Bahkan "kekuatan" dari ninik mamak yang datang (pihak lelaki) akan "diuji" dengan kekuatan dari ninik Mamak yang tinggal (pihak perempuan). Biasa juga dikenal dengan "silat lidah".Â
Salah saja ninik Mamak yang datang, bisa-bisa "pintu rumah" tidak dibuka. Dan terus berdiri ditengah laman (halaman).Â
Namun begitu kecewanya saya melihat rangkaian prosesi pernikahan.Â
Kata-kata sambutan yang sama sekali "kering" dan praktis tidak ada satupun kata-kata Melayu. Bahkan tidak ada sama sekali kebudayaan yang hendak ditampilkan. Menampakkan adiluhung kebudayaan Minangkabau.Â
Belum lagi berpidato sambil memegang teks. Prosesi yang paling ditabukan oleh "ninik Mamak" dari Keluarga laki-laki.Â
Alangkah eloknya acara "semegah" dan disaksikan oleh jutaan pasang mata Rakyat Indonesia benar-benar dipersiapkan dengan baik.Â
Dengan menghadirkan "ninik Mamak" yang kaya akan pengetahuan dan tatacara lamaran.Â
Padahal disetiap kota-kota, terdapat berbagai perkumpulan Minangkabau. Mereka menguasai tatacara lamaran lengkap dengan seloko, petatah-petitih, pantun yang menampakkan adiluhung Minangkabau. Dan media televisi dapat mempersiapkan dengan baik.Â
Sehingga pernyataan dari televisi yang menyiarkan acara dengan alasan "Bagian dari sebuah budaya yang ada di Indonesia" adalah akal-akalan untuk menepis tudingan berbagai pihak terhadap acara.
Dan kita melewatkan sebuah prosesi budaya yang akan dikenang oleh anak-anak milenial. Terutama penggemar Atta Halilintar.Â