Mohon tunggu...
Musri Nauli
Musri Nauli Mohon Tunggu... Administrasi - Media Ekspresi untuk melihat problema hukum, gejala-gejala sosial dan alam kosmologi Rakyat Indonesia

Saya mencatat peristiwa disekitar saya yang sering diperlakukan tidak adil. Dari kegelisahan saya, saya bisa bersuara. Saya yakin, apa yang bisa saya sampaikan, akan bermakna suatu hari nanti.\r\nLihat kegelisahan saya www.musri-nauli.blogspot.com

Selanjutnya

Tutup

Analisis Pilihan

Partai Golkar di Persimpangan Jalan

21 Juli 2018   03:19 Diperbarui: 21 Juli 2018   04:57 420
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
(nasional.kompas.com)

Ketika Munas Partai Golkar mendukung Jokowi untuk Pilpres maka public berharap Partai Golkar setia untuk duduk di pemerintahan. Partai Golkar diharapkan menjadi bagian dari proses perencanaan pembangunan yang dicanangkan Jokowi.

Namun akhir-akhir ini ketika nama Airlangga Hartato, Ketua Umum Partai Golkar tidak meraih suara signifikan dalam lembaga-lembaga survey sebagai calon kandidat sebagai Wakil Presiden mendampingi Jokowi, maka keputusan Munas kemudian menjadi problema.

Sebagai partai besar yang terbukti handal mengikuti pemilu paska reformasi, suara Partai Golkar selalu menarik perhatian partai-partai lain.

Lihatlah. Ketika Partai Golkar dihajar paska reformasi, berbagai kantor Partai Golkar diberbagai daerah, Partai Golkar dibawah kepemimpinan Akbar Tanjung masih menjadi "runner up" dibawah PDIP dengan suara 23 juta (22,4 %). Kemudian menjadi kampiun pemilu 2004. Sehingga Partai Golkar kemudian mengadakan konvensi disaat bersamaan partai-partai yang lain masih mengusung "siapa kandidat Presiden'. Sebuah strategi "ciamik" dan menunjukkan keunggulan Partai Golkar bangkit di masa reformasi.

Partai Golkar kemudian mengusung Wiranto -- Salahuddin Wahid sebagai pemenang Konvensi Partai Golkar.  Wiranto -- Salahuddin cuma meraih 22,15 %.

Tahun 2009, Partai Golkar kemudian "disalip" Partai Demokrat yang mengantarkan SBY untuk menduduki Presiden untuk kedua kalinya. Sementara Partai Golkar yang mencalonkan Jusuf Kalla dan Wiranto cuma meraup suara 12,41 %.

Tahun 2014, sebagai "runner up" Partai Golkar kemudian mendukung Prabowo -- Hatta Rajasa di Pippres. Lagi-lagi kalah dengan Jokowi -- Jusuf Kalla.

Kekalahan 2004, 2009 yang mengusung calon Presiden dan 2014 yang mendukung calon lain yang kemudian terbukti kalah menyebabkan menjadi bahan refleksi bagi Partai Golkar. Sudah saatnya sebagai "pemenang pemilu 2004" dan menjadi "runner up" 2009 dan 2014, posisi sentral Partai Golkar diperhitungkan.

Dalam hitung matematika, berbagai scenario mulai disusun sebagai langkah strategis agar Partai Golkar dapat mewarnai pilpres 2019.

Pertama. Dengan suara signifikan sebagai "runner up" pemilu 2014, suara yang diraih 14,75 % memerlukan "koalisi" pendukung lain untuk mendaftarkan kandidat Presiden dan Wakil Presiden di KPU. Entah dengan menggandeng PKB (9,04 %) atau menggandeng PAN (7,59%).

Memilih kedua partai  baik PKB dan PAN memenuhi persyaratan untuk mendaftar ke KPU. Namun mengusung nama Airlangga Hartato belum mampu mendongkrak suara. Tingkat keberpihkan public masih rendah dibawah Gatot Nuryanto. Masih jauh untuk mengejar dalam hitungan waktu kurang dari setahun.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Analisis Selengkapnya
Lihat Analisis Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun