Mohon tunggu...
Mustafa Layong
Mustafa Layong Mohon Tunggu... Pengacara - Penggiat Pers

Penggiat Pers dan Hak Ketenagakerjaan

Selanjutnya

Tutup

Hukum Pilihan

Menggugat Berita atau Hak Jawab?

3 Agustus 2022   16:02 Diperbarui: 3 Agustus 2022   16:06 188
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Enam media di Makassar digugat ke Pengadilan Negeri (PN) Makassar karena dituduh melakukan perbuatan melawan hukum. Mereka harus menghadapi meja hijau karena tuntutan dari seseorang yang mengklaim diri sebagai raja di tanah Angin Mammiri. Kausanya adalah berita yang terbit enam tahun silam, berisi wawancara konferensi pers satu kelompok yang juga menyebut diri sebagai keturunan langsung raja-raja terdahulu.

Gugatan didaftarkan pada Pengadilan Negeri Makassar awal Januari 2022. Enam tahun setelah berita itu dipublikasikan. Tidak pernah ada permintaan hak jawab atau pun pengaduan ke Dewan Pers. Bahkan tanpa surat peringatan (somasi) sebagaimana lazimnya permulaan suatu gugatan perdata.

Tuntutan hukum terhadap pers bukan pengalaman baru pada praktik hukum Indonesia. Langkah hukum semacam ini hanya segelintir kasus penyelesaian sengketa pers yang abai pada UU No. 1/1999 Tentang Pers. 

Salah satu contoh yang mungkin tidak akan lekang bagi komunitas Pers di awal Reformasi. Pada tahun 1999, tuntutan perdata yang dialamatkan terhadap majalah Time INC Asia oleh Mantan Presiden RI H.M. Soeharto yang diwakili oleh ahli warisnya. Permasalahannya adalah judul sampul “SUHARTO INC. How Indonesia’s longtime boss built a family fortune”.

Lalu pada 2003, publik dan komunitas pers kembali tersentak kala Tempo menerima berderet serangan hukum, baik pidana dan empat gugatan perdata. Latar bekangnya juga terkait berita yang diterbitkan majalah Tempo.

Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Pers mencatat, sejak tahun 2019 hingga 2022 setidaknya terjadi satu gugatan perdata diajukan kepada media setiap tahunnya.

Gugatan terhadap media di Negara Demokrasi

Seyogyanya, demokrasi tanpa pers yang sehat dan merdeka hanyalah ilusi. Negara demokrasi hanya terwujud dengan adanya kontrol publik terhadap tata kelola negara melalui pers itu sendiri. Tanpa pers, demokrasi laiknya pelangi tanpa warna, hanya refleksi cahaya tanpa makna. Sebab ketika fungsi kontrol pers dicabut, maka demokrasi akan menjelma monokrasi atau bahkan otoriter. 

Mengutip sejumput syair Datuk Soeparwan G. Parikesit:

Surat kabar adalah denyut nafas dan nadi bangsa, bergetar bagaikan gelombang lautan...  

Sebagai negara demokrasi, Indonesia dengan tegas telah menjamin kebebasan berpendapat dan berekspresi -termasuk di dalamnya kebebasan pers- sebagai hak asasi yang tidak boleh dicabut. Makanya UU Pers lahir sebagai wujud negara memberi perlindungan terhadap kemerdekaan pers. Di dalamnya diatur secara khusus mekanisme penyelesaian jika terjadi sengketa pemberitaan.

Sehingga gugatan-gugatan hukum terhadap media adalah tindakan yang tidak tepat dilakukan oleh siapa pun, baik negara, pemerintah, atau juga masyarakat, yang nyatanya hidup di lingkungan demokrasi. 

Negara yang demokratis diejawantahkan melalui pelindungan terhadap kebebasan berkumpul, mengemukakan pendapat, berekspresi, dan adanya kemerdekaan pers. Atau setidak-tidaknya, gugatan hukum terhadap pers dipilih ketika upaya penyelesaian di Dewan Pers telah dilakukan lebih dahulu.

Belajar dari Gugatan Soeharto Vs Majalah Time Asia

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Hukum Selengkapnya
Lihat Hukum Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun