hanya sekitar 321 lembar SIUPP yang diterbitkan pemerintah (Jaring Represi Terhadap Media, Rekam Kasus Tempo Vs Tomy Winata, 2005) . 

Itu pun jumlahnya tak bertahan lama karena banyak media-media yang mengganggu kepentingan kekuasaan, dibredel dan dicabut izinnya. Campur tangan negara makin mengamputasi peranan pers sesungguhnya.

Masa Orba sudah berlalu berganti Reformasi. Pers pun terlepas dari cengkeraman pemerintah. Ditandai dengan lahirnya UU 40/1999 tentang Pers yang mengganti peraturan sebelumnya. Salah satu asas pembentukan UU Pers adalah asas swa regulasi atau self regulation. Artinya komunitas pers sendirilah yang mengatur dirinya sepanjang tidak bertentangan dengan prinsip-prinsip hukum.

Untuk melakukan pengawasan dan perlindungan terhadap kemerdekaan pers, maka ditunjuklah Dewan. Sehingga bila terjadi sengketa pemberitaan, sudah tepat Dewan Pers lah yang paling adil menyelesaikannya.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Hukum Selengkapnya
Lihat Hukum Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun