Mohon tunggu...
Mustafa Ismail
Mustafa Ismail Mohon Tunggu... Editor - Penulis dan pegiat kebudayaan

Penulis, editor, pegiat kebudayaan dan pemangku blog: musismail.com | twitter: @musismail dan IG @moesismail

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Saya Tak Mengucapkan Selamat Hari Ibu

22 Desember 2017   18:22 Diperbarui: 22 Desember 2017   19:23 1298
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Padamu laut dengan kebiruan terlembut dan angin sepoi

menyandarkan penat dan gelisah pejalan jauh.

                                                    --- Puisi Ibu, Mustafa Ismail, 6 Juni 1990.

HARI  ini, 22 Desember, media sosial penuh dengan ucapan dan narasi tentang Hari Ibu. Bagus, tentu. Kita semua tak lupa pada ibu. Ibu yang melahirkan kita. Ibu yang membesarkan kita. Ibu yang mengasihi kita tanpa mengharapkan balasan. Tanpa mengharapkan apa pun dari kita kecuali semata-mata karena kasih sayang tak terkira. Ibu, ibu, ibu. ...

Tapi saya tiba-tiba jadi berpikir: apakah kita perlu hari ibu? Apakah kita hanya mengingat ibu pada hari ibu? Seharusnya, sebagaimana ibu kita mengasihi dan menyayangi kita, kasih sayang kita kepada ibu juga tidak mengenal waktu. Tidak kenal tempat. Tak berbatas ruang. Sepanjang hayat, seluas samudra.

Kita bisa mewujudkan kasih sayang kita kapan saja dan dengan cara apa saja. Jika ibu kita telah tiada, kita bisa mengirim doa kapan saja. Tak sebatas ibu kita, kita bisa berbuat baik kepada siapa saja kapan saja. Tidak perlu hari khusus.

Hari Ibu berbeda dengan Hari Raya. Berbeda dengan Hari Kemerdekaan. Berbeda dengan hari-hari suci keagamaan. Dan seterusnya. Sebab hari-hari itu telah ditentukan waktunya. Tidak bisa sepanjang waktu.

Untuk itulah saya tidak "latah" ikut meramaikan medsos dengan ucapan "Selamat Hari Ibu". Juga tidak mengucapkan "Selamat Hari Ibu" kepada ibu anak-anak saya. Sebab, seperti saya sebutkan di atas, kasih sayang ibu, kasih sayang keluarga serta orang-orang yang kita cintai, itu tak berbatas waktu, tak berbatas ruang. 

Begitu pula, tak perlu menunggu Hari Valentine untuk mengucapkan atau mewujudkan kasih sayang. Tak perlu menunggu Hari Anak untuk menyayangi Anak. Tak perlu menunggu Hari Ayah untuk menyayangi ayah. Dan seterusnya. Tapi kita perlu menunggu Idul Fitri untuk mengucapkan Selamat Lebaran. Perlu menunggu Natal untuk mengucapkan Selamat Natal. Perlu menunggu Hari Kemerdekaan untuk mengucapkan selamat hari kemerdekaan. Dan seterusnya pula.

Tiba-tiba saya jadi ingat narasi dalam culture studies bahwa sesungguhnya kita hidup dengan aneka imajinasi. Yang menggerakkan kita adalah imajinasi. Kita membayangkan sesuatu lalu mengidentifikasi diri kita (atau setidaknya ingin) dengan apa yang kita bayangkan itu.

Lalu industri menangkap imajinasi itu dengan menciptakan "citra" untuk memuaskan kita. Ia memproduksi jasa dan benda-benda yang sesuai dengan imajinasi tersebut. Mereka juga menciptakan momentum-momentum dan/atau memanfaatkan momentum untuk kepentingannya: perputaran barang dan jasa.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun