Mohon tunggu...
Muslich  Basri
Muslich Basri Mohon Tunggu... Administrasi - Demokrasi dan Kebebaasan Pers

Tanpa Oposisi Demokrasi menjadi TIRAN

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

Bagian 2: Pemimpin Rakyat dan Pemimpin yang Mengatasnamakan Rakyat

30 Juni 2014   09:10 Diperbarui: 18 Juni 2015   08:12 121
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Pemilu Presiden yang tinggal 10 hari lagi adalah saat-saat yang sangat krusial bagi kedua pasangan untuk merebut hati pemilih, mengingat ketatnya persaingan kedua cawapres, yaitu Prabowo-Hatta dan Jokowi-JK. Menurut hasil Survai Indo Barometer, yang dirilis di media detik.com, presentasi perolehan suara untuk Prabowo-Hatta 42,6% dan Jokowi-JK 46%, serta rahasia/belum memutuskan 11,3%. Selisih suara yang semakin mengecil ini semakin sulit untuk memprediksi siapa pasangan yang akan menang dalam pilpres 9 Juli 2014. Akhirnya, berpulang pada rakyat Indonesia jugalah yang akan menentukan siapa pemimpin republik yang mereka anggap tepat untuk lima tahun ke depan, maka sepuluh hari kedepan adalahhari-hariyang menentukan bukan saja bagi nasib kedua cawapres, tetapi nasibnya bangsa Indonesia.

Menarik dicermati perjalanan survai Indo Barometer, karena semakin mendekati Tanggal 9 Juni trend suara Prabowo-Hatta semakin naik, sebaliknya Jokowi-JK trennya justru menurun.Perbandingan hasil survei 28 Mei-4 Juni 2014 (sebelum kampanye) dan 16-22 Juni 2014 (masa kampanye) terlihat pergeseran suara yang signifikan di mana suara Prabowo-Hatta naik sekitar 6% dan suara Jokowi-JK turun sekitar 4%. Apa sebab?

Ada beberapa sebab yang dapat menjelaskan naiknya elektabilitas Prabowo-Hatta dan anjloknya pamor Jokowi-JK. Pertama, maraknya kampanye hitam yang ditujukan kepada Prabowo Subianto tentang masalah pelanggaran HAM 98, yang dipicu oleh pertanyaan JK kepada Prabowo mengenai penanganan HAM masa lalu. Pertanyaan JK tersebut memunculkan perhatian yang cukup serius bagi public , terutama dengan jawaban Prabowo yang tegas sebagai penjaga HAM terdepan dan mempersilahkan bertanya kepada atasan beliau untuk memberikan penilaian. Jawaban Prabowo ini memancing keluarnya sebuah Dokumen Rahasia dari DKP yang menjadi rentetan polemic yang menempatkan mantan Jenderal Wiranto sebagai yang paling bertanggungjawab. Kemunculan Wiranto, yang mendudukkan substansi DKP, yaitu pemecatan terhadap Prabowo telah memunculkan berbagai reaksi, terutama datang dari Fuad Bawazier dan Elsa Syarif, Pendiri Partai Hanura yang mengkritik Wiranto berdasarkan fakta hukum.

Kedua, Prabowo lebih menampilkan visi dan misi, program yang jelas, kepemimpinan yang tegas, kharismatik dan dipercaya mampu menjaga integritas wilayah NKRI. Kemampuan komunikasi Prabowo-Hatta yang tidak terpengaruh terhadap isu-isu negative terhadap dirinya, dan menempatkan lawan sebagai kawan menunjukkan jiwa besar kenegarawanan Prabowo. Jokowi lebih praktis dan progresif dalam memaparkan program, dengan contoh-contoh yang actual seperti kartu Jakarta sehat, Kartu Jakarta Pintar, tetapi boleh jadi Jokowi terjebak pada kondisi operasional kartu-kartu itu yang belum terasa manfaatnya secara menyeluruh di Ibukota, sehingga public akan bertanya jika model-model kartu itu diterapkan di Indonesia yang luas ini bagaimana? Bagaimana dengan program BPJS yang sudah berjalan?

Ketiga, Publik terkecoh dengan sosok Prabowo yang berjiwa militer ini yang dianggap tegas, keras dan kaku, ternyata memiliki sisi kepribadian yang matang secara emosional, tidak mudah tersinggung, tidak gampang marah, sebaliknya menghormati pemimpin terdahulunya, mengohormati lawan sebagai teman, sehingga beliau tidak pernah menyerang dan menjatuhkan orang lain. Contoh besar, Prabowo tidak pernah menyerang balik apa yang dituduhkan mantan atasannya, yaitu Wiranto. Prabowo juga tidak bereaksi atas ejekan Jokowi yang mengulangi kata-kata Bocor yang diucapkan Prabowo saat Debat Capres. Sekali lagi, public menilai ini dengan cerdas.

Keempat, pencitraan kubu Jokowi-JKdengan berbagai model dirasakan oleh masyarakat, walaupun secara samar sulit dibuktikan. Pencitraan adalah tingkah laku, gaya yang diluar jatidirinya. Apa yang tampak hanya fenomena yang tidak sesunnguhnya. Pencitraan yang dilakukan Jokowi yang sangat terasa sekali adalah kesederhanaan, dekat dengan rakyat bawah, sukses memimpin Jakarta. Terakhir, jokowi melakukan pencitraan yang luar biasa, yaitu berusaha meraih hati ummat Islam, dengan seringnya berkomunikasi menggunakan symbol-simbol islam, dating ke pesantren, dan menjadi Imam Sholat yang dipublish di media secara besar-besaran.

Kelima, menguatnya kelompok yang kecewa atas kepemimpinan Jokowi sebagai Gubernur Jakarta yang dianggap tidak amanah karena tidak komitmen menyelesaikan masa jabatannya hingga selesai sesuai dengan sumpah jabatan, ditambah dengan hasil audit Badan Pemeriksaan Keuangan (BPK) atas APBD DKI Jakarta 2013 yang menemukan ada 86 proyek di ibukota yang ganjil sehingga berpotensi merugikan daerah dengan nilai total Rp 1,54 triliun.

Keenam, Publik masih ada rasa penasaran terhadap berbagai sisi gelap yag belum terungkap, baik pada diri Jokowi yang dianggap keturunan Tionghoa, maupun diseputar pencapresan beliau yang dikatakan capres Boneka, yang disebut mewakili ma’af, kepentingan ‘Asing dan Aseng’. Rasa keingintahuan public ini belum terjawab, sehingga memunculkan spekulasi negative terhadap sosok Jokowi.

Untuk itu Sepuluh hari yang tersisa diharapkan dapat dimanfaatkan oleh Jokowi untuk mengembalikan citra baik beliau sebagai sosok pemimpin yang diyakini mampu memimpin dan membawa perubahan rakyat Indonesia yang sangat majemuk.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun