Mohon tunggu...
Monica Niken Wulandari
Monica Niken Wulandari Mohon Tunggu... Seniman - PNS Polri, Musisi, Pengajar, Suka Traveling, Ibu dari Do dan Re, Suka sesuatu yang baru

Menulis bebas apa yang ada di pikiran saya.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Ajarkan Pancasila Mulai dari Rumah

13 Juni 2021   00:41 Diperbarui: 13 Juni 2021   01:16 223
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
#PANCASILA #P4 #BEDAITUINDAH #CINTA PANCASILA (Dokpri)

Indonesia merupakan negara yang penuh keberagaman. Bahasa, Budaya,suku, adat istiadat dan masih lagi yang merupakan kekayaan negara. Menghargai perbedaan memang mudah diucapkan tapi pada kenyataannya masih perlu perjuangan untuk diterapkan. Kalau kita dapat memahami perbedaan itu sebagai sebuah keindahan, maka hidup akan lebih tenteram. 

Keluarga kami hidup dalam dua agama. Saya katolik bersama anak perempuan saya, suami saya Islam bersama anak lelaki saya. Bisa dibayangkan bukan? Setiap sebelum makan, saya dan anak perempuan saya membuat tanda salib dan suami serta anak lelaki berdua dengan cara Islam. Prinsip kami Tuhan itu satu, Esa. Allah kami satu dan tidak perlu diperdebatkan. 

Sesuai sila pertama pancasila, Ketuhanan Yang Maha Esa dan juga didukung pasal 29 ayat 2 : "Negara menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduk untuk memeluk agamanya masing-masing dan untuk beribadat menurut agamanya dan kepercayaannya itu".  Menurut agama Islam, dalam surat Al Kafirun ayat 6 yang berbunyi lakum dinukum waliyadin artinya "bagimu agamamu dan bagiku agamaku." Semua dasar itu kami maknai baik-baik dalam kehidupan sehari-hari. Mudah? tentu tidak dan ini sebaiknya tidak ditiru jika anda tidak mempunyai kesabaran tingkat Dewa. Cari tahu dulu isi ulang sabar dan ikhlas itu dimana, baru meniru apa yang keluarga kami lakukan. 

Saya sering bertukar pikiran dengan suami saya, mengenai agama Islam dan agama Katolik yang tidak perlu tertulis disini.  Saya merasa perliu belajar, karena ada anak saya yang beragama Islam. Di saat bapaknya tidak di rumah, minimal saya bisa mengingatkan dia berdoa sebelum belajar, makan atau apapun. Saya juga bisa menjawab ketika dia bertanya bagaimana doa sebelum belajar, biasanya saya ingatkan kata pertamanya dan otomatis langsung ingat. Kami hidup dengan akur dan tidak saling memaksa satu sama lain. Sila pertama pancasila benar-benar hidup di keluarga kami. Adiknya yang katolik juga selalu mengingatkan kakaknya untuk shalat, begitu juga sebaliknya

Suatu saat, saya pernah mendengar teman anak saya berkata, jangan bermain sama Do (Panggilan anak saya yang pertama dan adiknya Re) karena mamanya Katolik dan dia ditinggal lari padahal waktu itu masih TK. Anak saya pulang dengan sedih. Hanya karena ada yang melihat  salib di rumah saya, anak saya menjadi korban. Pelan-pelan saya berikan pengertian, tindakan itu tidak baik. Bermainlan dengan anak yang menerima kamu apa adanya dan hargailah semua temanmu.

Saya sedih dan agak kesal mendengar anak kecil sudah berkata seperti itu. Anak saya sempat tidak mau keluar rumah dan saya biarkan dia asyik dengan lego dan robot-robotnya. Perlahan-lahan saya mulai menemani dia keluar dan saya jelaskan ke teman-temennya dengan gaya bahasa anak-anak, bahwa Do ini muslim dan tidak perlu dipermasalahkan jika adiknya katolik. Semua agama sama, punya Tuhan dan semua mengajarkan kebaikan. Akhirnya sekarang mereka kembali bermain bersama dan ketika puasa tarawih ke masjid bersama. 

Hal ini semakin membuat saya memberikan perhatian lebih kepada anak-anak tentang pentingnya toleransi. Di sekolah diajarkan pengamalan Pancasila dan kami bahas dengan obrolan santai sambil bermain. Anak saya memang anak yang kritis, banyak bertanya dan saya membiasakan bahwa ibunya ini adalah orang pertama yang harus tau semua permasalahannya. Ketika dia mendengar kosakata baru yang dia tidak mengerti bahkan kata yang tidak pantas, dia selalu bertanya. Kata.... ini artinya apa? boleh gak diucapkan? Saya berusaha mendengar dan tidak memarahinya, karena komunikasi sangat penting bagi saya untuk membangun karakter anak. 

Anak saya pernah bertanya, "Apa itu teroris? Mengapa dia mengebom dan membunuh orang?" karena dia melihat berita ada tempat ibadah dibom.  Saya jawab: Teroris itu orang yang tidak tahu apa itu Pancasila. Di sekolah diajarkan tentang toleransi kan? Tentang menghargai orang yang bergama lain? Dia menjawab "Iya" kami berdiskusi, mengapa teroris itu mengebom tempat ibadah, dan dampaknya dalam kehidupan sehari-hari. 

Anak saya senang bila saya bercerita. Saya memberikan pengertian, ibunya ini sering dikatakan orang kaum minoritas. Menurut saya bukan minoritas, tapi agama kami berbeda. Bagaikan nada kalau lagu itu nadanya Do semua atau re semua, tidak akan indah dan harmonis. Tapi bila nadanya berbeda, do, re, mi dst, akan indah dan harmonis. Sama dalam kehidupan sehari-hari. Coba saja kalau semua orang adalah direktur, siapa yang akan mengepel lantai? siapa yang akan membangun rumah? Seandainya tidak ada penjahat, Polisi juga mungkin tidak ada. Ini hanya perumpamaan sederhana untuk anak saya. 

Saya menceritakan betapa akurnya kehidupan di rumah kakeknya di Desa Sukorejo Kendal. Saat saya ke gereja merayakan Natal, sudah ada Banser, anak muda muslim, Polri, TNI, Satpol PP yang menjaga. Almarhum bapak saya menjadi ketua RT dari saya bayi sampai saya kuliah. Dan ketika lebaran tiba, bapak saya keliling kampung untuk silaturahmi dan warga kampung juga mendatangi rumah kami untuk bermaaf-maafan. Dulu, setiap tahun baru Islam tiba, warga kampung berkumpul di perempatan jalan membawa makanan masing-masing dan dikumpulkan untuk dimakan bersama-sama dengan gembira. 

Ketika lonceng gereja berbunyi setiap jam 6 pagi, jam 12 siang dan jam 6 sore, tidak ada yang protes. Kehidupan si desa dimana saya lahir sangat damai. Tidak heran ketika FPI membuat onar di pom bensin depan gereja kami dan sampai menabrak sepasang suami istri dan istrinya meninggal karena terseret mobilnya sejauh puluhan meter, warga murka. FPI ini berasal dari luar desa Sukorejo Kendal,  sweaping lokalisasi, warung-warung makan dan membuat onar sampai akhirnya saya melihat warga Sukorejo benar-benar murka. Saya memohon bantuan komandan saya yang bertugas di Polda Jateng karena pada saat itu saya cuti melahirkan di rumah Ibu saya. Berita FPI 2013 di Desa Sukorejo ini benar-benar menjadi berita Nasional dan menghiasi layar kaca TV. Pesan pentingnya adalah, jangan coba-coba memecah belah Desa Sukorejo yang Damai. Semua agama hidup rukun, teman saya SD ada yang beragama Budha, Konghucu dan banyak juga keturunan tionghoa yang hidup damai dengan masyarakat sekitar. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun