Mohon tunggu...
Mustafa Layong
Mustafa Layong Mohon Tunggu... Pengacara - Penggiat Pers

Penggiat Pers dan Hak Ketenagakerjaan

Selanjutnya

Tutup

Hukum Pilihan

Menggugat Berita atau Hak Jawab?

3 Agustus 2022   16:02 Diperbarui: 3 Agustus 2022   16:06 188
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Hukum. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Di masa Orde Baru (Orba) media-media dikekang dan dikontrol sedemikian rupa melalui surat izin usaha penerbitan pers (SIUPP). Pers yang mengkritik pemerintah atau nyiyir pada segala urusan kroni kekuasaan akan dibredel dengan label “kebablasan, tukang plintir, pembunuh karakter, provokatif, berat sebalah, atau tidak berimbang” (Jaring Represi Terhadap Media, Rekam Kasus Tempo Vs Tomy Winata. 2005). 

Namun setelah Orba tumbang disusul Reformasi yang bergelora, praktik pembungkaman nyatanya hanya berganti rupa dengan kemasan berbeda.

Setelah Orba, serangan terhadap media berpaling-rupa. Tidak lagi terjadi upaya pembredelan melalui tangan-tangan kekuasaan dan SIUPP, tapi dalam bentuk lain. Serangan bisa terjadi melalui teror, kekerasan fisik, pemidanaan, hingga gugatan perdata.

Kita belajar dari gugatan perdata perbuatan Melawan hukum (PMH) antara Mantan Presiden RI Soeharto melawan Majalah Time Asia. Gugatan itu didaftarkan ke Pengadilan Negeri Jakarta Pusat pada 1999, setelah kejatuhan Orba. 

Pengadilan tingkat pertama dan banding sama-sama menolak seluruh tuntutan Penggugat. Alasannya sederhana, pemberitaan Time Asia tidak memenuhi unsur PMH dalam Pasal 1365 dan 1372 KUHPerdata. 

Namun Mahkamah Agung pada tahun 2001, pada tingkat Kasasi justru membatalkan putusan judex factie, lalu mengabulkan sebagian tuntutan penggugat. Perlawanan tidak berhenti, putusan itu kemudian dilakukan upaya peninjauan kembali (PK) pada 2008. Hasilnya Mahkamah Agung membatalkan putusan tingkat kasasi itu. 

Yang menarik adalah, dalam pertimbangannya Mahakamah Agung menilai judex juris telah pula mengesampingkan penerapan UU Pers dalam mempertimbangkan perkara gugatan  Mantan Presiden RI Soeharto melawan Majalah Time Asia.

Setidaknya ada tiga unsur dalam UU Pers yang mestinya menjadi pertimbangan; 

  • a. adanya kepentingan umum ; 
  • b. adanya cover both sides ; dan 
  • c. adanya penggunaan hak jawab. Apabila ketiga unsur tersebut tidak dipenuhi di dalam pemberitaan, barulah dapat dikatakan telah terpenuhi unsur melawan hukum (Putusan Mahkamah Agung No. 273/PK/PDT/2008).

Dari sini, kita bisa melihat adanya kemiripan pada gugatan yang dialamatkan pada media di Makassar. Keduanya menuntut media karena tuduhan perbuatan melawan hukum terhadap media yang menjalankan fungsi pers untuk memenuhi kepentingan publik.

Selain itu, media yang digugat juga sudah menjalankan upaya konfirmasi untuk memenuhi unsur cover both sides. Meski demikian tidak mendapat respon dari salah satu pihak. Upaya itu pun sudah diuraikan pada artikel berita yang menjadi objek gugatan. Bisa dilihat pada berita yang diterbitkan salah satu tergugat, Antaranews.com berjudul Status Pengakuan Akbar Raja Tallo dipertanyakan, terbit 18 Maret 2016.

Jika tanggapan satu pihak menjadi mutlak harus dipenuhi untuk bisa menerbitkan berita, maka dapat mengancam kemerdekaan pers. Apabila itu dibenarkan, ke depan para pelaku kejahatan enggan menerima konfirmasi dari media. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Hukum Selengkapnya
Lihat Hukum Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun