Mohon tunggu...
Om Lihin
Om Lihin Mohon Tunggu... Administrasi - Guru yang suka menulis

Sementara hanya bisa merangkai huruf, dan masih takut mati.... Malas menulis di kompasiana, sukanya baca baca saja. Tanya kenapa???

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan

Uji Kompetensi Ulang bagi Guru, Ada Apa???

7 Juli 2012   15:23 Diperbarui: 25 Juni 2015   03:12 1222
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Wacana uji kompetensi ulang bagi guru yang sudah bersertifikat, memang menimbulkan tanda tanya besar. Dari satu sisi, pemerintah ada benarnya. Namun di sisi lain, kebijakan ini patut dipertanyakan, setidaknya untuk beberapa hal. Diantaranya, materi uji yang awalnya cuma satu dari empat kompetensi, kini menjadi dua. Kebijakan ini juga mengisyaratkan bahwa sistem pemberian sertifikat yang dilakukan sendiri pemerintah “kemaren” tidak benar, makanya perlu uji ulang.

Sebagaimana diketahui, guru yang sudah lulus sertifikasi, akan mendapatkan tambahan gaji dua kali lipat, dari gaji pokok yang diterimanya. Nah jika uji kompetensi ulang ini berakibat mereka tidak lulus, maka tambahan gaji itu akan dihentikan. Woow... setelah ada lantas tidak ada, hanya karena beberapa nomor dari soal pilihan ganda.

Saya teringat cerita teman saya yang sudah mengikuti pelatihan guru beberapa waktu lalu. “Seorang rekan yang bersama-sama beliau ikut sertifikasi sudah umuran. Jika giliran guru itu yang diuji, dia selalu tidak ada di tempat. Hingga akhir masa pelatihan, guru itu kemudian menghadap ke penanggung jawab pelatihan dan berkata, “Nak, saya sudah tua, dan maka maklumilah saya”. Entah, mungkin perasaan sebagai manusia yang pasti memiliki belas kasihan. Guru umuran itupun lulus.

Cerita di atas hanya satu dari mungkin ratusan cerita lain, yang tendensinya sama. Penulis ingin mengatakan, sistem dan mekanisme apapun yang dilakukan pemerintah, jika tidak berlandaskan dari komitmen dan keinginan kuat, baik dari penentu kebijakan, maupun dari pelaksana, maka semestinya ujian ulang akan berlaku setiap saat. Awal mula program sertifikasi guru tahun 2006 dan 2007, guru mengumpulkan segala berkas-berkas bukti kepemilikannya di 10 komponen profesi selama ia menjadi guru. Informasi yang tidak lengkap, sosialisasi yang kurang mapan di awal peluncuran program itu dulunya, ditambah lagi waktu pemberkasan yang terkesan singkat sehingga semuanya itu berimplikasi terhadap banyaknya guru mengambil paiagam orang lain sebagai bukti dari salah satu kompetensinya. Mereka berusaha menggandakan, mengkopy, mengesahkan, menyusun, menyetor, dan keluarlah sertifikat dan ditetapkanlah dia sebagai penerima tunjangan setifikasi yang kemudian pembayarannya selalu telat. Sekarang semua itu bakal tidak diakui, kecuali jika mereka lulus pada ujian tanggal 30 nantinya. Tahun-tahun berikutnya, persentase kelulusan jalur portofolio mengalami penurunan yang sangat drastis. Begitu pun yang ikut diklat. Jalur portofolio pun ditiadakan. Semua harus menempuh jalur diklat. Sembilan hari guru "disulap" harus menjadi guru profesional melalui diklat. Sangat tidak mugkin. Penulis sulit memikirkan bagaimana cara pemerintah menguji kompetensi sosial dengan akurat, hanya dengan waktu 9 hari. Kembali ke masalah uji kompetensi ulang, ada beberapa pertanyaan yang muncul seiring dengan kebijakan ini. Apakah uji kompetensi ulang ini, sudah bisa membuktikan bahwa guru yang lulus nantinya sudah bisa dikatakan berhak mendapatkan sertifikat dan tidak akan diuji ulang lagi?. Kalau iya atau tidak, apa indikatornya?. Sudah sering kita mendengar dari pegawai non-guru yang menjustifikasi dengan perkataan “alangkah enaknya menjadi guru”. Jika semua program yang terkait uji kompetensi berlandaskan perkataan itu dan sejenisnya, maka tendensinya adalah kecemburuan, bukan perbaikan. Hal lain yang patut dijadikan bahan renungan. Terlalu banyak kebijakan yang diambil pemerintah yang kesannya hanya bagi-bagi jatah proyek. Ujian Nasional sekian milyar, program ini dan program itu. Sekarang uji kompetensi?. Ini bukan negative thinking, namun alangkah baiknya uji kompetensi dilakukan oleh penguji yang juga seorang guru atau berlatar guru, bukan dari pelaksana teknis, yang makna guru saja tidak dimengerti. Kalau rencana aksi pemboikotan guru dari beberapa organisasi guru saja tidak diindahkan dan tanpa klarifikasi, ada apa??? From My Blog

Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun